Pemerintah mulai mengurangi pupuk bersubsidi menjadi hanya jenis urea dan NPK. Itu pun untuk sembilan komoditas. Kebijakan itu menambah beban biaya produksi, menggerus margin usaha tani, dan mengancam produksi tanaman.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
—
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Timur Suharno mengatakan, pengurangan pupuk bersubsidi merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Kebijakan itu mulai diterapkan Juli 2022 dan saat ini merupakan masa peralihan atau transisi.
Permentan itu menyatakan jenis pupuk bersubsidi hanya urea dan NPK. Sebelumnya, jenis pupuk bersubsidi meliputi urea, NPK, SP36, ZA, dan pupuk organik. Sebelumnya ada 70 komoditas yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi, kini tinggal sembilan komoditas, antara lain padi, jagung, dan kedelai.
Pengurangan jenis pupuk jelas mengancam kesuburan lahan pertanian dan bertentangan dengan konsep pemupukan berimbang yang diprogramkan pemerintah. Padahal, kondisi lahan pertanian sudah jenuh dan butuh pemulihan untuk mengembalikan kesuburan.
”Tanpa diimbangi dengan pupuk organik, residu bahan kimia pada tanah semakin tinggi dan sulit diurai. Apalagi kondisi petani sangat heterogen, yakni ada petani pemilik lahan, penggarap lahan, dan penyewa,” ujar Suharno.
Menurut Suharno, alokasi pupuk yang diterima petani saat ini rata-rata 200 kilogram per hektar untuk urea dan NPK. Alokasi pupuk itu jauh dari kebutuhan pemupukan berimbang dengan pola 500 kg pupuk organik, 300 kg NPK, dan 200 kg urea per hektar.
Faktanya, petani menggunakan 400 kg urea dan 350 kg NPK untuk menggenjot produksi agar mampu menutup biaya usaha tani yang terus meningkat.
Bersiasat
Petani sebenarnya sudah bersiasat mengatasi kekurangan kebutuhan pupuk dengan membeli pupuk nonsubsidi meski harganya tinggi. Namun, dengan semakin berkurangnya jatah petani, jumlah pupuk nonsubsidi yang harus dibeli semakin besar.
Hal itu membebani biaya produksi karena harga eceran tertinggi pupuk urea bersubsidi hanya Rp 2.250 per kg dan NPK bersubsidi Rp 2.300 per kg.
Adapun harga urea nonsubsidi bisa mencapai Rp 10.000 per kg dan NPK bahkan menembus Rp 23.000 per kg. Selisih harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi yang mencapai lima kali lipat, bahkan 10 kali lipat, itulah yang memberatkan petani.
Disparitas tersebut memicu oknum untuk memanfaatkan tata niaga pupuk secara kriminal. (Surambah)
”Padahal, biaya pertanian tidak hanya pupuk, tetapi juga pembelian benih, pestisida atau obat-obatan tanaman, upah buruh tani, sewa lahan, bahkan biaya pengadaan air irigasi saat musim kemarau seperti ini. Di sisi lain, harga gabah kerap jatuh saat panen raya,” kata Suharno.
Dia meminta pemerintah menertibkan data penerima pupuk bersubsidi dan menindak penyelewengan. Menurut Suharno, pangkal persoalan saat ini adalah data petani yang tidak valid sehingga bilangan pembagi untuk alokasi pupuk bersubsidi menjadi lebih besar. Akibatnya, jatah yang diterima petani semakin sedikit.
Cabut subsidi
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri Jatim beserta HNSI, HKTI dan KTNA sepakat membuat sebuah komitmen untuk mendesak pemerintah mencabut subsidi pupuk. Komitmen itu menjadi bagian dari rekomendasi yang dikirim kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Presiden Joko Widodo.
Subsidi pupuk, menurut Surambah, tidak penting, tetapi justru yang menghancurkan ruang gerak petani. Distribusi pupuk subsidi juga kian amburadul, termasuk disparitas harga semakin tinggi juga menyebabkan petani harus membeli pupuk subsidi di beberapa tempat dengan harga tinggi, antara Rp 250.000 dan Rp 300.000 per 50 kg.
”Sebab, disparitas tersebut memicu oknum untuk memanfaatkan tata niaga pupuk secara kriminal,” ujar Wakil Bupati Jombang itu.
Terkait penyaluran pupuk di Jatim, VP Penjualan Wilayah Jatim PT Pupuk Indonesia (Persero) Iyan Fajri mengatakan, alokasi pupuk bersubsidi jenis urea dan NPK di provinsi ini pada periode Januari-Agustus 2022 sebanyak 1,03 juta ton.
Dalam periode tersebut, Pupuk Indonesia telah menyalurkan sebanyak 976.000 ton atau mencapai 94 persen.
Wakil Ketua HKTI Jatim Warsito menambahkan, pemerintah harus berani membalik sistem subsidi, dari subsidi tanam menjadi subsidi hasil. Pemerintah harus bisa memberikan rasa aman dengan memberikan kepastian penjualan produk dan kepastian harga yang berpihak kepada petani.
Pemerintah bertanggung jawab membeli seluruh hasil panen petani agar mereka memiliki kepastian dalam menjalankan usaha pertaniannya. Kasus petani di Kota Batu yang membuang hasil panen sayur ke sungai karena tidak laku dijual harus menjadi pelajaran berharga bagi pemangku kebijakan di negeri ini.
Justru keberadaan Bulog harus digenjot agar petani selalu diuntungkan. Tidak seperti sekarang, saat waktu tanam, pupuk sulit didapat. Kalau ada pun, harganya pasti mahal.
”Ironis lagi, ketika musim panen, pemerintah membuka keran impor sehingga harga jatuh. Oleh karena itu, yang diberikan bukan lagi subsidi pupuk, melainkan subsidi pascapanen,” tegas Warsito.
Produksi padi daerah ini pada 2020 dan 2021 berturut-turut mencapai 9,9 juta ton dan 9,74 juta ton gabah kering giling (GKG). Adapun sampai dengan Maret 2022, luas panen di Jatim 9,74 hektar dengan produksi setara 5,6 juta ton beras dan surplus sekitar 1,3 juta ton.
Jatim menjadi produsen beras tertinggi nasional. Kabupaten Lamongan tercatat sebagai daerah penghasil padi tertinggi dengan produksi 792.000 ton GKG dan luas panen 138.450 hektar.
Posisi kedua diduduki Kabupaten Ngawi dengan produksi 786.000 ton GKG dan luas panen 128.738 hektar. Berbagai upaya dikerahkan untuk menjaga produktivitas tanaman pangan, salah satunya gerakan percepatan tanam padi dengan pemilihan varietas Inpari 32 yang mampu menghasilkan 9 ton per hektar.