Realisasi Investasi Naik, Kualitas Perlu Jadi Perhatian
Selain kuantitas, pemerintah dinilai perlu memperhatikan kualitas investasi, yakni investasi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan menggerakkan perekonomian wilayah setempat.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Realisasi investasi pada triwulan III-2022 mencapai Rp 307,8 triliun atau naik 42,1 persen secara tahunan dan 1,9 persen secara triwulanan. Pemerataan investasi pun semakin berimbang antara daerah Jawa dan luar Jawa. Kendati demikian, selain kuantitas, pemerintah juga perlu memperhatikan kualitas investasi.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di Jakarta, Senin (24/10/2022) menyampaikan, pertumbuhan tersebut terjadi salah satunya karena peningkatan jumlah investasi dari penanaman modal asing (PMA). Pada periode Juli-September 2022, investasi dari PMA mencapai Rp 168,9 triliun atau tumbuh 63,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, klaim Bahlil, pertumbuhan tersebut merupakan tertinggi dalam sejarah.
Sepanjang triwulan III-2022, pemerataan investasi antara daerah Jawa dan luar Jawa juga semakin berimbang. Investasi di luar Jawa bahkan lebih dominan dengan Rp 166,3 triliun atau mencakup 54 persen dari total investasi. Sementara itu, investasi di Jawa mencapai Rp 141,5 triliun atau 46 persen dari total investasi.
"Biasanya, Jawa menyumbang 60 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sekarang, persentasenya di bawah 60. Ini terjadi karena penetrasi investasi di daerah luar Jawa. Kalau investasinya merata, pertumbuhan ekonominya juga merata," ujar Bahlil.
Investasi yang masuk pada triwulan III-2022 juga berimbang komposisinya antara sektor tersier (jasa/padat modal) dan sekunder (manufaktur/padat karya). Komposisi investasi berdasarkan sektor terdiri dari sektor primer (Rp 152,7 triliun), sekunder (Rp 365,2 triliun), dan tersier (Rp 374,5 triliun).
Dari sektor industri, realisasi investasi triwulan III-2022 didominasi oleh industri logam dasar, barang logam, bukan mesin, dan peralatannya (Rp 131,8 triliun), diikuti transportasi, gudang, dan telekomunikasi (Rp 97,6 triliun), pertambangan (Rp 96,5 triliun). Lalu, perumahan, kawasan industri, dan perkantoran (Rp 80,5 triliun), serta listrik, gas, dan air (Rp 68,6 triliun).
“Ini menunjukkan realisasi investasi tidak hanya didorong oleh sektor jasa, tetapi juga sektor yang telah melakukan hilirisasi. Industri logam yang menjadi nomor satu dan pertambangan yang berada di nomor tiga ini juga mengkonfirmasi bahwa kondisi sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk membangun hilirisasi dan industri,” ujar Bahlil.
Bahlil pun meyakini target investasi Rp 1.200 triliun dari Presiden Joko Widodo pada 2022 dapat tercapai. Optimisme itu muncul setelah melihat pertumbuhan investasi Indonesia di tengah situasi ekonomi global yang tidak pasti. Menurut dia, Indonesia masih akan menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya asalkan menjaga stabilitas negara.
“Insya Allah target investasi 2022 bisa kami capai. Caranya? Kami sudah punya data perusahaan-perusahaan yang sudah melakukan investasi 60-70 persen. Mereka harus kejar target akhir tahun,” ujar Bahlil.
Kualitas investasi
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance, Andry Satrio Nugroho, saat dihubungi secara terpisah menyatakan, pemerintah perlu memperhatikan kualitas investasi yang masuk. Investasi yang berkualitas adalah investasi yang memberi dampak pada masyarakat yang berada di daerah tempat investasi, baik dari sisi kesejahteraan maupun perekonomian.
Menurut Andry, pemerintah sering mengklaim keberhasilan melakukan pemerataan investasi antara Jawa dan luar Jawa, tetapi luput untuk memperhatikan dampak positif bagi masyarakat di daerah investasi. Sebab, kata Andry, penting untuk melihat apakah dengan kehadiran investasi telah meningkatkan juga kesejahteraan masyarakatnya, khususnya tingkat pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah sering mengklaim keberhasilan melakukan pemerataan investasi antara Jawa dan luar Jawa, tetapi luput untuk memperhatikan dampak positif bagi masyarakat di daerah investasi.
