RI Perlu Masuk Lebih Dalam di Rantai Pasok Asia Timur
Integrasi produk elektronik dan permesinan asal Indonesia dalam rantai pasok di Asia timur dinilai masih rendah. Indonesia perlu mengoptimalkan RCEP untuk memperkuat posisinya dalam rantai nilai di kawasan.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai pasok global atau global value chain/GVC di kawasan Asia timur dapat menopang kinerja manufaktur nasional. Namun, Indonesia dinilai perlu mengoptimalkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP untuk memperkuat posisinya dalam GVC di Asia timur.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Titik Anas berpendapat, berdasarkan produk manufaktur, ada tiga sektor yang dibutuhkan dalam GVC di Asia timur, yakni otomotif, elektronik, dan permesinan.
“Integrasi otomotif Indonesia dengan GVC di Asia timur sudah dominan. Namun, integrasi produk elektronik dan permesinan masih rendah,” ujarnya dalam Seminar Outlook Industri 2023 yang digelar Kementerian Perindustrian di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Oleh sebab itu, Titik menilai, Indonesia mesti menggaet investor-investor yang berorientasi pada perluasan usaha. Indonesia dapat menarik investasi tersebut karena nilai tukar rupiah yang cenderung stabil, kondisi makroenomi yang terjaga, serta pertumbuhan ekonomi yang kuat pascapandemi Covid-19.
Dalam menarik investasi, lanjut Titik, Indonesia juga dapat memanfaatkan RCEP. Perjanjian tersebut memberikan fleksibilitas aliran pasokan dalam GVC dan tarif perdagangan yang lebih rendah sehingga menjadi daya tarik bagi investor.
Negara-negara yang terlibat dalam RCEP terdiri dari, sepuluh negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) serta lima negara mitra (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru). Adapun RCEP ditandatangani pada November 2020.
Indonesia memiliki pekerjaan rumah terkait daya saing produk manufaktur di antara negara-negara anggota RCEP.
Meskipun demikian, Indonesia memiliki pekerjaan rumah terkait daya saing produk manufaktur di antara negara-negara anggota RCEP. Berdasarkan data yang dipaparkan, Titik menggarisbawahi, Indonesia belum menjadi pemain teratas dalam 15 produk HS 4 digit yang arus ekspor-impornya tertinggi di kalangan negara-negara anggota RCEP.
Di sisi lain, Titik mengatakan, ruang ekspor Indonesia ke negara-negara anggota RCEP masih memiliki ruang untuk bertumbuh. Kontribusi ekspor Indonesia tersebut pada 2021 mencapai 5 persen. Dibandingkan negara anggota ASEAN yang lain, kontribusi ekspor Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Dalam memanfaatkan RCEP, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito menilai, Indonesia perlu lebih cermat, khususnya pada negara mitra yang kerap menerapkan kebijakan nontarif terhadap produk Indonesia. Misalnya, kebijakan dumping dan perlindungan perdagangan (safeguards).
Vice Director Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Kiki Verico mengatakan, untuk memperkuat nilai tambah produk manufaktur Indonesia di pasar global, Indonesia membutuhkan transfer teknologi. Orientasi investasi juga mesti diubah dari yang berbasis produksi dan pemanfaatan Indonesia sebagai pasar menjadi yang berbasis penguatan produksi.