Indonesia sebagai produsen sejumlah komoditas global, seperti minyak sawit dan batubara, perlu terus mengembangkan bursanya agar bisa menjadi acuan harga di tingkat global.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah krisis global pada 2022, Indonesia mendapat ”durian runtuh” seiring meningkatnya harga komoditas yang diproduksi di Indonesia, seperti minyak sawit dan batubara. Namun, peluang itu bisa dimanfaatkan lebih optimal jika Indonesia berperan lebih pada penentuan harga acuan komoditas global. Oleh karena itu, bursa komoditas perlu ditumbuhkan di Indonesia.
Girta Yoga dari Riset dan Pengembangan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) dalam paparan Commodity Outlook Q4 2022 oleh ICDX secara daring, Selasa (25/10/2022), menyatakan, krisis global menciptakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada negara-negara berkembang. Tantangan itu mulai dari pandemi Covid-19, konflik Rusia-Ukraina, hingga perubahan iklim.
Dari situasi itu, yang paling terlihat ialah pelambatan kegiatan ekonomi, meningkatnya inflasi, kian cepatnya krisis pangan, dan kemiskinan yang memburuk. Namun, di sisi lain, sebagai salah satu negara penyumbang beberapa komoditas yang dibutuhkan dunia, Indonesia juga mendapat keuntungan dari catatan positif produk domestik bruto (PDB).
Kondisi itu, menurut Yoga, menjadi peluang, antara lain pada komoditas minyak sawit mentah (CPO). Kendati saat ini Indonesia produsen CPO terbesar di dunia, tetapi justru bursa Malaysia yang menjadi acuan harga CPO di tingkat global. Oleh karena itu, bursa komoditas CPO pun perlu ditumbuhkan. Saat ini baru harga timah Indonesia yang menjadi alternatif acuan global selain London Metal Exchanger.
Dengan potensi kekayaan alam berlimpah, harga komoditas Indonesia lainnya bisa menjadi referensi harga di tingkat global. ”Misalnya cokelat dan rumput laut. Namun, untuk menjadikan komoditas Indonesia sebagai referensi, butuh usaha keras, baik dari segi infrastruktur maupun kebijakan. Ini tantangan sekaligus peluang,” ujarnya.
Vice President of Research and Development ICDX Isa Djohari menuturkan, dengan adanya super siklus komoditas pascapandemi Covid-19, yang meningkatkan permintaan, Indonesia sebagai produsen komoditas diuntungkan. Karena itu, bursa komoditas perlu dioptimalkan serta terus ditumbuhkan.
”Fungsi bursa itu antara lain untuk lindung nilai serta meningkatkan daya saing. Tingginya harga komoditas akan baik bagi produsen. Namun, buat konsumen ketika bisa melindungi nilai, daya saing dapat terjaga. Namun, di sisi lain, namanya siklus, akan selau ada harga naik dan satu saat turun lagi,” kata Isa.
CPO, sebagai salah satu komoditas penghasil devisa terbesar di Indonesia, menjadi keunggulan yang bisa dimanfaatkan. ”Namun, (agar Indonesia menjadi referensi harga komoditas di dunia) harus didukung oleh pasar. Jadi, potensi-potensi yang ada ini perlu dikembangkan dengan pasar yang atraktif serta menghadirkan kompetisi yang baik,” lanjutnya.
Sejak 2013, kata Isa, ICDX sudah memperdagangkan timah murni batangan. Ia meyakini, jika komoditas-komoditas lain tata niaganya dikembangkan, akan ada perdagangn yang membentuk harga wajar dan kompetitif. Saat ini, Indonesia memiliki modal tersebut, tetapi perlu proses dalam mewujudkannya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko di sela-sela Indonesia Tin Conference 2022, pekan lalu, mengaku tergelitik untuk menjadikan Indonesia sebagai price reference CPO di dunia. Apalagi, porsi CPO produksi Indonesia sekitar 40 persen dalam memenuhi kebutuhan global. Sementara pada 2022, yang terjadi justru karut-marut minyak goreng di dalam negeri.
Pihaknya akan berbicara dulu dengan berbagai pihak antara lain Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai, Ditjen Pajak (Kementerian Keuangan). "Orang kan tidak akan mau masuk bursa kalau tak dikasih insentif. Nanti dilihat dulu dari sisi keuangan bagaimana. Bursa kan intinya transparan, jadi kebijakan-kebijakan lain bisa melihat dari situ. Target kami 1 tahun (untuk mewujudkan itu)," ujar Didid.
Peta jalan
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Westri Kekalih, saat dihubungi, Selasa, menuturkan, bukan tanpa alasan Malaysia, melalui Bursa Derivatif Malaysia, menjadi harga acuan CPO dunia. Pasalnya, sebelumnya, selama puluhan tahun, Malaysia merupakan produsen CPO terbesar di dunia.
Kini, dengan share Indonesia yang kian membesar, peluang pun terbuka. ”Ada kesempatan untuk menjadi penentu harga, tetapi membutuhkan proses sangat panjang. Harus jelas dulu peta jalannya seperti apa. Juga tata kelola, termasuk bagaimana hilirisasinya. Itu yang harus di-set up sesegera mungkin. Jika itu belum dilakukan, akan sulit bagi kita beralih dari price taker menjadi price setter,” katanya.
Salah satu tantangan adalah pasar CPO dan produk turunannya yang cenderung oligopoli. Artinya, ada saling ketergantungan antarprodusen. Misalnya, apa yang akan satu perusahaan lakukan mesti melihat apa yang akan dilakukan pesaingnya.