Seiring pengakhiran dini operasional PLTU, yang merupakan bagian dari pengurangan emisi gas rumah kaca, pemanfaatan batubara untuk kelistrikan nasional pun akan berkurang secara bertahap.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, dalam acara Mining Talk terkait tantangan industri pertambangan 2023, Kamis (17/11/2022), secara daring, mengatakan, era transisi energi menjadi tantangan paling signifikan, khususnya bagi industri batubara. Pasalnya, batubara adalah yang paling terdampak akibat komitmen sejumlah negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris 2015.
Seiring pengakhiran dini operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang merupakan bagian dari pengurangan emisi gas rumah kaca, pemanfaatan batubara untuk kelistrikan nasional pun akan berkurang secara bertahap. ”Namun, yang menarik, batubara masih akan menjadi sumber energi yang diandalkan untuk industri-industri non-kelistrikan,”” ucap Hendra.
Sejumlah industri yang membutuhkan batubara sebagai sumber energinya, lanjut Hendra, misalnya, industri keramik dan tekstil. Adapun yang paling signifikan ialah industri smelter yang juga bagian dari proses produksi di sektor mineral tambang. Pasalnya, proses itu membutuhkan biaya energi yang sangat besar, sedangkan batubara masih menjadi energi termurah yang bisa diandalkan.
Dengan skenario emisi nol bersih (NZE) pada 2060, yang bakal meningkat signifikan ialah permintaan industri hilir batubara. Di Indonesia, pengembangan industri hilir batubara di antaranya gasifikasi batubara menjadi dimetileter/DME, briket, dan kokas. Namun, menurut Hendra, progresnya masih relatif lambat karena membutuhkan investasi besar dan kepastian pasar.
Untuk jangka pendek atau beberapa tahun ke depan, lanjut Hendra, batubara akan masih akan menjadi komoditas yang diandalkan, termasuk dengan terbukanya perluasan pasar sebagai dampak situasi geopolitik. Pada awal 2022, harga batubara acuan Newcastle melonjak hingga lebih dari 400 dollar AS per ton. Saat ini trennya menurun, tetapi masih ada di level kuat.
Sumber daya terbarukan
Chief Financial Officer Asia PT Orica Mining Services Velisia Gunawan mengatakan, melonjaknya harga komoditas batubara membawa keuntungan bagi perusahaan-perusahaan di sektor tersebut. Namun, ada beberapa perusahaan yang harus berjuang karena bergelut dengan kenaikan harga bahan baku dan kesulitan angkutan logistik atau pengapalan. Saat ini yang diperlukan perusahaan-perusahaan ialah bagaimana agar cost terkelola dengan baik.
”Sebab, saat terkoreksi atau harga jatuh, bisa menjadi bumerang. Selain itu, ke depan, dunia pertambangan harus menyikapinya dengan mencari sumber daya yang mengarah ke energi terbarukan,” kata Velisia.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti M Burhannudinnur mengemukakan, industri pertambangan tetap berperan dalam transisi ke energi yang lebih bersih. Batubara, misalnya, yang masih dominan dalam sumber energi primer kelistrikan di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai jembatan transisi energi, hilirisasi batubara menjadi hal penting.
”Transisi energi memerlukan teknologi, investasi, kebijakan, dan yang penting ialah market (pasar). Perjalanan dalam rangka transisi energi perlu disikapi dengan bijak. Bagaimana memakai energi yang sudah ada untuk mengawal transisi energi, dengan tetap mengubah paradigma (menuju energi yang lebih bersih),” jelasnya.
Ia pun menyoroti pentingnya good mining practices (tata kelola pertambangan yang baik), yang mesti diawali dengan ketersediaan data yang akurat serta diuji oleh sumber daya manusia kompeten. Di samping itu, kepatuhan pelaku usaha atau industri ekstraktif pada regulasi yang berlaku pun mesti terus ditingkatkan.