Konsolidasi Dorong Kinerja Industri Telekomunikasi Seluler
Kinerja industri telekomunikasi seluler tetap tumbuh di tengah pandemi Covid-19. Konsolidasi industri menjadi pendorong pertumbuhan pendapatan dan efisiensi operasional.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berjalan lebih dari dua tahun berdampak relatif kecil terhadap industri telekomunikasi di tanah air. Layanan telekomunikasi yang disediakan, terutama data, semakin diminati pelanggan. Konsolidasi antar operator yang terjadi saat pandemi juga diharapkan mendorong penyehatan industri dalam jangka panjang.
Analis pasar modal dari Nusantara Investama, Kuntho Priyambodo, saat dihubungi Kamis (5/5/2022), di Jakarta, berpandangan, telekomunikasi telah menjadi kebutuhan pokok. Tidak heran jika operator telekomunikasi terus menggelontorkan investasi tinggi untuk infrastruktur jaringan selama pandemi yang masih berjalan.
Menurut dia, kondisi industri telekomunikasi di Indonesia secara umum masih sehat. Ini bisa dilihat dari laporan kinerja keuangan masing-masing perusahaan telekomunikasi. Mengutip laporan keuangan PT Telkom Indonesia Tbk tahun 2021, pendapatan perusahaan tercatat Rp 143,21 triliun atau naik dibanding tahun 2020 yang sebesar Rp 136,462 triliun. Laba tahun berjalan Telkom tahun 2021 tercatat Rp 33,948 triliun atau naik dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,563 triliun.
Telekomunikasi telah menjadi kebutuhan pokok. Tidak heran jika operator telekomunikasi terus menggelontorkan investasi tinggi untuk infrastruktur jaringan selama pandemi yang masih berjalan.
Kemudian, mengutip laporan keuangan XL Axiata tahun 2021, pendapatan perusahaan tercatat Rp 26,754 triliun atau naik dibanding tahun 2020 yang sebesar Rp 26,009 triliun. Laba tahun berjalan XL Axiata tahun 2021 tercatat Rp 1,287 triliun atau naik dibanding tahun 2020 yang sebesar Rp 371,59 miliar.
Adapun, sesuai laporan keuangan PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren) tahun 2021, pendapatan usaha perusahaan tercatat sebesar Rp 10,456 triliun. Nilai ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Rp 9,407 triliun. Pada tahun 2021, Smarfren membukukan laba usaha sekitar Rp 247,188 miliar, sedangkan tahun sebelumnya perusahaan rugi Rp 784,67 miliar. Rugi tahun berjalan Smarfren menurun dari Rp 1,5 triliun pada 2020 menjadi Rp 435,321 miliar pada 2021.
Sementara PT Indosat Tbk, sesuai laporan keuangan tahun 2021, total pendapatan perusahaan tercatat Rp 31,388 triliun. Nilai ini sebenarnya naik dibanding tahun 2020 yang sebesar Rp 27,925 triliun. Akan tetapi Kuntho mengatakan, pada tahun 2021, PT Indosat Tbk menjual menara dengan perolehan Rp 6,017 triliun sehingga pendapatan PT Indosat Tbk tahun 2021 sesungguhnya adalah Rp 25,371 triliun.
“Pasca konsolidasi menjadi Indosat Ooredoo Hutchison, total pendapatan triwulan I-2022 mencapai Rp 10,872 triliun. Nilai ini adalah nilai dua perusahaan bergabung. Pada periode yang sama juga, rasio utang terhadap ekuitas yang dimiliki oleh Indosat Ooredoo Hutchison masih berkisar satu banding tiga,” kata Kuntho.
Pandemi Covid-19 telah menjadi berkah bagi industri telekomunikasi seluler karena internet semakin dibutuhkan untuk beraktivitas jarak jauh. Pascapandemi Covid-19, sektor telekomunikasi akan tetap menjadi tulang punggung bagi semua layanan digital.
Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo Hutchison Vikram Sinha, dalam konferensi pers paparan kinerja triwulan I-2022, akhir April 2022, mengatakan, pandemi Covid-19 telah menjadi berkah bagi industri telekomunikasi seluler karena internet semakin dibutuhkan untuk beraktivitas jarak jauh. Pascapandemi Covid-19, sektor telekomunikasi akan tetap menjadi tulang punggung bagi semua layanan digital.
Industri telekomunikasi di Indonesia, diperkirakan Vikram, akan menorehkan pertumbuhan pendapatan lima sampai enam persen pada 2022. Indosat Ooredoo Hutchison berharap bisa meraup pertumbuhan pendapatan lebih dari rata-rata industri.
