Meski ruang fiskal tahun depan lebih terbatas, dengan dana cadangan (cash buffer) yang disiapkan, pemerintah dapat berjaga-jaga melanjutkan atau mengeluarkan stimulus baru menghadapi gejolak ekonomi tahun depan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Imbas ketidakpastian ekonomi tahun depan membutuhkan dukungan fiskal yang kuat. Pemerintah diharapkan pelan-pelan melakukan normalisasi stimulus fiskal dan memperpanjang beberapa kebijakan untuk memperkuat perekonomian domestik. Defisit APBN pun ditekan lebih awal ke bawah 3 persen.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pemerintah sudah tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) seiring dengan pandemi yang semakin terkendali.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), serapan dana PC-PEN pada tahun ini baru terealisasi 56,2 persen atau senilai Rp 256,28 triliun dari total alokasi Rp 455,62 triliun sampai akhir Oktober 2022. Klaster penanganan kesehatan baru terserap 35,2 persen, penguatan pemulihan ekonomi 55,6 persen, dan perlindungan sosial 73,6 persen.
Menurut Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani, Senin (12/12/2022), untuk berjaga-jaga menghadapi tantangan perekonomian yang semakin tidak pasti ke depan, pemerintah perlu pelan-pelan melakukan normalisasi stimulus. Sejumlah instrumen fiskal perlu diperpanjang untuk mendukung daya tahan ekonomi.
Ia menyoroti keputusan pemerintah lewat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit sampai 31 Maret 2024 untuk beberapa sektor yang memiliki efek multiplier besar, seperti usaha mikro kecil menengah (UMKM), akomodasi dan makan minum, serta sejumlah industri manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja.
Menurutnya, hal yang sama juga bisa dilakukan di sektor lainnya untuk menjaga daya tahan perekonomian domestik di tengah tekanan pelambatan ekonomi global tahun depan.
“Perlu dievaluasi, tidak harus semua kebijakan era pandemi ini diselesaikan. Kalau kita masih membutuhkan kebijakan lanjutan atau kebijakan baru lainnya, kenapa tidak?” katanya dalam sesi diskusi di acara Dialog Pakar 2022 yang diadakan Kemenkeu. Acara itu diadakan untuk menyerap masukan dari para ahli ekonomi untuk mengantisipasi gejolak ekonomi tahun depan.
Mendorong “demand”
Aviliani memaklumi ruang gerak di APBN akan lebih sempit tahun depan, karena adanya normalisasi kebijakan fiskal. Setelah dua tahun berturut-turut defisit APBN diperbolehkan di atas 3 persen, mulai tahun 2023, pemerintah akan mengembalikannya ke batas di bawah 3 persen. Pada APBN 2023, besaran defisit sudah ditetapkan 2,84 persen.
Di tengah ruang fiskal yang semakin sempit itu, pemberian berbagai stimulus tetap perlu berhati-hati dan diprioritaskan untuk sektor-sektor yang memiliki efek multiplier besar terhadap perekonomian. Selain itu, menurutnya, perlu diarahkan untuk menggerakkan sisi permintaan (demand), daripada fokus pada sisi penawaran (supply).
Perlu dievaluasi, tidak harus semua kebijakan era pandemi ini diselesaikan. Kalau kita masih membutuhkan kebijakan lanjutan atau kebijakan baru lainnya, kenapa tidak?
“Sisi demand ini sepertinya perlu lebih banyak digarap ke depan. Karena untuk apa subsidi sisi suplai digelontorkan, tetapi demand-nya tidak dijaga, ujung-ujungnya tetap tidak ada spending. Kalau demand sudah bergerak, baru kita bicara suplai,” kata Aviliani.
Pemerintah juga perlu mengajak pelaku usaha dari lima sektor utama yang memberi kontribusi 70 persen pada ekonomi, seperti pertanian, manufaktur, perdagangan, pertambangan, dan konstruksi. Dengan demikian, insentif yang diberikan pun sesuai dengan kebutuhan industri.
“Perlu didudukkan lintas sektor dan dipetakan, dukungan apa yang mereka butuhkan untuk menghadapi gejolak tahun depan?” ujarnya.
Ekonom senior Anny Ratnawati juga menyoroti pentingnya menjaga demand dan konsumsi masyarakat, khususnya kelompok menengah-atas, tetap bergerak di tengah gejolak ekonomi saat ini. Apalagi, sampai sekarang, ada kecenderungan simpanan nasabah bank yang tergolong mampu mengalami tren terus bertambah.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), per Oktober 2022, simpanan nasabah dengan nominal di atas Rp 5 miliar naik 6,9 persen secara bulanan dan 15,5 persen secara tahunan. Tabungan nasabah dengan nominal Rp 2-5 miliar juga mengalami peningkatan 0,9 persen secara bulanan dan 3,9 persen secara tahunan.
“Kalau masyarakat menengah-atas ramai-ramai simpan uang di bank, lalu yang disuruh belanja hanya golongan bawah sementara harga pangannya lagi mahal, repot kita nanti,” kata Anny yang juga wakil menteri keuangan periode 2010-2014.
Pemerintah mulai mengantisipasi tantangan tahun depan dengan menekan defisit fiskal lebih cepat dari seharusnya.
Ditekan lebih awal
Pemerintah pun mulai mengantisipasi tantangan tahun depan dengan menekan defisit fiskal lebih cepat dari seharusnya. Pada outlook APBN 2022, pemerintah sebenarnya masih memasang defisit 3,92 persen. Namun, realisasi defisit per akhir tahun ini diperkirakan akan lebih rendah dari itu, bahkan bisa di bawah 3 persen.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Wahyu Utomo mengatakan, kinerja APBN tahun ini yang banyak ditopang oleh tingginya penerimaan pajak membuat defisit bisa lebih kecil dari yang awalnya ditargetkan. “Sangat terkendali defisitnya. Bisa lebih kecil dari outlook, ke arah tiga persen,” katanya.
Sepanjang Januari-September 2022, APBN terus mengalami surplus secara berturut-turut. Pada akhir Oktober 2022, APBN akhirnya menyentuh defisit sebesar 0,91 persen atau Rp 169,5 triliun. Pemerintah pun berencana mengakumulasi besaran sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang signifikan untuk dijadikan dana cadangan (cash buffer) di tahun 2023.
Menurut Wahyu, akumulasi silpa itu memungkinkan dilakukan karena penerimaan negara pada tahun 2022 banyak didorong oleh efek lonjakan harga komoditas (windfall) yang tinggi. “Pemasukan dari windfall itu tidak akan kita manfaatkan semua untuk memperkuat buffer kita mengantisipasi kalau tahun depan ketidakpastiannya masih tinggi,” ujarnya.
Dengan dana cadangan itu, meski ruang fiskal tahun depan lebih terbatas, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran lebih untuk melanjutkan atau mengeluarkan kebijakan stimulus baru.
“Penggunaan (silpa) itu belum kita kotak-kotakan untuk apa, kita sesuaikan dengan tantangan tahun depan. Untuk meredam ketidakpastian jadi kepastian, desainnya memang harus fleksibel,” kata Wahyu.