Penyuluh Jadi Titik Kritis Kebijakan Baru Pupuk Bersubsidi
Idealnya, penyuluh pertanian mengetahui kondisi petani dan kegiatan pertanian di lapangan. Namun, perlu pengecekan organisasi penyuluhan di tingkat kecamatan. Kredibilitas organisasi penyuluh menentukan kualitas data.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Berbeda dengan aturan sebelumnya, luas lahan petani pada basis data penyuluh menjadi salah satu landasan pemerintah dalam menentukan alokasi pupuk bersubsidi. Artinya, aturan baru mengenai pupuk bersubsidi menitikberatkan peran penyuluh pertanian di lapangan.
Regulasi itu ialah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Aturan ini mencabut Permentan Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian menyosialisasikan perubahan tersebut pada 8-9 November 2022.
Pasal 1 Ayat 5 Permentan Nomor 10/2022 itu mendefinisikan Sistem Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) merupakan sistem informasi penyuluhan pertanian yang menyajikan basis data (database)kelembagaan penyuluhan, tenaga penyuluhan, dan kelembagaan pelaku utama. Pada aturan yang dicabut, basis data tersebut tidak dibahas.
Menurut Anggota Dewan Penasihan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, verifikasi dan validasi terhadap organisasi penyuluh pertanian menjadi titik krusial kebijakan pupuk bersubsidi yang baru. ”Idealnya, penyuluh pertanian mengetahui kondisi petani dan kegiatan pertanian di lapangan. Namun, perlu ada pengecekan organisasi penyuluhan di tingkat kecamatan. Kredibilitas organisasi penyuluh turut menentukan kualitas data yang menjadi landasan alokasi pupuk bersubsidi,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (9/11/2022).
Pasal 3 Ayat 5 Permentan Nomor 10/2022 menyatakan, petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi harus tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar dalam Simluhtan. Adapun komoditas yang digarap petani dan dapat memperoleh pupuk bersubsidi adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2, data spasial lahan petani menjadi landasan penetapan alokasi pupuk bersubsidi di tingkat petani. Apabila data spasial itu belum tersedia, luas lahan pada Simluhtan menjadi landasannya.
Dari segi alur mekanisme penetapannya, Pasal 5 Ayat 1 peraturan itu menyebutkan, pemerintah pusat merumuskannya setelah pagu definitif anggaran subsidi pupuk ditetapkan. Sesudah pemerintah pusat menetapkan, Pasal 7 Ayat 1 menyatakan, alokasi pupuk bersubsidi di tingkat provinsi ditetapkan.
Selanjutnya, Pasal 9 Ayat 1 dan 2 menyebutkan, pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan alokasi pupuk bersubsidi setelah ada penetapan di tingkat provinsi. Penetapan di tingkat kabupaten/kota turut mempertimbangkan usulan alokasi pupuk dari kecamatan melalui rencana definitif kebutuhan kelompok secara elektronik (e-RDKK). Hasil alokasi di tingkat ini juga perlu merinci hingga calon lokasi dan calon petani penerima.
Berbeda dengan aturan sebelumnya, alokasi pupuk bersubsidi di tingkat kabupaten/kota berangkat dari usulan kebutuhan dari kecamatan. Usulan tersebut menjadi landasan di tingkat provinsi hingga pemerintah pusat. Pasal 4 Permentan 41/2021 membahas mengenai pengusulan kebutuhan pupuk bersubsidi. Adapun Permentan 10/2022 tidak memuat pasal spesifik mengenai pengusulan kebutuhan pupuk bersubsidi.
Meskipun demikian, Bayu menilai, mekanisme penetapan alokasi pupuk bersubsidi masih menyisakan pekerjaan rumah. ”Anggaran pemerintah untuk pupuk bersubsidi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan petani. Berdasarkan data yang dikumpulkan, rata-rata anggaran pemerintah hanya mampu dinikmati sepertiga petani dari seluruh petani yang secara regulasi berhak menerima pupuk bersubsidi,” katanya.
Dalam siaran persnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meminta penyaluran pupuk bersubsidi kepada penerima yang terdaftar di e-RDKK dan Simluhtan secara akurat dan tepat sasaran. ”Perlu kehati-hatian dalam memasukkan datanya,” ujarnya.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan, perubahan Permentan 41/2021 menjadi Permentan 10/2022 telah mengikuti rekomendasi tim panitia kerja pupuk Komisi IV DPR RI. Dia berharap, perubahan ini menjadi perhatian bersama dalam mengelola pupuk bersubsidi ke depannya.