Daur Ulang Jadi Salah Satu Opsi Mengatasi Masalah Sampah Kartu Perdana Seluler
Sampah kartu perdana atau SIM card turut mencemari lingkungan. Operator telekomunikasi seluler mulai melakukan proses daur ulang untuk mengatasi masalah itu, selain terus menciptakan aneka promo isi ulang.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Hingga sekarang, jumlah produksi baru kartu perdana (subscriber identity module card/SIM card) di Indonesia diperkirakan rata-rata mencapai 200 juta unit per tahun. Sampah bekas pakainya ikut mencemari lingkungan. Operator telekomunikasi seluler mulai menaruh perhatian terhadap masalah itu dengan mencoba melakukan daur ulang.
Salah satu operator yang mendaur ulang kartu SIM adalah Telkomsel. Menurut Vice President Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Bramono, pihaknya telah bekerja sama dengan PlusTik, perusahaan rintisan yang fokus pada manajemen sampah. Sampah- sampah kartu SIM yang berupa cangkang dan kemasan plastik pembungkusnya dari gerai reseller dikumpulkan, lalu oleh PlusTik diolah bersama sampah plastik lain menjadi material membuat konblok, ecoplank, dan penyangga ponsel (smartphone holder).
Sejauh ini, Telkomsel bersama PlusTik telah menjalankannya di 3.000 gerai reseller produk telekomunikasi seluler di Bali. Lalu, menjalar ke 13.000 gerai reseller produk telekomunikasi seluler di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Gerai reseller dipilih karena 85 persen penjualan kartu SIM berasal dari sana.
Di Indonesia tercatat terdapat 330.000 gerai reseller produk telekomunikasi seluler yang tidak hanya menjual produk dari Telkomsel. Saki berharap, ke depan, Telkomsel bisa menyasar semua gerai reseller tersebut.
”Di dunia, jumlah sampah kartu SIM diperkirakan mencapai 30 juta ton lebih per tahun. Di Indonesia, semua operator telekomunikasi seluler masih tetap memproduksi rata-rata 200 juta kartu SIM per tahun karena memang pasar pengguna kartu perdana itu selalu ada. Selama ini, sampah kartu SIM, termasuk sampah cangkang kartu dan kemasan pembungkusnya, dibuang langsung oleh pengguna ataupun pemilik gerai reseller,” ujar Saki dalam konferensi pers program Telkomsel Jaga Bumi, Kamis (20/10/2022), di Badung, Bali.
CEO PlusTik Reza Hasfinanda menambahkan, setiap pekan tim penjualan biasanya mendatangi gerai reseller untuk mendistribusikan kartu perdana baru dan produk layanan telekomunikasi seluler lainnya. Dari sanalah, tim akan turut mengangkut sampah kartu SIM, lalu dikumpulkan ke kantor Telkomsel. Kemudian, PlusTik akan mengambil dan mengolahnya.
”Kami sejak awal berdiri fokus ke sampah plastik level dua atau sampah plastik yang kurang bernilai, seperti plastik bungkus mie instan, kresek, dan cangkang kartu SIM. Karena ukuran sampah kartu SIM kecil, maka kami campur dengan sampah plastik level dua lainnya jadi material produk baru. Salah satunya adalah smartphone holder yang kami serahkan kembali ke gerai reseller produk layanan telekomunikasi seluler,” kata Reza.
Sementara itu, menurut General Manager Consumer Sales Region Bali Nusra Telkomsel Nur Hidayat Dwi Santoso, Telkomsel telah berupaya untuk memperkecil ukuran cangkang kartu SIM dari sebesar kartu kredit atau debit. Lalu, perusahaan menyederhanakan layanan telekomunikasi seluler yang dulu terdiri dari beberapa merek menjadi hanya layanan prabayar dan pascabayar. Dua cara ini dianggap sudah mengurangi pemakaian plastik untuk produksi cangkang kartu SIM beserta kemasan pembungkusnya.
Strategi berikutnya adalah menawarkan promo isi ulang pulsa yang menarik sehingga bisa mengurangi kebiasaan sejumlah konsumen yang senang beli-pakai-buang kartu SIM. Dari sisi pemerintah, Kementerian Komunikasi dan Informatika ikut mendukung melalui kebijakan wajib registrasi nomor prabayar layanan telekomunikasi seluler dengan verifikasi data tunggal kependudukan. Kebijakan ini disertai pembatasan jumlah nomor per operator telekomunikasi seluler yang boleh dimiliki oleh warga.
