Kebijakan moneter BI berupa kenaikan suku bunga menahan laju pertumbuhan ekonomi. Namun, kebijakan BI lainnya, yakni makroprudensial diarahkan untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Sebagai otoritas moneter, tugas utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas nilai rupiah baik terhadap inflasi maupun fluktuasi nilai tukar. Untuk menjaga stabilitas tersebut, bank sentral dilengkapi dengan senjata utama yakni suku bunga acuan. Namun kenaikan suku bunga ibarat jamu pahit bagi perekonomian. Agar tidak melulu yang pahit-pahit, BI pun membaur kebijakannya sehingga selain jamu pahit, ada juga jamu manis yang berasal dari kebijakan makroprudensial. Kebijakan ini diarahkan untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi (pro growth). Demikianlah dua wajah kebijakan BI.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober lalu, BI menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 4,75 persen. Ini meneruskan tren kenaikan sebelumnya yakni 50 basis poin pada September dan 25 basis poin pada Agustus. Dengan demikian, sepanjang tahun ini BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin.
Kebijakan moneter berupa kenaikan suku bunga diambil BI untuk menjaga kestabilan nilai rupiah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti bulan September 2022 mencapai 0,30 persen. Adapun secara tahunan, inflasi inti mencapai 3,21 persen.
Besaran inflasi inti tersebut sudah melampaui titik tengah target BI yakni 3 persen. Dengan menaikkan suku bunga acuan, BI berharap inflasi inti dapat kembali menurun.
Selain inflasi, suku bunga kadang juga diperlukan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Saat rupiah terdepresiasi seperti saat ini, kenaikan suku bunga diperlukan untuk mencegah capital outflow atau pelarian dana asing ke luar negeri sehingga laju pelemahan rupiah bisa tertahan.
Namun, kenaikan suku bunga acuan punya dampak pahit karena akan mengerek naik suku bunga kredit bank. Kenaikan suku bunga kredit pada gilirannya akan menahan ekspansi dunia usaha.
Agar kenaikan suku bunga tak terlalu pahit dirasa masyarakat, BI pun menggunakan kebijakan makroprudensial sebagai jamu manis untuk masyarakat dan dunia usaha. Hal itu dilakukan melalui implementasi kebijakan makroprudensial yang sifatnya tetap mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha.
Salah satu kebijakan makroprudensial itu adalah melonggarkan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100 persen untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan). Kebijakan ini berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023.
Dengan kebijakan tersebut, maka perbankan dapat membiayai KPR sampai dengan 100 persen dari harga properti. Ini berarti masyarakat yang ingin mengambil KPR, jika memenuhi syarat, tidak perlu lagi menyediakan uang muka. Kebijakan ini juga dikenal sebagai kebijakan uang muka nol persen.
Tak hanya pada KPR, BI juga memberi keringanan uang muka kredit pembiayaan kendaraan bermotor menjadi paling sedikit 0 persen untuk semua jenis kendaraan baru. Ini dilakukan BI untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Kebijakan ini juga berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023.
Kebijakan BI melonggarkan pembiayaan atau kredit bank ini untuk merangsang penyaluran kredit tetap bisa bertumbuh. Bila penyaluran kredit bank bertumbuh, perekonomian juga akan tumbuh.
Penyaluran kredit properti dan kendaraan memiliki efek domino yang luas pada perekonomian. Sebuah proyek property bisa menggulirkan begitu banyak kegiatan ekonomi mulai dari hulu hingga hilir. Pembangunan properti juga bisa menciptakan lapangan kerja. Proyek property juga menghidupkan ekonomi sekitar proyek.
Efek domino ekonomi juga diciptakan oleh industri otomotif. Dalam menciptakan sebuah kendaraan bermotor, terdapat rantai produksi panjang dari hulu hingga hilir.
Kebijakan makroprudensial ini diharapkan menjadi jamu manis bagi perekonomian sehingga kenaikan suku bunga tidak terasa terlalu pahit.