Dengan keragaman daya tarik dan kondisi infrastruktur destinasi-destinasi pariwisata di Indonesia, strategi promosi yang diambil tidak bisa seragam
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman pada tahun 2023 mencapai hingga 7,4 juta orang, sedangkan pergerakan wisatawan nusantara atau wisnus naik hingga menjadi 1,4 miliar. Untuk mencapai target itu, promosi perlu gencar dilakukan sesuai keberagaman daya tarik dan kondisi setiap destinasi. Selain itu, peran pelaku industri pariwisata juga perlu dioptimalkan.
Deputi Bidang Pemasaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Ni Made Ayu Marthini, saat ditemui Selasa (10/1/2023), di Jakarta, mengatakan, pada tahun 2023, setidaknya ada enam pameran perjalanan skala internasional yang akan diikuti. Di antaranya adalah ITB Berlin 2023, New York International Travel Show 2023, dan World Travel Market London 2023. Kemudian, pada kegiatan ASEAN Tourism Forum 2023, pada Februari mendatang, Kemenparekraf akan menggelar pameran perjalanan.
Dia mengakui bahwa anggaran pemasaran kementerian mengalami pemotongan untuk program prioritas nasional. Meski demikian, dia menekankan masih ada strategi lain agar promosi destinasi tetap berlangsung, yakni promosi bersama pelaku industri. Sejauh ini, Kemenparekraf/Baparekraf telah melakukan co-branding Pesona Indonesia (Wonderful Indonesia) bersama swasta dari berbagai sektor industri.
”Kami juga melihat kesadaran pemerintah daerah mempromosikan destinasi semakin baik. Melalui program 100 Paket Nusantara, dinas-dinas pariwisata di 34 provinsi mau menyetor minimal tiga paket wisata dan ini kerja sama dengan agen perjalanan. Bersama mereka, kami sudah memiliki kalender acara yang bisa dinikmati wisatawan,” kata Made.
Menurutnya, geliat pemulihan industri pariwisata Indonesia pascapandemi Covid-19 harus bersaing dengan negara tetangga yang juga mengandalkan pariwisata. Oleh karena itu, strategi pemasaran yang pemerintah ambil adalah mengoptimalkan daya tarik sepuluh destinasi prioritas dan lima destinasi superprioritas. Namun, Made mengakui, pemerintah masih berusaha mengejar penuntasan pembangunan infrastruktur dasar.
Sejumlah perusahaan telah menyampaikan komitmen berinvestasi di lima destinasi superprioritas, antara lain PT Tobanta Nauli Indah di Danau Toba, PT Luxor Graha Propertindo di Borobudur, Ciputra Residence di Mandalika , Solar Dex Indonesia di Labuan Bajo, dan PT Dayamitra Telekomunikasi di Likupang. Sepanjang tahun 2021, nilai realisasi investasi di lima destinasi itu mencapai 435,36 juta dollar AS.
”Kami ingin wisatawan juga mengenal destinasi lain, bukan hanya Bali. Bersama pelaku industri pariwisata, kami ingin promosi dan pemasaran Indonesia dilakukan dengan pendekatan integrated destination. Jualan bundling perlu sekali,” ujar dia saat ditanya bagaimana Indonesia bisa bersaing dengan negara tetangga.
Made menambahkan, pemerintah menyadari bahwa pascapandemi Covid-19, ada pergeseran perilaku wisatawan. Misalnya, tren perilaku mengutamakan lingkungan berkelanjutan. Hal seperti ini semestinya jadi perhatian bersama pemerintah dan swasta.
Sementara itu, Direktur Utama PT Banten West Java Poernomo Siswoprasetijo, Rabu (11/1/2023), di Jakarta, berpendapat, daerah destinasi pariwisata di Indonesia memiliki daya tarik dan kondisi infrastruktur yang beragam. Hal ini menuntut strategi pemasaran yang berbeda.
”Jadi, promosi tidak bisa serentak. Segmen pasar yang dibidik pun harus dipetakan,” ujarnya.
Pelaku industri pariwisata perlu diajak berkolaborasi untuk memetakan hal itu. Setelah pemetaan segmen pasar dilakukan, edukasi ke calon wisatawan juga perlu dilakukan secara kontinu.
Poernomo yang juga menjabat sebagai President/CEO Pacific Asia Travel Association Indonesia Chapter menceritakan, sejumlah pameran perjalanan yang pernah Indonesia ikuti kerap kali berhasil mendorong banyak agen perjalanan asing dan wisatawan bertransaksi. Namun, setelah pameran usai, promosi dan penjualan paket destinasi cenderung lesu. Padahal, minat wisatawan bepergian muncul sepanjang tahun.
Poernomo menambahkan, upaya memasarkan destinasi tersebut perlu diikuti dengan pembangunan infrastruktur dasar. Kedua faktor ini, jika dijalankan optimal, akan menambah minat wisatawan bertamasya.
Secara terpisah, aktivis perkumpulan Hiduplah Indonesia Raya (Hidora), Bachtiar Djanan Machmoed, memandang, program desa wisata yang digagas pemerintah berperan sebagai stimulan untuk membangun ataupun membenahi desa wisata. Keberadaan laman desa wisata yang dibuat oleh pemerintah sebenarnya bertujuan untuk promosi, tetapi menyimpan sejumlah kelemahan. Misalnya, konten kurang informatif dan kurang mengena bagi kebutuhan wisatawan.
”Apabila strategi promosi digital yang akan dikedepankan, pengembangan isi laman harus sesuai dengan perspektif segmen wisatawan yang dibidik. Wisatawan biasanya menginginkan informasi detail tentang pilihan lama tinggal, titik lokasi, akses transportasi, dan aktivitas tamasya,” ujar Bachtiar.
Menurut dia, desa-desa wisata yang berkembang dan maju umumnya digerakkan oleh kreativitas warga. Pengelolanya telah mengembangkan paket wisata dilengkapi dengan pilihan lama tinggal, aktivitas tamasya, dan dikaitkan dengan destinasi lain. Di sisi lain, dia juga mengamati masih ada sejumlah pemerintah daerah belum mendukung kemajuan desa wisata.
”Kalaupun ada desa wisata, perspektif mereka (pemerintah daerah) bukan perspektif pelaku bisnis wisata,” imbuh Bachtiar.