”Omnibus Law” Sektor Keuangan Perlu Dicermati
Penataan ekosistem keuangan melalui RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan akan berdampak luas. Agar dapat memperkuat sektor keuangan secara optimal, penyusunan RUU ini perlu dikawal oleh semua pihak dengan baik.

Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK yang berformat omnibus law akan mengamendemen 15 undang-undang di sektor keuangan. Mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam perekonomian nasional, sekaligus keluasan dampaknya bagi masyarakat, kini amat penting untuk memastikan RUU P2SK disusun melalui proses yang berjalan baik dan berkualitas.
RUU P2SK disepakati sebagai usulan DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 20 September 2022. Kini, dalam waktu maksimal 60 hari, pemerintah harus menyusun dan menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) sebagai bahan pembahasan RUU tersebut pada proses legislasi.
Ruang lingkup pengaturan ekosistem keuangan dalam RUU P2SK, antara lain, meliputi perbankan; pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing; perasuransian; asuransi usaha bersama; program penjaminan polis; usaha jasa pembiayaan; usaha modal ventura; dana pensiun; kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi; lembaga keuangan mikro; serta konglomerasi keuangan.
RUU P2SK yang berformat omnibus law akan mengamendemen 15 undang-undang di sektor keuangan.
Selain itu, RUU P2SK juga memuat perubahan pengaturan di ekosistem keuangan terkait dengan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), penerapan keuangan berkelanjutan; inklusi keuangan dan perlindungan konsumen; akses pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah; sumber daya manusia; serta stabilitas sistem keuangan. Adapun pengaturan ITSK, antara lain, meliputi sistem pembayaran; aktivitas terkait aset kripto; serta jasa keuangan digital lainnya.
Terkait dengan penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, misalnya, RUU P2SK ini mengubah UU No 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan atau biasa disebut UU yang mengatur Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK); UU No 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); UU No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK); UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI); dan UU No 7/2011 tentang Mata Uang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F05%2Fb9b0f17a-4e99-4c77-bcf4-47df01d6461e_jpg.jpg)
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari kiri ke kanan, Sophia Wattimena, Inarno Djajadi, Mirza Adityaswara, Mahendra Siregar, Dian Ediana Rae, Ogi Prastomiyono, dan Friderica Widyasari Dewi, memberikan keterangan kepada wartawan terkait hasil rapat dewan komsioner bulanan di Jakarta, Senin (5/9/2022). OJK menilai stabilitas sektor keuangan ke depan masih akan tetap terjaga.
Adapun terkait penataan di sektor perbankan, regulasi baru ini mengamendemen UU No 7/1992 tentang Perbankan dan UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Terkait aspek lain dalam ekosistem keuangan, RUU P2SK, antara lain, juga mengamendemen UU No 40/2014 tentang Perasuransian, UU No 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, serta UU No 25/1992 tentang Perkoperasian.
Perubahan signifikan
Draf RUU P2SK setebal 377 halaman yang berisi 339 pasal ini memuat sejumlah perubahan signfikan. Perubahan tersebut, antara lain, menyangkut tugas dan fungsi lembaga otoritas, pembentukan lembaga baru, serta persyaratan calon pemimpin lembaga otoritas. Ketiga hal ini banyak terdapat dalam lingkup tugas LPS, OJK, dan BI.
RUU ini, misalnya, mengusulkan penambahan fungsi LPS sebagai penjamin polis nasabah asuransi. Sementara perubahan struktur organisasi, antara lain, dilakukan pada tubuh OJK. Berdasarkan regulasi yang tengah disusun ini, struktur dewan komisioner atau kepala eksekutif (KE) OJK akan ditambah dengan komisioner/KE pengawas bidang penegakan hukum.
Tugas OJK bertambah dengan pengawasan kegiatan usaha koperasi serta pengawasan kegiatan usaha ITSK, termasuk bisnis aset kripto. Tugas pengawasan usaha aset kripto ini tak hanya menjadi tambahan tugas bagi OJK, tetapi juga bagi BI.
Selain itu, komisioner bidang industri keuangan nonbank berubah menjadi komisioner/KE pengawas industri asuransi dan dana pensiun serta komisiner/KE pengawas lembaga pembiayaan, modal ventura, teknologi finansial, koperasi, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dengan struktur baru ini, tugas OJK bertambah dengan pengawasan kegiatan usaha koperasi serta pengawasan kegiatan usaha ITSK, termasuk bisnis aset kripto. Tugas pengawasan usaha aset kripto ini tak hanya menjadi tambahan tugas bagi OJK, tetapi juga bagi BI.
Hal ini tertuang dalam Pasal 205 RUU ini yang menyebutkan, pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi ke BI dan OJK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Saat ini, pengawasan usaha aset kripto dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F05%2F22%2F7dacdc04-623d-4488-b74e-956092bceda5_jpeg.jpg)
RUU ini juga mengusulkan pembentukan lembaga baru, yakni Badan Supervisi LPS dan Badan Supervisi OJK. Saat ini, lembaga serupa yang ada hanya Badan Supervisi BI. Menurut RUU P2SK, Badan Supervisi akan bertugas membantu DPR untuk membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan baik OJK maupun LPS. Selain itu, Badan Supervisi juga melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan.
Salah satu perubahan yang dipandang krusial dalam RUU P2SK juga terkait proses pemilihan calon pemimpin lembaga sektor keuangan. Proses pencalonan dan seleksi anggota dewan komisioner OJK yang selama ini dilakukan pemerintah melalui panitia seleksi yang dipimpin menteri keuangan, dalam RUU ini dialihkan ke panitia seleksi yang dibentuk oleh DPR.
RUU P2SK juga menghapus Pasal 47 c dari UU BI yang tegas-tegas melarang anggota Dewan Gubernur BI menjadi pengurus dan atau anggota partai politik. Artinya, bisa diterjemahkan bahwa pengurus parpol bisa saja menduduki posisi Dewan Gubernur BI.
Respons pemerintah
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, RUU P2SK yang saat ini tengah disusun oleh DPR dan pemerintah dapat menjadi fondasi untuk melakukan reformasi sektor keuangan. ”Negara hanya akan maju jika sektor keuangannya kuat. Sektor keuangan akan menjadi tulang punggung sekaligus aliran darah bagi perekonomian untuk bisa maju secara sustainable,” katanya.

