”Omnibus Law” Keuangan Diharapkan Atasi Regulasi yang Tak Relevan
Sejumlah undang-undang di sektor keuangan dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini. Rancangan undang-undang baru diharapkan menjawab kebutuhan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan atau RUU P2SK dinilai bisa memperbarui berbagai undang-undang sistem keuangan lama yang sudah tidak relevan. Sejumlah undang-undang di sektor keuangan yang berlaku hingga kini merupakan produk legislasi belasan bahkan puluhan tahun lalu dan dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi.
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara berpendapat, sejumlah UU di sektor keuangan sudah tidak relevan merespons perkembangan dan inovasi teknologi keuangan yang pesat. UU itu antara lain UU Perbankan yang diterbitkan tahun 1992 dan UU Pasar Modal yang diterbitkan pada 1995.
Selain itu, UU yang mengatur lembaga negara sektor keuangan juga merupakan lama seperti UU Bank Indonesia yang keluaran 1999, UU LPS yang terbit 2004, dan UU OJK yang terbit 2011. ”Kondisi saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan saat undang-undang itu dibuat,” ujar Rudiantara dalam konferensi pers membedah RUU P2SK berjudul ”RUU PPSK: Membangun Fondasi Kebijakan Fintech yang Sustainable” di Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019 itu mengatakan, masyarakat hari ini sudah akrab menggunakan layanan keuangan digital melalui entitas teknologi finansial (tekfin). Berbagai inovasi layanan keuangan digital tersebut belum memiliki regulasi sebagai payung hukum.
Hal senada dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri. Ia mengatakan, RUU P2SK disebut ”omnibus law” sektor keuangan karena menggabungkan perubahan sekaligus sejumlah UU.
Guna mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan, UU perlu diperbarui sehingga relevan dengan perkembangan zaman. ”Berbagai entitas inovasi keuangan digital ini memerlukan kerangka aturan yang jelas,” ujar Yose.
Kebutuhan industri
Co-Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Bareksa Karaniya Dharmasaputra menjelaskan, industri tekfin mulai beroperasi di Tanah Air tahun 2016 sehingga masih terbilang baru. Saat ini regulasi yang mengatur industri ini belum setara UU. Hal ini membuat pelaku industri gamang dan bingung dalam beroperasi.
”Para pelaku usaha menilai masih banyak area ’abu-abu’ yang seharusnya diatur lebih lanjut dan lebih jelas,” ujar Karaniya yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech).
Karaniya menyambut baik adanya pasal yang mengatur soal industri tekfin yang pada RUU P2SK disebut Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). Harapannya, pasal-pasal yang ada bisa mendorong inovasi dan memberikan dampak lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi dan pendalaman pasar keuangan.
Industri tekfin terus berkembang. Mengutip data Aftech, pada 2021 telah ada 352 entitas tekfin di Indonesia. Adapun bidang usaha mereka antara lain pinjaman daring, pembayaran digital, inovasi keuangan digital, manajemen kesejahteraan, dan lainnya. Jumlah ini telah tumbuh puluhan kali lipat sejak industri masuk pada 2016, yakni 24 entitas usaha.
Akumulasi penyaluran pinjaman industri tekfin pinjaman antarpihak (peer to peer lending/P2P lending) sampai Agustus 2022 mencapai Rp 436,12 triliun. Adapun outstanding pinjaman atau pinjaman yang sedang berjalan sampai Agustus 2022 mencapai Rp 47,23 triliun.
Karaniya mengatakan, ekonomi digital yang salah satunya didorong oleh keberadaan industri tekfin kelak akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi dan semakin memberi kontribusi positif perekonomian Indonesia.
Berangkat dari kebutuhan itu, Karaniya dan Rudiantara menambahkan, pelaku industri tekfin memerlukan percepatan pembahasan. Namun, pembahasan RUU ini tetap perlu hati-hati dan mempertimbangkan dampaknya ke depan. ”Kami ingin semangat UU ini adalah untuk menciptakan usaha tekfin yang berkelanjutan dan juga meningkatkan perlindungan konsumen. Itu fokus kami,” ujar Rudiantara.