Pengakhiran Dini Operasi PTLU Cirebon 1 Perlu Dikawal
Telah ditandatangani MOU antara Bank Pembangunan Asia, Pemerintah Indonesia, dan para mitra terkait pengakhiran dini operasional PLTU Cirebon 1. Ini akan menjadi proyek pertama mekanisme transisi energi di bawah ADB.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Cirebon 1 di Cirebon, Jawa Barat, menjadi proyek pertama pada program mekanisme transisi energi oleh Bank Pembangunan Asia. Hal itu menjadi langkah positif meskipun masih sebatas nota kesepahaman. Perjalanan pengakhiran dini PLTU tersebut perlu terus dikawal.
Pada Senin (14/11/2022), di Bali, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) antara Bank Pembangunan Asia (ADB) serta Pemerintah Indonesia dan mitra terkait pengakhiran dini PLTU Cirebon 1 yang dioperasikan Cirebon Electric Power (CEP). Dikutip dari laman ADB, itu menjadi proyek pertama Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanis/ETM) di bawah ADB.
"Persoalan warisan pembangkit pembakaran batubara (PLTU) di Asia Tenggara ialah salah satu masalah besar dalam transisi energi. Pengumuman ini menjadi langkah pertama dalam mewujudkan sebuah proyek ambisius," kata ADB Regional Vice President Ahmed M Saeed, dikutip dari Reuters, Senin (14/11/2022).
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, saat dihubungi di Jakarta, Senin malam, mengatakan, setiap langkah awal menjadi hal positif. Namun, yang terpenting ialah bagaimana langkah demi langkah selanjutnya berjalan baik.
"Kita kawal saja agar tetap berjalan sesuai yang diharapkan. Bagaimanapun, jika MOU tidak ada dukungan dan tidak kepastian hukum, bisa berhenti di tengah jalan. Jadi, jangan sampai ini hanya MOU, tetapi tidak ada tindak lanjutnya," kata Mamit.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLTU Cirebon 1 memiliki kapasitas 660 megawatt (MW) diresmikan pada 2012 dengan nilai investasi 877 juta dollar AS. PLTU itu dibangun dengan skema Independent Power Producer (IPP) oleh konsorsium Indika Energy Tbk, Marubeni Corporation, Korea Midland Power Company, dan Santan Co Ltd
Upaya pengakhiran dini PLTU tersebut menjadi salah satu langkah Indonesia memenuhi target tercapainya emisi nol bersih (NZE) pada 2060. Menurut Mamit, dalam transisi energi, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, suka atau tidak suka, tidak akan bisa melakukannya sendiri sehingga akan membutuhkan bantuan negara atau pihak lain.
"Tak mungkin hanya mengandalkan APBN. Bisa bangkrut. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN sudah ada. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga sudah ada. Tinggal diseriuskan saja pelaksanaannya," ucapnya.
Harga batubara
Komitmen pengakhiran dini PLTU Cirebon 1 itu dilakukan di tengah tingginya volatilitas harga batubara. Resesi global yang melanda sejumlah negara di Eropa serta karantina wilayah atau lockdown di China akibat meningginya kasus Covid-19 berdampak pada harga batubara yang terus menurun sejak memasuki November 2022.
Catatan Trading Economics, harga batubara Newcastle per Jumat (11/11) ditutup pada 326,8 dollar AS per ton atau terendah sejak Mei 2022. Dua pekan terakhir, harga menurun signifikan, dari 386 dollar AS per ton pada Jumat (28/10) menjadi 326 dollar AS per ton pada Jumat (11/11) atau menurun 15 persen. Padahal, pada Jumat (30/9) harga masih 433 dollar AS per ton.
Pencekalan impor batubara dari Rusia, sebagai bagian dari sanksi akibat invasi pada Ukraina, membuat sejumlah negara produsen, terutama Afrika Selatan, memacu produksi dan ekspor. Sebelumnya, China juga hendak menggenjot kapasitas produksi batubara mereka tahun ini menjadi 300 juta ton atau setara jumlah batubara yang biasa diimpor China.
Namun, tren penurunan harga itu diperkirakan hanya sementara. "Ini tak akan berlangsung lama. Sebab, saat sudah masuk musim dingin, kebutuhan energi akan kembali meningkat dan itu akan kembali mendongkrak harga batubara. Diperkirakan, Desember 2022, akan kembali naik meskipun tak setinggi saat ada durian runtuh (windfall) lalu," kata Mamit.
Mamit mengatakan, teknologi batubara di Indonesia, untuk menjadi energi yang lebih rendah emisi, masih belum optimal. Misalnya, coal bed methane (CBM) yang kemajuannya belum tampak. Sementara dimetileter (DME) sebagai pengganti elpiji yang mayoritas dipenuhi dengan impor juga masih perlu terus dikawal realisasinya.
Salah satu kendala ialah butuhnya investasi dalam mengembangkan itu. "Tanpa investasi tidak bisa (direalisasikan proyek tersebut) karena teknologinya mahal. Selain itu, kepastian hukum juga penting dalam upaya hilirisasi ini. Padahal, sebenarnya jika berbicara cadangan, Indonesia amat melimpah. Tinggal teknologi untuk pengolahannya," ucap Mamit.
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), perusahaan BUMN di bidang batubara, menjajaki kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Nota kesepahaman ditandatangani PTBA, baik dengan ITB maupun dengan Unpad, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (11/11), sebagaimana dikutip dari laman PTBA.
Potensi kerja sama tersebut terkait pengembangan teknologi di bidang energi dan industri dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan lingkungan, serta pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan, dalam ekspansi bisnis energi ke depan, hilirisasi, inovasi, dan teknologi menjadi keharusan.
"Bisnis batubara saat ini tengah mendapat perhatian di seluruh dunia. Isu karbon, emisi, dan isu lingkungan cukup memberikan tekanan bagi industri. Penguatan riset atas pemanfaatan batubara sangat penting karena ternyata masih banyak produk turunan yang bisa dihasilkan," ujar Arsal.
Bersama ITB, inovasi yang didorong PTBA untuk mendukung tercapainya penurunan emisi ialah pengembangan penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon (CCUS). Sementara dengan Unpad, PTBA fokus pada pengembangan riset untuk utilisasi batubara menjadi quantum dots (material semikonduktor berukuran nanometer), yang akan berguna bagi industri.
Inovasi dan teknologi guna menjadikan batubara lebih ramah lingkungan menjadi bagian dalam upaya transisi energi. Pasalnya, saat ini, batubara masih dominan dalam bauran energi primer nasional, yakni di atas 65 persen. Adapun langkah bertahap untuk mengurangi pemanfaatan batubara ialah dengan pengakhiran dini PLTU.
Hal itu untuk memenuhi target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), yakni pengurangan emisi karbon 32 persen atau setara dengan 912 juta ton CO2. "Salah satu yang terpenting ialah dengan mengurangi PLTU dan membangun pembangkit-pembangkit energi baru dan terbarukan," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, dalam B20 Side Event AmCham Indonesia, di Bali, Jumat (11/11).