Produksi Padi Jatim Turun di Tengah Bertambahnya Luas Panen
Produksi padi Jatim turun 35.000 ton meski luas panen meningkat 433 hektar. Petani minta Pemprov Jatim memperhatikan sarana produksi pertanian, terutama pasokan pupuk subsidi yang selalu kurang setiap tahun.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Produksi padi di provinsi yang menjadi lumbung pangan terbesar nasional turun 35.000 ton meski luas panen meningkat 433 hektar. Petani minta Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperhatikan sarana produksi pertanian, terutama pasokan pupuk subsidi yang selalu kurang setiap tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim memproyeksikan hingga akhir 2021, produksi padi mencapai 9,91 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 5,69 juta ton beras. Produksi padi tersebut dihasilkan dari luas hamparan panen yang mencapai 1,755 juta hektar (ha).
Koordinator Fungsi Statistik Produksi BPS Jatim Adenan mengatakan, produksi padi tahun ini turun meski luas panen bertambah. Penurunan produksi padi sebesar 35.600 ton atau minus 0,36 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 9,94 juta ton. Produksi beras diperkirakan turun 20.000 ton atau minus 0,36 persen dari 5,71 juta ton menjadi 5,69 juta ton
”Sementara itu, luas panen meningkat 433 hektar atau 0,02 persen dari 1,754 juta ha menjadi 1,755 juta ha,” ujar Adenan, Jumat (15/10/2021).
Adenan mengatakan, berdasarkan hasil survei menggunakan metode kerangka sampel area (KSA), terjadi pergeseran puncak panen dari tahun lalu pada bulan April menjadi Maret. Produksi tertinggi tahun ini terjadi pada Maret sebesar 2,19 juta ton dan terendah pada Januari 0,3 juta ton.
Tiga kabupaten/kota dengan total potensi produksi padi tertinggi di Jatim dalah Ngawi sebesar 818.620 ton, Lamongan 804.823 ton, dan Bojonegoro 690.084 ton. Adapun tiga daerah dengan potensi produksi terendah adalah Mojokerto sebesar 299.701 ton, Kota Batu 5.216 ton, dan Kota Blitar 5.888 ton.
Sementara itu, kenaikan produksi padi yang relatif besar terjadi di Kabupaten Blitar sebesar 52.918 ton atau sekitar 26 persen, Banyuwangi naik 50.602 ton atau 10,75 persen, Ponorogo naik 38.770 ton atau 10,27 persen, dan Jember naik 30.075 ton atau 5,10 persen.
Adapun penurunan produksi terbesar terjadi di Lamongan sebesar 81.237 ton atau 9,17 persen, Bojonegoro turun 38.831 ton atau 5,33 persen, Gresik turun 32.658 atau 8 persen, dan Bangkalan turun 21.479 ton atau 10 persen.
Petani memerlukan pupuk agar tanamannya tumbuh dengan baik dan memiliki produktivitas yang tinggi. Namun, kesulitan pupuk selalu menjadi masalah yang berulang setiap tahun. (Suharno)
Penurunan produksi padi di Jatim disebabkan terjadinya penurunan produktivitas dari 5,66 ton per ha menjadi 5,64 per ha. Setidaknya hal itu disampaikan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Madiun Suharno. Hasil panen petani turun salah satunya karena kurangnya sarana produksi pertanian, terutama pupuk bersubsidi.
”Petani memerlukan pupuk agar tanamannya tumbuh dengan baik dan memiliki produktivitas yang tinggi. Namun, kesulitan pupuk selalu menjadi masalah yang berulang setiap tahun,” kata Suharno.
Suharno mengatakan, kebijakan tentang mekanisme penyaluran pupuk subsidi terus berganti dengan dalih perbaikan dan agar lebih tepat sasaran. Terkini, melalui Kartu Tani. Namun, faktanya, mekanisme tersebut tetap menyulitkan petani terutama petani penggarap yang tak punya lahan.
Mengurangi
Di sisi lain, pemerintah terus mengurangi alokasi pupuk subsidi sehingga jauh di bawah kebutuhan petani. Untuk memenuhi kebutuhannya, petani harus membeli pupuk dengan harga keekonomian tinggi. Di masa pandemi Covid-19 ini, kondisi petani kian terimpit sehingga mereka harus menekan biaya produksinya terutama pembelian pupuk.
Suharno mengusulkan pemerintah menambah alokasi pupuk bersubsidi untuk membantu petani di masa pandemi. Pembelian pupuk dan obat-obatan untuk mengatasi organisme pengganggu tanaman merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi pertanian.
Sementara itu, Rabu (13/12/2021), Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, kinerja sektor pertanian di wilayahnya menggembirakan di tengah situasi pandemi Covid-19. Salah satu indikasinya, kinerja ekspor pertanian Jatim yang mendominasi di wilayah nusantara.
”Dari total nilai ekspor pertanian sebesar Rp 7 triliun saat Merdeka Ekspor beberapa waktu lalu, Rp 1,3 triliun di antaranya berasal dari sektor pertanian Jatim,” kata Khofifah.
Merdeka Ekspor merupakan program Kementerian Pertanian untuk memberikan optimisme baru bagi petani dan pelaku usaha pertanian. Program tersebut menghasilkan Rp 7 triliun nilai ekspor dalam kurun waktu tujuh hari dari 17 bandara dan pelabuhan laut utama di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Jatim menjadi penyumbang ekspor tertinggi dengan nilai ekspor Rp 1,3 triliun yang diberangkatkan melalui Terminal Peti Kemas Surabaya. Ekspor Jatim terdiri dari beberapa subsektor, antara lain hortikultura, perkebunan, peternakan, dan tanaman pangan.