Pertimbangkan Potensi Dampak Negatif Visa Rumah Kedua
Pemerintah baru saja meluncurkan kebijakan visa rumah kedua berdurasi 5 atau 10 tahun. Sejumlah kalangan menginginkan pemerintah mengevaluasi bentuk-bentuk visa yang sudah ada sebelumnya dan mirip.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah resmi meluncurkan visa rumah kedua atau second home visa dengan durasi lima atau sepuluh tahun. Kebijakan ini dinilai mampu menjadi salah satu daya tarik investasi baru, tetapi di sisi lain dikhawatirkan bisa mengganggu pasar tenaga kerja dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Haryadi B Sukamdani berpendapat, kebijakan visa rumah kedua memiliki dampak positif, yaitu memikat lebih banyak wisatawan mancanegara (wisman) masuk ke Indonesia. Harapannya, semakin banyak kunjungan wisman bisa berdampak langsung dan tidak langsung ke perekonomian Indonesia. Dampak langsungnya berupa belanja wisman terhadap produk lokal di destinasi, sementara dampak tidak langsungnya berupa menarik investasi baru untuk industri pariwisata.
”Durasi visa rumah kedua, yaitu lima atau sepuluh tahun. Ini bisa berdampak ke industri properti karena tinggal lebih lama, berarti ada kemungkinan pemegang visa akan sewa rumah. Hanya saja, kami menyarankan agar pemerintah memperkuat pengawasan agar jangan sampai mereka ini melakukan kegiatan yang menyalahi undang-undang di Indonesia,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari mengatakan, Pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa jenis kebijakan visa, di antaranya visa dinas, visa diplomatik, bebas visa kunjungan khusus wisata, visa kerja, dan visa tinggal terbatas.
Menurut dia, kebijakan-kebijakan visa tersebut seharusnya dievaluasi terlebih dulu sebelum akhirnya mengeluarkan visa rumah kedua. Apalagi kabar yang beredar menyebut visa rumah kedua dibuat sebagai insentif nonfiskal dan stimulus untuk mendongkrak investasi.
”Kalau sasarannya adalah investasi, berarti kebijakan visa rumah kedua bukan untuk turis. Lagi pula, konsep wisatawan itu sejatinya adalah orang yang berkunjung ke suatu tempat/negara 0–1 tahun. Datang ke suatu negara lebih dari satu tahun berarti bekerja,” ujarnya.
Menurut dia, persyaratan permohonan visa rumah kedua juga terkesan lebih mudah dibandingkan dengan visa kerja. Salah satu syarat mengajukan visa kerja adalah warga negara asing harus menyertakan sponsor dan bukti bekerja dari perusahaan di mana dia bekerja. Sementara syarat memohon visa rumah kedua, yaitu proof of fund, berupa rekening milik orang asing atau penjamin. Itu pun nilainya hanya Rp 2 miliar.
”Nilai yang cukup rendah. Kekhawatiran kami ialah kedatangan pemegang visa rumah kedua bisa ’merebut’ pasar lowongan kerja pekerja lokal. Potensi konsekuensi negatif seperti ini seharusnya dipikirkan oleh pemerintah terlebih dulu,” imbuh Azril.
Semakin tinggi upaya pengawasan yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Penasihat Tim Ekonomi Kerthi Bali Research Center Universitas Hindu Indonesia, Cipto Gunawan, memiliki pandangan senada. Semakin lama durasi visa diberikan, semakin tinggi upaya pengawasan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah perlu menjelaskan kepada masyarakat mekanisme kontrol implementasi visa rumah kedua.
Evaluasi pemberlakuan kebijakan visa-visa yang sebelumnya pun belum pernah disampaikan pemerintah kepada masyarakat. Padahal, kata Cipto, di masyarakat sudah berkembang dugaan penyelewengan, termasuk dugaan adanya pekerja asing ilegal.
Dia menyampaikan, pemerintah negara lain sudah lebih dulu menerapkan visa rumah kedua. Salah satunya adalah Malaysia. Pemerintah Malaysia juga mengeluarkan kebijakan visa premium. Konsep kebijakan ini ialah izin tinggal residensial eksklusif dan ditujukan bagi investor.
”Pemerintahnya membatasi jumlah pemegang visa itu, yang bisa masuk ke Malaysia hanya 1 persen dari total populasi penduduk Malaysia. Pemerintah Indonesia jangan asal ikut, tetapi harus mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan sumber daya manusia,” ujar Cipto.
Pada Selasa (25/10/2022), Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia resmi meluncurkan kebijakan visa rumah kedua. Kebijakan ini tercantum dalam Surat Edaran Nomor IMI-0740.GR.01.01 Tahun 2022 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Terbatas Rumah Kedua.
Subyek visa rumah kedua ialah warga negara asing atau eks warga negara Indonesia yang hendak tinggal dan berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia. Dengan visa ini, warga negara asing dapat tinggal di Indonesia selama lima atau sepuluh tahun, lalu melakukan berbagai macam kegiatan, seperti penanaman investasi.
Permohonan pengajuan visa rumah kedua melalui laman visa-online.imigrasi.go.id. Dokumen persyaratan yang dibutuhkan ialah paspor kebangsaan yang masih berlaku minimal 36 bulan dan proof of fund berupa rekening milik orang asing atau penjamin dengan nilai sekurang-kurangnya Rp 2 miliar atau setara. Dokumen lainnya ialah pas foto berwarna terbaru dan daftar riwayat hidup.
Nilai tarif penerimaan negara bukan pajak visa rumah kedua per orang adalah Rp 3 juta, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2 Tahun 2022. Pembayarannya dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia melalui laman pembayaran penerimaan negara bukan pajak yang telah tersedia.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana, dalam siaran pers, mengatakan, peluncuran kebijakan visa rumah kedua dilakukan menjelang pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi G20 agar menarik wisatawan mancanegara yang datang ke Bali dan berbagai destinasi lainnya. Kebijakan visa itu mulai berlaku efektif 60 hari sejak surat edaran terbit.
”Kebijakan keimigrasian ini merupakan salah satu insentif nonfiskal yang diharapkan bisa menjadi stimulus bagi orang asing untuk tinggal dan berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia di tengah-tengah kondisi ekonomi global yang semakin dinamis,” kata Widodo.