Sri Mulyani menekankan, berbagai aspek akan diatur ulang melalui omnibus law tersebut. Di antaranya, peningkatan akses data keuangan, perluasan sumber pembiayaan jangka panjang, peningkatan daya saing dan efisiensi, penguatan mitigasi risiko, serta peningkatan perlindungan bagi investor dan konsumen.
Ia berharap upaya penguatan sektor keuangan yang akan dibahas lewat RUU P2SK akan membantu menstabilkan dan menguatkan sektor keuangan agar lebih tepercaya di mata investor dan masyarakat. ”Cukup banyak hal yang akan diatur. Karena RUU ini begitu strategis dan luas pengaturannya, saya berharap seluruh institusi dan elemen masyarakat akan ikut mendukung dan mengawalnya,” ujar Sri.
Menurut Ketua DK OJK Mahendra Siregar, RUU P2SK merupakan proses lanjutan penguatan dan reformasi sektor jasa keuangan. ”Ini menjadi makin penting bagi kita untuk memaksimalkan potensi keuangan yang ada di Indonesia yang bisa dicapai melalui langkah-langkah penguatan sehingga berkontribusi lebih kuat lagi ke perekonomian nasional,” ujar Mahendra.
Terkait akan bertambahnya tugas baru LPS, Ketua DK LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, menjadi kebanggaan tersendiri karena lembaganya dipercaya mengemban tugas tambahan. ”Tentu saja dinamikanya juga akan meningkat dan ini yang harus kita antisipasi dan persiapkan secara bersama-sama, baik secara lembaga maupun individunya. Kami yakin kita semua mampu mengembannya,” ujar Purbaya.
Baca juga: Menakar "Omnibus Law" Sektor Keuangan

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, perkembangan zaman saat ini memang sudah menuntut amendemen UU BI, UU OJK, UU LPS, dan UU KSSK. Percepatan pembahasan RUU P2SK dapat dilakukan asalkan proses penyusunannya dalam koridor aturan yang tepat dan tetap harus melibatkan banyak pihak. Dengan begitu, UU tersebut kelak bisa bermanfaat optimal.
Kendati demikian, Piter menyoroti soal dibukanya kemungkinan campur tangan politik dalam penentuan calon pimpinan otoritas keuangan, seperti BI dan OJK. Lembaga otoritas keuangan memiliki posisi dan peran sangat penting dalam perekonomian. Kesalahan atau bias kepentingan politik dalam pengelolaannya bisa menyebabkan kerusakan perekonomian yang masif.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti soal masuknya pengawasan usaha aset kripto sebagai ITSK pada kewenangan BI dan OJK. Ia berpendapat, jika pengawasan diatur oleh OJK, padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai cryptocurrency atau mata uang, melainkan sebagai komoditas, hal ini akan menimbulkan dualisme pengawasan.
”Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya, apakah sebagai mata uang atau komoditas?” ujarnya.