Penetrasi ”Fixed Broadband” Rendah, Operator Adu Harga Murah
Di kalangan penyedia jaringan tetap pita lebar telekomunikasi atau ”fixed broadband” kini sudah marak perang harga layanan yang murah. Jika dibiarkan, hal ini akan mengganggu kelangsungan keuangan industri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat penetrasi jaringan tetap pita lebar telekomunikasi atau fixed broadband masih berkisar 14,5 persen sehingga peluang menggarap bisnis layanan itu masih besar. Persaingan antar-penyedia fixed broadband juga semakin ketat.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif Angga menyebutkan, jumlah perusahaan telekomunikasi penyedia jasa internet (internet service provider/ISP) yang di dalamnya termasuk mengantongi izin penyedia fixed broadband telah mencapai sekitar 800 perusahaan. Setiap hari, setidaknya terdapat 2-3 penyedia ISP baru yang mengantongi izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
”Saat ini, ISP lokal banyak bermunculan. Mereka menawarkan layanan internet fixed broadband sampai ke tingkat desa. Dua tahun, rerata pendapatan per warga untuk belanja (average revenue per user/ARPU) layanan internet fixed broadband masih sekitar Rp 350.000, kini sudah ada ARPU yang sekitar Rp 180.000,” ujar Angga dalam diskusi bertajuk ”Perang Tarif Internet: Mungkinkah Menular Ke Penyedia Fixed Broadband”, Selasa (25/10/2022), di Jakarta.
Menurut Arif, ARPU yang semakin rendah memiliki kemungkinan penyedia layanan menawarkan harga berlangganan yang semakin murah untuk memenangkan persaingan di tengah banyaknya pemain. Jika hal ini benar, industri layanan fixed broadband bisa tidak tumbuh sehat.
”Di luar negeri, jumlah penyedia ISP tidak sampai beratus-ratus seperti di Indonesia. Perang harga pun minim. Jika telah terjadi perang harga, penyedia yang bisa bertahan harus sangat inovatif,” ucap Arif.
Vice President Marketing Management PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk Edie Kurniawan mengakui, perang harga layanan internet yang menggunakan jaringan tetap pita lebar telekomunikasi sedang berkembang. Sebagai gambaran, di masyarakat telah muncul promo pembayaran tujuh bulan untuk pemakaian selama 12 bulan. Promo seperti ini menuntut penyedia jaringan tetap pita lebar telekomunikasi lain berlomba membuat promo tak kalah menarik atau menurunkan harga.
”Nilai investasi untuk menggelar kabel jaringan tetap pita lebar itu mahal. Balik modal bisa lama,” kata Edie.
Sementara di tengah kondisi itu, lanjut Edie, warga semakin butuh layanan internet yang semakin cepat. Ketika sedang beraktivitas di luar ruangan, mereka butuh layanan internet cepat yang harus disediakan oleh penyedia jaringan bergerak/seluler. Kemudian, ketika sudah masuk berkegiatan di dalam ruangan, mereka perlu layanan internet cepat dari penyedia jaringan tetap.
”Apabila terus terjadi perang harga murah, lalu masyarakat menuntut internet bisa diakses semakin cepat atau kualitas semakin naik, kami berpendapat (keuangan) industri fixed broadband susah bertahan,” imbuh Edie.
Pada saat bersamaan, Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno mengatakan, sejak 1995, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan layanan telekomunikasi kepada mekanisme pasar. Oleh karena itu, ketika keuangan industri telekomunikasi ”berdarah-darah” menghadapi sengitnya perang harga layanan antarsesama operator, pemerintah susah menjadi penengahnya.
”Biaya yang harus dikeluarkan setiap operator untuk membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi berbeda. Jika pemerintah ingin mengatur tarif layanan internet dan menggunakan pendekatan pengeluaran biaya pembangunan infrastruktur, kami rasa itu akan rumit,” ucap Sarwoto.
Saran Mastel, kata Sarwoto, konsolidasi antarsesama operator telekomunikasi, baik yang bergerak di jaringan tetap maupun seluler, dibutuhkan. Saran lainnya adalah kerja sama antarpenyedia jaringan tetap dan seluler. Keduanya bisa menghadirkan program paket berlangganan layanan internet jaringan tetap dan jaringan seluler. Hal-hal seperti ini mampu menjaga industri telekomunikasi tetap sehat.