Terkait utang perusahaan, Indosat Ooredoo Hutchison berencana melunasi dengan memakai fasilitas pinjaman bank yang belum digunakan. Ada dua utang yang dilunasi dengan cara itu, yakni pokok Obligasi Berkelanjutan II Indosat Tahap I Tahun 2017 Seri C sebesar Rp 312 miliar dan pokok Sukuk Ijarah Berkelanjutan II Indosat Tahap I Tahun 2017 Seri B sebesar Rp 160 miliar. Mengenai rencana penerbitan obligasi kembali, perusahaan masih akan mempertimbangkan semua alternatif pendanaan.
Moody’s Investors Service (Moody’s) melalui laporan riset Telecommunications — Asia Pacific 2022 Outlook (30 November 2021) menyatakan, di Indonesia, konsolidasi di industri merupakan kunci meraih pertumbuhan pendapatan. Konsolidasi juga akan membawa belanja modal, efisiensi operasional, dan memudahkan persaingan. Di tingkat Asia secara umum, Moody’s memandang, persaingan ketat mengejar skala keuntungan akan tetap mendorong konsolidasi di antara pelaku industri telekomunikasi pada tahun 2022–2023.
Pertumbuhan industri telekomunikasi di kawasan ini, lanjut Moody’s, diperkirakan akan stabil pada tahun 2022. Pendorong pertumbuhan ini mencakup beberapa faktor.
Selain konsolidasi antar pelaku industri di beberapa pasar negara berkembang, belanja modal juga tetap tinggi, berkisar 22–23 persen dari pendapatan, karena perusahaan harus mempercepat pembangunan jaringan pendukung 5G. Bagi kebanyakan perusahaan telekomunikasi, risiko pembiayaan dapat terkelola, yakni hanya 12 persen dari utang jatuh tempo. Akses mereka ke obligasi dan pinjaman bank tetap kuat.
“Pertumbuhan pendapatan operator di pasar negara berkembang akan tetap stabil di bawah produk domestik bruto, yakni berkisar 5–5,2 persen selama 12–18 bulan mendatang. Sektor industri telekomunikasi sudah matang. Pertumbuhan pendapatan tahun 2022 masih akan melebihi 2020 dan 2021 karena pengaruh konsolidasi yang mungkin mengurangi persaingan di beberapa pasar telekomunikasi di negara berkembang,” tulis Moody’s.
Dalam laporan yang sama, Moody’s juga menyebut pandemi Covid-19 berdampak kecil bagi industri telekomunikasi. Sebab, jaringan telekomunikasi penting untuk memenuhi kebutuhan komunikasi dan akses ke data internet.
Baca juga : Kita Belum Bisa Berlari Kencang di Era 5G
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno saat dihubungi Kamis, menjelaskan, "Pada masa mendatang, industri telekomunikasi seluler tetap tidak terpengaruh perubahan pandemi menjadi endemi Covid-19. Fokus industri tetap menekan perang harga layanan, efisiensi ongkos operasional, dan mengembangkan portofolio produk bisnis."
Konsolidasi antar perusahaan, diyakini Sarwoto, menjadi ajang untuk mengimplementasikan fokus tersebut. Dia mengakui, permintaan terhadap layanan telekomunikasi, terutama data internet, justru meningkat sejak pemberlakuan pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Akan tetapi, tren tingginya lalu lintas konsumsi data internet tidak sejalan dengan potensi pendapatan yang seharusnya operator peroleh.
Industri telekomunikasi seluler tetap tidak terpengaruh perubahan pandemi menjadi endemi Covid-19. Fokus industri tetap menekan perang harga layanan, efisiensi ongkos operasional, dan mengembangkan portofolio produk bisnis
pendapatan per pengguna (average revenue per user/ARPU) untuk mengakses layanan data internet cenderung stagnan. Fenomena ini diduga karena masih adanya perang harga layanan.
“Perusahaan telekomunikasi tetap harus efisien, meskipun beban modalnya besar. Ada biaya operasional perawatan jaringan, akuisisi jaringan, pegawai, dan beban regulasi yang membentuk EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi). Agar perusahaan telekomunikasi efisien, margin ETBIDA semestinya di atas 35 persen,” kata Sarwoto.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah berpendapat, kondisi pandemi Covid-19 membaik sehingga perekonomian Indonesia diharapkan lekas pulih. Ini akan mempengaruhi industri secara keseluruhan.
“Sudah terjadi pula konsolidasi antar perusahaan telekomunikasi. Kami berharap, tahun 2022, persaingan bisnis layanan telekomunikasi menjadi lebih sehat,” tutur Ririek.
Baca juga : Tantangan Semester Pertama Konsolidasi Indosat Ooredoo Hutchison