Pesanan Ekspor Berkurang, Ekspor Mebel dan Kerajinan Melambat
Dalam menghadapi tantangan ekonomi global, optimalisasi produk dan diversifikasi pasar ekspor dapat menjadi solusi.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan permintaan dari Amerika Serikat serta sejumlah negara di Eropa yang bermuara pada berhentinya pemesanan produk menekan pelaku industri mebel dan kerajinan di Tanah Air. Agar dapat lepas dari tekanan itu, pelaku industri melirik peluang optimalisasi produk dan diversifikasi negara tujuan ekspor.
Berdasarkan data yang dihimpun dan diolah Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), nilai ekspor furnitur dan kerajinan sepanjang Januari-September 2022 mencapai 2,71 miliar dollar AS atau tumbuh 7,71 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 27,23 persen.
Pergerakan nilai ekspor furnitur dan kerajinan secara bulanan sejak Juli 2022 cenderung menurun. Tren ini berkebalikan dengan periode sama tahun sebelumnya yang merangkak naik. Realisasi nilai ekspor mebel dan kerajinan sepanjang 2021 mencapai 3,25 miliar dollar AS. Sayangnya, per akhir 2022, nilai realisasi ekspor kedua produk itu diperkirakan turun menjadi 3,17 miliar dollar AS.
Sejak Juli 2022, menurut Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur, pesanan ekspor berhenti. ”Secara umum (di negara-negara tujuan ekspor), inflasi membuat daya beli masyarakat turun. Akibatnya, belanja (furnitur) turut berhenti,” katanya saat ditemui di sela simposium HIMKI yang diadakan di Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perindustrian, AS menjadi pangsa pasar ekspor furnitur Indonesia terbesar sepanjang 2021 dengan proporsi mencapai 54 persen. Negara-negara di kawasan Eropa, seperti Belanda, Jerman, Belgia, Inggris, Perancis, dan Spanyol, menempati posisi kedua dengan proporsi total 19,1 persen.
Adapun hasil survei yang dipaparkan HIMKI menunjukkan, sebanyak 29 persen pelaku industri menilai kinerja logistik di pasar dalam negeri dan ekspor tergolong kurang baik. Sebanyak 24 persen pelaku industri mengalami berkurangnya ketersediaan bahan produksi. ”Survei ini diadakan tiga bulan lalu. Kami menggandeng peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),” ujar Sobur.
Menurut Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, ekspor industri furnitur dan kerajinan tak maksimal karena adanya market shock akibat perang Rusia-Ukraina sehingga inflasi di negara tujuan ekspor tergolong tinggi. ”Ketidakpastian ini mengganggu (kinerja ekspor manufaktur). Penurunan pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar yang menjadi tumpuan ekspor mesti disikapi,” katanya saat membuka simposium.
Usul optimalisasi
Dalam menghadapi tantangan ekonomi global itu, optimalisasi produk dan diversifikasi pasar ekspor dapat menjadi solusi. Analis Perdagangan Ahli Madya Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Hamidi Hasyim mengusulkan optimalisasi produk ekspor yang memiliki ceruk pasar. Misalnya, tempat duduk lapisan kayu (kode HS 940161) dan furnitur ruang makan selain kursi (kode HS 940340).
Setiap tahun, rata-rata pertumbuhan permintaan kelompok produk HS 940161 dan HS 940340 masing-masing 6,54 persen dan 5,55 persen, sedangkan potensi ceruk pasarnya berkisar 24,3 miliar dollar AS dan 7,9 miliar dollar AS. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor kedua produksi itu sepanjang Januari-September 2022 masing-masing baru 39,4 juta dollar AS dan 64,8 juta dollar AS.
Menanggapi usulan tersebut, Sobur mengatakan, pelaku industri dalam negeri dapat mengoptimalkan produksi kelompok produk itu. Selain itu, pelaku industri mebel dan kerajinan berencana mengambil peluang pesanan produk dalam proyek ibu kota negara baru sebagai optimalisasi pasar dalam negeri. Dia memperkirakan, pesanan untuk proyek tersebut berdatangan pada 2023.
Dari sisi keuangan, Sobur berharap pemerintah dapat menambah volume kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) serta mempercepat proses kreditnya. ”Adanya skema bunga murah dan jangka waktu (pinjaman) yang lama bisa membantu pelaku industri masuk ke pasar non-tradisional,” katanya.
Terkait pasar-pasar nontradisional, Putu menilai sejumlah negara di Asia berpotensi menjadi sasaran ekspor lantaran pertumbuhan ekonominya tergolong positif. Misalnya, India dan negara-negara di kawasan Timur Tengah.