“Sebelum ada dua cara itu, pendapatan kami dari hasil penjualan kartu SIM menyumbang di atas 10 persen terhadap total pendapatan. Kini, pendapatan dari penjualan kartu SIM sudah berkurang sampai di bawah 10 persen. Meski demikian, masih ada warga yang memang lebih suka selalu beli kartu SIM baru,” ujar Santoso.
Salah satu gerai reseller kartu SIM dan gawai di Denpasar, Nuasa Cell, termasuk dalam daftar 3.000 gerai yang mengikuti program daur ulang sampah kartu SIM. Bunga, pemilik Nuasa Cell, menceritakan sudah dua bulan program berjalan. Bunga cukup meminta siapapun pembeli kartu SIM untuk tidak membawa pulang cangkang kartu dan kemasan pembungkus, tetapi menaruhnya ke dalam kotak yang sudah disediakan. Menurutnya, pembeli berlatar belakang wisatawan asing lebih antusias.
“Rata-rata menyambut baik karena program itu dianggap bagian memelihara bumi. Setiap hari, kami bisa menjual 100-200 unit kartu SIM dan turis asing menjadi pembeli dominan. Sebelum ada program ini, pembeli bawa pulang cangkang kartu beserta kemasan pembungkusnya usai kami bantu registrasi nomor layanan telekomunikasi seluler dan mungkin bisa dibuang begitu saja,” kata Bunga.
Perhatian global
Menanggapi fenomena itu, Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ni Nyoman Santi, mengatakan, pemerintah mendorong keras agar perusahaan-perusahaan ikut menjaga kelestarian lingkungan. Salah satunya melalui cara memperpanjang usia pakai suatu material/barang jadi dan pada akhirnya menjadi ekonomi sirkular.
“Satu unit kartu SIM bekas pakai dan dibuang begitu saja membutuhkan waktu 80 tahun untuk terurai. Kami berharap, pelaku industri yang sedang mengembangkan inovasi teknologi harus memperhatikan kelestarian lingkungan,” ujar dia.
Santi menambahkan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Dalam peraturan ini, perusahaan harus mengurangi dan mengelola sampah plastik. Pemerintah daerah berperan penting ikut mendorong serta memantau. Pemerintah Provinsi Bali termasuk salah satu pemerintah daerah yang sudah mewajibkan pembatasan penggunaan plastik.
Techwire Asia melalui artikel Globe Debuts First Ever Eco-SIM in Asia, 25 Januari 2022, menuliskan, pendapatan pasar kartu SIM global diperkirakan mencapai 4.428 juta dolar AS pada tahun 2025. Pada tahun ini saja diperkirakan 4,5 miliar kartu SIM akan diproduksi di seluruh dunia untuk memenuhi permintaan konektivitas telekomunikasi yang terus meningkat. Beratnya mewakili sekitar 20.000 ton plastik dan jenis polymer lainnya.
Di tingkat global, sejumlah operator telekomunikasi seluler sudah lebih dulu menerapkan mekanisme daur ulang sampah, memangkas porsi pemakaian plastik saat produksi kartu SIM, dan mengadopsi e-SIM. Sebagai contoh, operator telekomunikasi seluler asal Filiphina Globe Telecom (Globe) telah memperkenalkan eco-SIM untuk kartu SIM pascabayar. Eco-SIM berarti kartu SIM yang terbuat sepenuhnya dari bahan daur ulang, termasuk limbah polistiren dari lemari es.
Vodafone juga sudah mengadopsi eco-SIM yang seluruhnya terbuat dari plastik daur ulang. Vodafone mengklaim cara ini jauh lebih ramah lingkungan daripada kartu SIM biasa saat dibuang. Vodafone telah meluncurkan eco-SIM secara global, dimulai dari Mesir, Turki, Afrika Selatan, dan pasar Eropa. Selain itu, Vodafone telah mengganti ukuran kartu SIM yang semula seukuran kartu kredit menjadi setengahnya untuk memangkas 50 persen penggunaan plastik.