Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen. Langkah ini untuk mempercepat pengendalian inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Oktober 2022 yang berlangsung Rabu-Kamis (19-20/10/2022) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 4,75 persen. Keputusan ini merupakan langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk mengerem inflasi yang terlalu tinggi dan mengembalikannya ke sasaran, yakni 3 persen plus minus 1 persen.
”Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 19-20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,50 persen,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI secara virtual, Kamis (20/10/2022), di Jakarta.
Ia menjelaskan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting) dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran, yakni 3 persen plus minus 1 persen, lebih awal, yaitu ke paruh pertama 2023.
Front loaded adalah strategi menaikkan suku bunga dengan porsi yang besar di waktu awal dari rangkaian kenaikan suku bunga dalam periode tertentu. Ini sekaligus juga merupakan langkah pre-emptive, yakni mitigasi risiko untuk mencapai sasaran di masa mendatang atau forward looking.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi umum September 2022 mencapai 1,17 persen. Adapun inflasi umum September 2022 dibandingkan September 2021 mencapai 5,95 persen. Sementara inflasi umum kalender tahun berjalan 2022 atau Januari-September 2022 mencapai 4,84 persen.
Sementara itu, inflasi inti pada September 2022 mencapai 0,30 persen. Adapun inflasi inti September 2022 dibandingkan September 2021 mencapai 3,21 persen dan inflasi inti kalender tahun berjalan 2022 atau Januari-September mencapai 2,81 persen. Adapun kondisi inflasi umum dan inflasi inti saat ini sudah melampaui target BI, yakni 3 persen plus minus 1 persen.
Nilai rupiah
Selain itu, Perry menjelaskan, kebijakan menaikkan suku bunga acuan itu untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dollar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
Nilai tukar rupiah sampai 19 Oktober 2022 terdepresiasi 8,03 persen dari awal tahun. Besaran depresiasi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 10,42 persen, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand 12,55 persen.
Depresiasi tersebut sejalan dengan menguatnya dollar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di sejumlah negara, terutama AS untuk merespons tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global, di tengah persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
BI perlu tetap berada selangkah lebih depan dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah potensi aliran modal keluar.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky berpendapat, BI perlu tetap berada selangkah lebih depan dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah potensi aliran modal keluar tambahan dari kenaikan suku bunga lebih lanjut dari bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
”Meskipun terjadi pelemahan eksternal, sentimen terhadap perekonomian domestik dalam jangka panjang masih cukup menjanjikan,” ujar Riefky.