Industri Ekstraktif Dituntut Lebih Patuh dan Transparan
Asosiasi Pertambangan Indonesai menilai, tambang memiliki karakteristik unik sehingga memerlukan pengawasan. Sejumlah perusahaan sebenarnya sudah memiliki tata kelola yang baik. Namun, konsistensi regulasi dibutuhkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JUMARTO YULIANUS
Tongkang bermuatan batubara melintasi Sungai Barito di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Foto diambil Agustus 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong industri ekstraktif untuk semakin patuh pada regulasi yang berlaku serta transparan kepada publik sebagai pertanggungjawaban atas pengelolaannya. Hal itu perlu terus dilakukan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, industri memerlukan kepastian dalam investasi dan konsistensi regulasi.
Berdasarkan Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 5 September 2022, total terdapat 4.156 perizinan terkait pertambangan di Indonesia. Itu terdiri dari 3.988 izin usaha pertambangan (IUP), 31 kontrak karya (KK), 60 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), 8 izin usaha pertambangan khusus (IUPK), dan 69 izin pertambangan rakyat (IPR).
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi dalam dialog Kebijakan Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) yang digelar hibrida, Senin (12/9/2022), mengatakan, sesuai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, pengelolaan sumber daya alam harus dengan tata kelola baik dan untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat.
Menurut Agus, pihaknya terus memperbaiki terkait perizinan. Penataan agar clean and clear dilakukan sejak sekitar 5 tahun lalu. ”Namun, kemarin, setelah ada evaluasi, kok, masih banyak yang tidak comply (patuh). Ada 2.078 (pemegang izin usaha pertambangan) dan beberapa yang tak patuh kami putus izinnya. Ini langkah agar pengelolaan sumber daya alam lebih baik,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah membuka ruang klarifikasi terhadap 2.065 perusahaan yang izin usaha pertambangan (IUP)-nya sudah dicabut, dari target awal 2.078 IUP yang bermasalah. Hasilnya, lebih dari 700 perusahaan mengajukan keberatan dan meminta izin mereka dipulihkan. Kementerian Investasi pun mengabulkan keberatan sejumlah pengusaha tambang yang izin usahanya sempat dicabut. (Kompas, 13/8/2022)
Agus mengemukakan, terkait pertambangan, pihaknya melaporkan mulai dari produksi, penerimaan negara, hingga dampak sosial dan lingkungan. Standar EITI yang mensyaratkan adanya keterbukaan belanja sosial dan lingkungan yang dikeluarkan perusahaan pertambangan juga diterapkan dan terus didorong.
”Ini untuk bisa pertanggungjawabkan. Di Undang-Undang Migas (Minyak dan Gas Bumi), UU Minerba, salah satunya mensyarakatkan perusahaan turut serta melindungi wilayah sekitar pertambangan. Di sinilah yang kemudian, dalam prosedur EITI, kita berikan satu ruang untuk pada perusahaan menampilkan bagaimana kontribusinya (transparansi),” ucap Agus.
Asisten Deputi Pertambangan, Deputi Bidang Koordinasi Investasi, dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Tubagus Nugraha menjelaskan, terhadap industri ekstraktif, peraturan-peraturan yang mandatory, yang dikeluarkan sejumlah kementerian. Itu untuk memastikan setiap operasi penambangan dilakukan dengan tata kelola baik.
”Itu untuk mengurangi risiko kecelakaan, mitigasi kerusakan terhadap lingkungan, dapat memberi manfaat besar kepada lingkungan sekitar, serta adanya nilai tambah dan pemenuhan kewajiban, seperti pajak ataupun bukan pajak, kepada negara. Itu diatur pemerintah Indonesia kepada para pemegang izin,” katanya.
Di samping itu, ada juga aturan yang berdasarkan tuntutan pasar. Misalnya, sebelum transaksi dengan pembeli, produsen tambang kerap ditanyakan terkait transparansi. ”Misalnya, apakah sudah patuh akan ESG (environmental, social, and governance)-nya. Ini yang kemudian di-drivemarket (pasar),” ucap Tubagus.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMI) Djoko Widajatno, juga dalam acara tersebut, mengemukakan, tambang memiliki karakteristik unik sehingga memerlukan pengawasan. Menurutnya, sejumlah perusahaan sebenarnya sudah memiliki tata kelola yang baik. Namun, dari pemerintah pun mesti ada pembenahan, seperti perizinan yang masih terbilang lama.
Ia menambahkan, selama ini, yang menjadi hambatan dalam pertambangan adalah kurangnya kepastian dari sisi investasi dan inkonsisten dari sisi regulasi. ”Kami akan ikut percaturan internasional, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Terkait ESG, semua perlu serasi, seimbang, dan selaras. Ini harus kita pegang,” ujar Djoko.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Ilustrasi penambangan batubara
Belum standar
Chairperson of Advisory Board pada Social Investment Indonesia, Jalal, menuturkan, satu laporan pemenuhan pengungkapan berkelanjutan berbeda satu sama lain. Pasalnya, setiap pemangku kepentingan pun memiliki kebutuhan berbeda akan data yang diminta. Belum ada standar. Penggabungan dari beragam pelaporan itu, menjadi tak terhindarkan.
Akan tetapi, secara umum, menurut dia, perusahaan pertambangan berskala besar makin lama sudah semakin baik, tetapi belum pada skala kecil. ”Pemangku kepentingan bisa mengambil manfaat dari keterbukaan informasi dari transparansi dan akuntablilitas yang ditunjukkan pertambangan, seperti vale dan holding (BUMN), seperti MIND ID. Namun, belum terjadi di sektor pertambangan secara keseleruhan,” katanya.
Kepala Divisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) MIND.ID Binahidra Logiardi mengatakan, pihaknya masih memiliki pekerjaan rumah untuk terus mengupayakan agar prinsip-prinsip keberlanjutan seluruhnya dipenuhi, seperti pada prinsip-prinsip International Council on Mining and Metals (ICMM). Dengan demikian, diharapkan kinerja ESG kian baik.