Kenaikan Harga Gabah Belum Jamin Kesejahteraan Petani
Peningkatan harga gabah dalam tiga bulan terakhir dinilai belum sejalan dengan kondisi kesejahteraan petani. Petani justru tekor karena kenaikan indeks harga yang mereka bayar lebih tinggi ketimbang yang mereka terima.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga gabah dalam tiga bulan terakhir belum menjamin kesejahteraan petani. Pasalnya, kenaikan tersebut belum mampu menutup pengeluaran yang naik seiring kenaikan ongkos produksi dan harga barang kebutuhan sehari-hari. Petani berharap pemerintah menekan biaya produksi, terutama pupuk.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Nasional, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik dalam tiga bulan terakhir. Kenaikan harga GKP mencapai 13 persen, yakni dari Rp 4.460 per kilogram (kg) pada 26 Juli menjadi Rp 5.040 per kg pada 26 Oktober.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, saat dihubungi pada Rabu (26/10/2022), mengatakan, petani bisa saja mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga. Namun, jika menilik hasil perhitungan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), biaya produksi GKP mencapai Rp 5.876 per kg. Angka itu lebih tinggi dibandingkan harga jual gabah di tingkat petani.
Sebelumnya, Koordinator Evaluasi dan Pelaporan Sekretariat Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Batara Siagian menilai, kenaikan harga gabah sebagai sesuatu yang wajar. Terlebih, biaya produksi petani meningkat seiring kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), benih, dan pupuk. Kenaikan harga gabah, kata Batara, tidak perlu diperdebatkan selama memberikan keuntungan kepada petani (Kompas.id, 26/10/2022).
”Kalaupun untung, keuntungannya hanya dinikmati sebagian kecil petani yang panen pada bulan-bulan ini. Sebagian besar sudah panen pada musim tanam sebelumnya. Selain itu, untung pun tidak berarti sejahtera,” kata Khudori.
Sejumlah petani di Demak, Jawa Tengah, misalnya, tidak menikmati kenaikan harga gabah. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Demak Karsudi mengatakan, petani di wilayahnya sudah panen pada Juli lalu. Saat itu, mereka menjual GKP dengan harga berkisar Rp 3.500-Rp 4.000 per kg. Harga itu di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di petani, yakni sebesar Rp 4.200 per kg.
Kesejahteraan petani biasanya dilihat dari nilai tukar petani (NTP). NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-September 2022, petani mengalami defisit alias tekor.
NTP subsektor tanaman pangan berada di angka 98,13 atau masih di bawah angka 100 sebagai titik impas. Hal itu karena indeks harga yang dibayar petani lebih tinggi daripada indeks harga yang diterima petani. Artinya, harga yang dibayar petani mengalami kenaikan lebih cepat daripada harga yang mereka terima.
Pada September 2022, pengeluaran petani yang tinggi, tecermin dalam indeks harga yang dibayar petani, tidak terlepas dari kenaikan Indeks Kelompok KRT (Konsumsi Rumah Tangga) sebesar 0,95 dari bulan sebelumnya. Indeks Kelompok KRT meliputi tujuh kelompok barang dan jasa yang dibayarkan konsumen, mulai dari bahan makanan hingga rekreasi dan olahraga.
Selain itu, Indeks Kelompok BPPBM (Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal) juga meningkat, yakni mencapai 0,96 persen. Komponen BPPM antara lain bibit, obat dan pupuk, sewa lahan dan pajak, transportasi, barang modal, dan upah buruh.
Ketua KTNA Kudus Hadi Sucahyono mengatakan, biaya produksi memang meningkat. Dia mencontohkan, upah buruh tani meningkat 10 persen sejak kenaikan harga BBM bersubsidi pada September 2022. Sementara itu, biaya solar untuk traktor juga meningkat 30 persen.
”Selain itu, (kenaikan harga) pupuk juga ikut meningkatkan ongkos produksi. Sebab, pupuk subsidi terbatas jumlahnya. Mau tidak mau, petani akhirnya beli pupuk nonsubsidi yang harganya mahal,” kata Hadi.
Hadi berharap pemerintah berperan aktif untuk membantu petani. Salah satunya dengan mengelola pupuk subsidi dengan baik. Menurut dia, jika pupuk subsidi tidak bisa ditambah jumlahnya, lebih baik pemerintah mengatur harga pupuk nonsubsidi agar terjangkau petani.
Karsidi juga menyampaikan harapan soal penyaluran pupuk subsidi. Dia mengatakan, penyaluran subsidi harus didasarkan pada kondisi petani. Misalnya, adanya kemungkinan petani membutuhkan pupuk lagi lantaran padinya diserang hama atau ada faktor alam lain.
”Namun, karena pupuk subsidi pakai kuota, petani enggak bisa beli lagi karena kuotanya sudah habis. Ini yang harusnya diperhatikan pemerintah saat menyalurkan pupuk subsidi. Apalagi, pupuk, kan, harus tepat waktu dan tepat jumlah. Kalau tidak tepat, akan berdampak ke jumlah produksi,” ujar Karsidi.