Realisasi belanja negara sampai September 2022 mencapai Rp 1.913,9 triliun atau terserap 61,6 persen dari target sebesar Rp 3.106,4 triliun. Peran APBN perlu lebih dimaksimalkan untuk meredam guncangan di saat krisis.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menjelang akhir tahun, realisasi belanja pemerintah masih belum ideal, terutama di sejumlah pos anggaran yang khusus dialokasikan untuk mengantisipasi tren inflasi dan menjaga daya beli. Peran instrumen fiskal sebagai peredam guncangan di kala krisis perlu lebih dioptimalkan lagi untuk melindungi warga dan menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi belanja negara sampai September 2022 mencapai Rp 1.913,9 triliun atau terserap 61,6 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar Rp 3.106,4 triliun.
Jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama sebelumnya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, realisasi itu terhitung paling rendah. Sebagai perbandingan, pada September 2020, di saat pandemi Covid-19, realisasi belanja pemerintah mencapai 67,2 persen dari target. Pada September 2018, sebelum pandemi, belanja negara mencapai 68,1 persen dari target.
Dalam konferensi pers APBN KiTa, Jumat (21/10/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah pada prinsipnya mengupayakan agar peran instrumen fiskal sebagai peredam guncangan (shock absorber) di kala krisis bisa dimaksimalkan.
Secara rinci, pengeluaran sampai 30 September 2022 terdiri dari belanja kementerian/lembaga (KL) senilai Rp 674,4 triliun atau terealisasi 71,3 persen dari target di APBN, belanja non-KL senilai Rp 686,8 triliun atau terserap 50,7 persen dari target, serta transfer ke daerah Rp 552,6 triliun atau terealisasi 68,7 persen dari target.
Menurut Sri Mulyani, peran APBN sebagai pelindung saat terjadi gejolak ekonomi terlihat dari belanja non-KL yang didominasi pembayaran subsidi dan kompensasi untuk listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Dari total anggaran kompensasi Rp 293,5 triliun pada tahun ini, per September 2022, realisasinya mencapai 51 persen.
“Ini dua komoditas yang saat ini mengalami kenaikan harga sangat tinggi, tapi kita coba tahan efek guncangannya itu dengan memberi bantalan lewat APBN,” katanya.
Jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama sebelumnya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, realisasi belanja pemerintah itu terhitung paling rendah.
Sri Mulyani juga mencontohkan realisasi belanja subsidi sebesar Rp 167,2 triliun atau mencapai 58 persen dari target. Anggaran itu dipakai untuk memberikan subsidi BBM, LPG 3 kilogram, listrik bersubsidi, pupuk bersubsidi, subsidi perumahan, serta penyaluran kredit usaha rakyat (KUR), yang volume penyalurannya lebih tinggi dari tahun lalu.
Belum cukup cepat
Meski demikian, Sri Mulyani membenarkan bahwa capaian belanja negara, baik di pusat maupun daerah, itu belum cukup cepat di tengah kondisi ekonomi yang semakin tidak pasti di ambang resesi global. Khususnya, untuk beberapa pos anggaran yang dikhususkan untuk mengatasi dampak gejolak ekonomi saat ini.
Misalnya, belanja wajib dalam rangka penanganan dampak inflasi yang diambil sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) pemerintah daerah, yang realisasinya baru 7,9 persen atau senilai Rp 277,6 miliar dari total Rp 3,5 triliun yang dianggarkan. Dana tersebut seharusnya dipakai untuk menjalankan program bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, subsidi sektor transportasi dan program perlindungan sosial lainnya.
Ada pula pos anggaran untuk ketahanan pangan yang baru terealisasi 40,7 persen dari target, di tengah ancaman krisis pangan semakin nyata. Sri berharap pada tiga bulan terakhir tahun ini, serapan belanja negara itu bisa lebih dipercepat untuk memberi fondasi yang kuat bagi masyarakat dalam memasuki imbas ancaman resesi global pada tahun 2023.
“Jadi, anggarannya sebenarnya ada, tapi penyalurannya harus lebih cepat, karena itu seharusnya bisa dipakai untuk membantu masyarakat yang saat ini merasa bebannya cukup berat akibat tekanan kenaikan harga,” kata Sri Mulyani.
Sebagai gambaran, akhir-akhir ini, terutama setelah kenaikan harga BBM, inflasi meningkat, belanja masyarakat sedikit lebih lesu, dan tabungan masyarakat mulai tergerus. Per September 2022, inflasi tahunan (year on year) mencapai 5,95 persen, naik dari bulan sebelumnya sebesar 4,69 persen.
Seiring dengan itu, Survei Konsumen oleh Bank Indonesia pada September 2022 menunjukkan, meski masih berada di level optimistis (di atas 100), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menurun ke 117,2 dari kondisi IKK Agustus 2022 yaitu 124,7.
Selaras, hasil riset Mandiri Institute tentang belanja masyarakat per 2 Oktober 2022 juga menunjukkan, indeks nilai dan frekuensi belanja masyarakat masing-masing sebesar 128,6 dan 158,6, menurun tipis dari kondisi pada 26 Agustus 2022, dengan indeks nilai dan frekuensi belanja masyarakat masing-masing berada di level 128,7 dan 158,7.
Anggarannya sebenarnya ada, tapi penyalurannya harus lebih cepat, karena itu seharusnya bisa dipakai untuk membantu masyarakat yang saat ini merasa bebannya cukup berat akibat tekanan kenaikan harga.
Survei Konsumen oleh BI juga menunjukkan, tabungan konsumen mulai tergerus. Proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) menurun dari 16,8 persen pada Agustus 2022 menjadi 15,8 persen pada September 2022 (Kompas, 15/10/2022).
Tidak optimal
Secara terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, belanja pemerintah yang cenderung berjalan lambat meski sudah menjelang akhir tahun telah menjadi praktik yang kerap terulang. Biasanya, realisasi belanja akan dikebut di tiga bulan terakhir atau pada triwulan IV tahun berjalan.
Eksekusi belanja pemerintah, khususnya di daerah, biasanya baru bisa dimulai pada akhir periode triwulan pertama (Maret) atau pada awal periode triwulan kedua (April) . "Penyebabnya sudah sering kita dengar, seperti lambatnya proses pengadaan untuk beberapa pos belanja pemerintah," kata Yusuf.
Belanja pemerintah yang tahun ini lebih lambat juga banyak disebabkan oleh faktor teknis perencanaan fokus anggaran yang berubah di pertengahan tahun akibat pandemi yang mulai reda dan ancaman krisis baru di depan mata.
Perubahan alokasi anggaran itu membutuhkan kejelasan dari sisi kesiapan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari level pemerintah pusat ke daerah yang kerap terlambat, khususnya untuk pos-pos transfer ke daerah.
Masalah lebih kompleks ketika melibatkan komponen belanja yang sifatnya baru, karena eksekusinya perlu koordinasi ulang antar-stakeholder dan pemerintah daerah memilih untuk lebih berhati-hati dalam merealisasikan pos belanja baru.