Menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah desa sekitar hutan menghadapi tantangan utama berupa terpenuhinya kebutuhan hidup penduduk dari kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya menjaga kelestarian hutan.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·5 menit baca
Sejak tahun 2020, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menggunakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai acuan pembangunan desa. SDGs Desa menjadi pedoman umum penggunaan dana desa.
SDGs dan SDGs Desa tidak lepas dari akarnya, yaitu konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ada tiga pilar penyangga pembangunan berkelanjutan, yaitu kemajuan ekonomi, kelestarian ekologi, dan keadilan sosial. SDGs Desa merincinya menjadi 18 tujuan dan sasaran, namun payung besarnya tetap tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang harus dilihat secara utuh.
Kondisi geografis, budaya, dan sosial sangat berpengaruh pada sektor ekonomi unggulan yang dianggap potensial untuk dikembangkan. Setiap desa memiliki tantangan berbeda dalam menggapai pembangunan desa yang berkelanjutan, termasuk desa-desa yang berlokasi di sekitar hutan.
Desa di kawasan hutan
Badan Pusat Statistik mencatat ada 81.616 desa di Indonesia. Dari jumlah tersebut, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan 25.863 desa (31,68 persen) di antaranya berlokasi di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kehidupan masyarakat di desa-desa tersebut sebagian besar tergantung pada hutan.
Dari sisi ekonomi, hutan adalah sumber kayu, rotan, madu hutan, serta sumber lahan untuk perkebunan dan sektor lainnya. Dari sisi lingkungan, hutan memiliki berbagai fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air (water catchment), sebagai produsen oksigen, sebagai penyerap karbon (carbon sequestration), dan sumber keanekaragaman hayati. Sayangnya, fungsi ekonomi hutan sering bertabrakan dengan fungsi ekologis hutan.
Pembalakan (logging) dan alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan pertambangan, pertanian, serta perkebunan adalah penyebab utama deforestasi di Indonesia, yang menjadi awal hilangnya fungsi ekologis hutan. Padahal, sektor-sektor ekonomi tersebut tidak hanya memberikan penghasilan bagi penduduk dan negara, tetapi juga penyedia lapangan kerja dan sumber devisa.
Kelapa sawit contohnya. Dengan perkebunan seluas 15,98 juta hektar (data tahun 2021), Indonesia adalah negara yang menguasai 58 persen pasar minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia. Data tahun 2021 juga mencatat CPO berhasil menyumbang devisa sebesar 30 miliar dollar AS (setara sekitar Rp 450 triliun) untuk negara. Sektor sawit menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 7 juta pekerja (belum termasuk anggota keluarga mereka). Namun harus diakui, sebagian kebun sawit didirikan dengan mengonversi hutan, mengubah kawasan hutan menjadi perkebunan yang bersifat monokultur.
Sektor pertambangan yang pernah saya bahas di kolom ini (28 Maret 2022) adalah contoh lain. Selama tambang dilakukan di atas lahan hutan, maka deforestasi tidak dapat dihindari. Akan tetapi, apabila disepakati kawasan hutan penting dipertahankan, perlu digaungkan beberapa alternatif kebijakan yang memadukan tujuan mencapai kemakmuran secara ekonomi dan komitmen melestarikan lingkungan.
Integrasi ekonomi-ekologi
Berbagai upaya sudah dan dapat dilakukan untuk memadukan tujuan ekonomi dan ekologi, demi tercapainya pembangunan berkelanjutan di desa-desa di sekitar hutan. Pembalakan yang merusak hutan alam sudah tidak dapat ditoleransi. Apabila aturan tebang-pilih-tanam sulit dilakukan, tidak ada cara lain kecuali menggunakan hutan tanaman industri sebagai sumber kayu dan produk kayu. Praksis agroforestry di kawasan hutan produksi seperti yang sudah lama dilakukan Perhutani perlu disebarluaskan, bukan hanya untuk mengurangi dampak negatif area monokultur, melainkan juga dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan. Kawasan monokultur memunculkan ancaman kehilangan (atau paling tidak berkurangnya) keanekaragaman hayati.
Dalam kasus perkebunan sawit, sampai saat ini KLHK tidak memasukkan kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Artinya, fungsi ekologis hutan tidak sepenuhnya dapat dipenuhi oleh kebun sawit. Sudah saatnya menggali alternatif minyak nabati yang berasal dari tanaman keras yang sekaligus berfungsi sebagai tanaman konservasi. Kementerian Pertanian atau KLHK pasti memiliki daftar tanaman yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Praksis agroforestry akan melengkapi upaya untuk mencapai kesejahteraan secara ekonomi sekaligus melestarikan hutan.
Beberapa desa di sekitar hutan juga berhasil menjadi desa wisata. Dengan ”menjual” hutan sebagai destinasi wisata, mestinya mempertahankan kelestarian hutan akan dilakukan secara sukarela, karena hal itu berarti menjaga modal penghidupannya. Tantangannya adalah menarik wisatawan yang dapat menjadi sumber penghasilan yang cukup bagi desa-desa tersebut, yang dapat melebihi penghasilan mereka jika hutan tersebut dikelola dengan cara lain, tetapi menyebabkan deforestasi.
Tahun 1980-an sebetulnya sudah ada program yang bertajuk Integrated Conservation and Development Program (ICDP) sebagai upaya memadukan konservasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pemerintah, antara lain, memberikan hewan ternak pada penduduk dan berharap mereka dapat mengalihkan sumber penghidupannya dari kegiatan illegal logging ke peternakan. Program tersebut banyak berakhir dengan terjualnya ternak pemberian pemerintah dan penduduk kembali menjadi pembalak liar.
Rupanya ada satu hal penting yang terlupakan. Upaya menyatukan kegiatan pelestarian hutan dan mata pencaharian penduduk lokal tidak berada di ruang hampa, seolah hanya dua pihak, yaitu penduduk dan pemangku kebijakan yang berinteraksi. Lupa bahwa penduduk lokal juga berinteraksi dengan pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari kegiatan illegal logging. Pihak yang terakhir ini biasanya adalah pemilik modal yang bersedia memberikan pinjaman pada para pembalak, dan bagi para loggers hal ini adalah sebuah solusi keuangan yang lebih berjangka pendek dibandingkan beternak kambing.
Menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah desa sekitar hutan menghadapi tantangan utama berupa terpenuhinya kebutuhan hidup penduduk dari kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya menjaga kelestarian hutan. Jika pendapatan yang diperoleh dari kegiatan tersebut dapat melebihi penghasilan mereka dari pengelolaan kawasan ‘hutan’ dengan cara lain, yaitu mengubahnya menjadi kebun monokultur, menjadikannya sumber kayu, atau mengalihfungsikan menjadi area pertambangan, maka dapat diharapkan tercapainya sustainable development di sana.