"Kita berharap investasi memberikan spill-over effect atau efek limpahan kepada wilayah bersangkutan. Apakah masyarakat di wilayah investasi 'kecipratan'? Apakah mereka terserap sebagai tenaga kerja ke dalam investasi yang ada di situ? Untuk investasi di luar Jawa, jangan-jangan tenaga kerjanya dari Jawa," kata Andry.
Dia mempertanyakan, misalnya, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, apakah angka penganggurannya menurun setelah kehadiran investasi atau justru angka penganggurannya tidak terpengaruh investasi. Kedua provinsi itu merupakan dua daerah dengan investasi PMA tertinggi sepanjang Januari-September 2022. Sulawesi Tengah mendapatkan investasi PMA 5,1 juta dollar AS, sedangkan Maluku Utara senilai 3,3 juta dollar AS.
Baik Sulawesi Tengah maupun Maluku Utara juga disebut Bahlil untuk menunjukkan bukti bahwa daerah luar Jawa dapat unggul dalam hal investasi. Bahkan, kata Bahlil, Maluku Utara mengalami pertumbuhan ekonomi hingga 27 persen sejak hadirnya investasi.
"Tidak terbantahkan bahwa investasi mempunyai peran penting dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Hal itu juga berpengaruh kepada tingkat kebahagiaan daerah. Terbukti Maluku Utara jadi daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi," kata Bahlil.
Akan tetapi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, capaian nilai investasi yang tinggi belum berdampak signifikan pada penurunan tingkat pengangguran di beberapa daerah. Sejumlah provinsi dengan realisasi investasi tertinggi masih mencatat tingkat pengangguran yang tinggi.
Jawa Barat, misalnya, mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) kedua tertinggi nasional pada Februari 2022, yaitu 8,35 persen. Padahal, provinsi tersebut memiliki nilai investasi tertinggi pada triwulan III-2022 dengan Rp 44,9 triliun. Adapun Maluku Utara menempati posisi kelima belas dalam TPT dengan 4,98 persen. "Kondisi tersebut kan memunculkan pertanyaan, sebetulnya investasi ini dinikmati siapa sih?" kata Andry.
Terkait hal itu, Andry mengatakan, fokus pemerintah seharusnya bukan soal kuantitas atau pemerataan Jawa-luar Jawa, tetapi soal bagaimana investasi mampu meningkatkan kesejahteraan dan menggerakkan perekonomian wilayah setempat dengan menyerap tenaga kerja, menyumbang pendapatan daerah, dan mentransfer pengetahuan serta teknologi kepada masyarakatnya.
Jaminan stabilitas
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, menilai, pertumbuhan investasi sudah sesuai dengan proyeksi pemulihan ekonomi pascapandemi. Bahkan, pengusaha melihat capaian tersebut sabagai suatu prestasi dari pemerintah lantaran mampu mempertahankan iklim investasi di tengah kondisi global yang tidak pasti.
Kadin berharap, pemerintah memberikan stabilitas dan kepastian iklim usaha, khususnya dalam hal pengendalian inflasi, nilai tukar, dan makro ekonomi dalam situasi ekonomi global saat ini. "Kalau faktor-faktor pengendalian stabilitas ekonomi makro ini tidak bisa dijamin atau dianggap tidak cukup memuaskan, investor akan selalu ragu atau terlalu khawatir untuk berinvestasi," kata Shinta.
Ini berarti perlu ada reformasi struktural lanjutan untuk membenahi regulasi yang tidak lagi relevan.
Selain itu, iklim usaha yang kondusif, bersaing, dan fasilitatif terhadap pertumbuhan usaha juga dibutuhkan oleh pengusaha. Ini berarti perlu ada reformasi struktural lanjutan untuk membenahi regulasi yang tidak lagi relevan.
Terakhir, dukungan terhadap penciptaan faktor produksi, termasuk dukungan penciptaan inovasi dan adaptasi usaha terhadap tuntutan usaha baru seperti peningkatan kepatuhan terhadap kebijakan sistem keberlanjutan. "Jangan sampai regulasi hanya menuntut peningkatan kepatuhan, tetapi pelaku usahanya tidak dibantu untuk beradaptasi sesuai dengan tuntutan peningkatan kepatuhan tersebut," ujarnya.