UU Minerba Digunakan untuk Mengkriminalisasi Masyarakat
UU Minerba digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan dan pembatasan akses publik. Kriminalisasi dengan menggunakan UU Minerba ini telah terjadi di beberapa daerah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah pengunjuk rasa berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (11/12/2018). Mereka menolak tindakan represif, manipulasi perkara (kriminalisasi), gugatan hukum, pengusiran paksa dan tindakan pelanggaran HAM lainnya kepada komunitas yang berjuang mempertahankan hak atas tanah, kampung, lingkungan yang sehat dan hak dasar lainnya.
JAKARTA, KOMPAS — Sejak disahkan dua tahun lalu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba dinilai telah menyebabkan kriminalisasi hingga perusakan lingkungan yang semakin parah. Hal tersebut disampaikan sejumlah direktur eksekutif daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam konferensi pers secara daring, Rabu (9/3/2022).
Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu Ibrahim Ritonga menyampaikan, salah satu aturan dalam UU Minerba yang digunakan untuk mengkriminalisasi pejuang lingkungan dan masyarakat, yakni Pasal 162. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memenuhi syarat dapat dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
”Aturan ini adalah ancaman yang sangat besar bagi masyarakat ataupun aktivis. Ini sangat bertentangan dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Jelas dalam Pasal 66 menyebutkan setiap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata,” ujarnya.
Tata ruang Desa Wadas yang sebelumnya bukan area pertambangan juga berubah signifikan pada 2021. Banyak juga daerah yang tata ruangnya berubah khususnya di wilayah yang akan menjadi proyek strategis nasional.
Menurut Ibrahim, ancaman, kriminalisasi, hingga pembatasan akses publik menggunakan sejumlah aturan dalam UU Minerba tidak hanya terjadi di Bengkulu, tetapi juga seluruh wilayah di Indonesia. Di Bengkulu, UU Minerba digunakan untuk membatasi upaya masyarakat sipil dalam mengakses data dan informasi tentang pertambangan di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.
Para pejuang lingkungan di Bengkulu juga mendapat kriminalisasi setelah melakukan advokasi terhadap komunitas yang melindungi wilayahnya dari ancaman industri ekstraktif. Dalam surat pemanggilan dari kepolisian setempat, para pejuang lingkungan diduga telah menghalang-halangi kegiatan aktivitas pertambangan pasir besi.
REGINA RUKMORINI
Spanduk kecil berisi tuntutan pencabutan ijin penetapan lokasi (IPL) di Desa Wadas, masih terpasang di sekitar masjid Nurul Huda di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Rabu (16/2/2022).
Kondisi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Halik Sandera mengatakan, masyarakat di pesisir selatan Jawa banyak dikriminalisasi menggunakan Pasal 162 UU Minerba akibat menolak aktivitas pertambangan di wilayahnya masing-masing.
”Secara umum kondisi di Pulau Jawa ada ekspansi di pesisir selatan, yaitu pasir besi dan tambang emas mulai dari Jawa Timur hingga Jawa Barat. Penolakan dari warga ini tidak menjadi dasar pengambilan kebijakan pembatalan izin-izin yang sudah ada,” katanya.
Secara spesifik, penolakan terhadap aktivitas pertambangan di Yogyakarta terjadi di area Kali Progo yang merupakan perbatasan antara wilayah Sleman dan Kulon Progo. Sebanyak 18 orang yang melakukan penolakan kemudian mendapat panggilan dari kepolisian dan 2 orang di antaranya ditetapkan menjadi terlapor.
Selain di Kali Progo, kasus penangkapan warga yang lebih besar terjadi di Desa Wadas, Purworejo yang menolak rencana pertambangan. Mereka ditangkap karena dianggap menghalang-halangi proses pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
”Jika melihat dari tahapannya, wilayah di Desa Wadas tidak ada yang ditetapkan sebagai izin usaha pertambangan. Tata ruang Desa Wadas yang sebelumnya bukan area pertambangan juga berubah signifikan pada 2021. Banyak juga daerah yang tata ruangnya berubah khususnya di wilayah yang akan menjadi proyek strategis nasional,” ungkapnya.
Uji materi
Halik menegaskan, upaya paling mendesak yang perlu dilakukan saat ini, yaitu melakukan uji materi terhadap UU Minerba di Mahkamah Konstitusi. Sebab, fakta di lapangan telah menunjukkan sejumlah aturan dalam UU Minerba digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat hingga membatasi akses data dan informasi tentang pertambangan.
Sebelumnya, Pengajar Hukum Lingkungan Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM)I Gusti Agung Made Wardana saat menjadi ahli pemohon sidang pengujian materiil UU Minerba menyebut, Pasal 162 telah menjadi instrumen pembungkaman pembela lingkungan hidup khususnya bagi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan.
”Pasal 162 UU Minerba ini dapat digunakan sebagai upaya untuk kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia yang terkena dampak pertambangan. Selain itu, pasal tersebut juga dapat menjadi instrumen intimidasi hukum,” paparnya.
Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera,Anugerah Rizki Akbari juga menyatakan banyak sekali catatan terhadap Pasal 162. Ia menekankan bahwa Pasal 162 UU Minerba mampu menimbulkan ketidakadilan dalam tataran implementasi karena tidak mengikuti teori kriminalitas dan tidak memasukkan asas-asas hukum pidana secara utuh.