Kajian Hilirisasi Timah Mesti Matang, Produk Mesti Terserap Pasar
Rencana pemerintah menyetop ekspor timah guna mengembangkan industri di hilir perlu kajian komprehensif. Harapannya, tak hanya mengolahnya jadi produk bernilai tambah, tetapi bisa menjualnya ke pasar.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mengkaji beberapa hal terkait rencana pelarangan ekspor timah untuk mendukung hilirisasi. Kajian itu termasuk kesiapan industri yang akan menyerapnya. Harapannya, tak hanya mengolahnya menjadi produk bernilai tambah, tetapi sekaligus bisa menjualnya ke pasar. Tata kelola timah juga tengah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin, mengatakan, kajian dan pendataan mengenai industri yang bisa menyerap produk hilir timah dimatangkan. Pasalnya, ada sejumlah produk turunan timah yang industrinya belum ada di dalam negeri.
”Jangan sampai bisa buat (produk), tetapi tak bisa jual. Sebab, beberapa industri hilir, seperti otomotif, sudah memiliki jaringan rantai pasok sendiri. Juga, misalkan kita buat timah solder di sini, apakah bisa diserap pasar internasional? Ini perlu sama-sama diurai,” kata Ridwan dalam Indonesia Tin Conference 2022 yang digelar Bursa Komoditi & Derivatif Indonesia (ICDX) di Jakarta, Rabu (19/10/2022).
Belakangan, pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo serta sejumlah menteri, menyampaikan rencana melarang ekspor timah demi menggali nilai tambah komoditas tersebut. Langkah itu pernah dilakukan pada nikel. Pasalnya, selama ini penyerapan timah untuk kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 5 persen dari produksi nasional.
Menurut Ridwan, pihaknya tengah menyiapkan data dan laporan terkait kondisi timah saat ini. Pihaknya juga tengah mengkaji waktu yang diperlukan untuk membangun pabrik, berapa besar investasinya, dan siapa calon investornya. Dalam proses itu, pihaknya juga mengundang para ahli pembangunan pabrik dan organisasi profesi.
Kendati ada sejumlah tantangan, hilirisasi memang diperlukan. ”Jika dikatakan ingot (timah murni batangan) sudah cukup hilir, dalam catatan saya, smelter PT Timah itu dibangun 1971, artinya 50 tahun lalu. Maka, pantas-pantas saja jika pimpinan mempertanyakan, ’Masak 50 tahun gitu-gitu terus?’ Perlu ada langkah maju,” kata Ridwan.
Ridwan mengimbau kepada para pelaku usaha/industri pertimahan untuk mendiskusikan pelarangan ekspor timah serta hilirisasi timah secara konstruktif positif. Pemerintah pun siap menerima masukan. Di samping itu, pelaku usaha diminta menyiapkan diri berkonsorsium untuk membangun industri lebih hilir serta melakukan penetrasi pasar.
Soal kepastian waktu pelarangan ekspor timah, Ridwan tak bisa memastikan karena sepenuhnya menjadi kewenangan pimpinan (menteri/presiden). Namun, ia meminta pelaku usaha tidak kaget kapan pun kebijakan itu diterapkan. Jika ditanya tenggat untuk menyiapkan diri, ia berharap semua pihak menjawab dengan yakin (waktu yang dibutuhkan) berdasarkan data yang disusun bersama.
Pemerintah juga telah menugaskan BPKP untuk mengaudit tata kelola timah. Hal itu diputuskan dalam rapat para menteri pada Agustus 2022. Tujuan audit adalah untuk mengetahui persis bahwa pasir timah yang diambil itu dari lokasi yang diizinkan dalam izin usaha pertambangan (IUP).
”Kemudian, smelter dipastikan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Kami tak ingin ada informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan, seperti tudingan satu perusahaan yang menjual lebih banyak dari RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya)-nya. Tanggung jawab publik kami perkuat. Audit ini kami perkirakan 2-3 bulan untuk pengumpulan data awal saja,” katanya.
Juru Bicara BPKP Eri Satriana membenarkan bahwa BPKP tengah mengaudit tata kelola timah. ”Progresnya masih dalam tahap pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan audit. Pada prinsipnya para auditor yang ditugaskan sedang bekerja. Bila telah selesai, hasilnya akan diserahkan kepada pihak yang meminta audit tersebut, ujarnya.
Adapun bursa timah selama ini telah berjalan. Bursa timah ICDX memperdagangkan hasil kegiatan pengolahan dan pemurnian biji timah oleh smelter dengan kadar paling rendah 99,9 persen.
Direktur ICDX Nursalam menuturkan, Indonesia adalah negara pengekspor timah terbesar di dunia dengan kontribusi mencapai 32,39 persen dari total ekspor di tingkat global. Apabila tahun 2014 hanya ada 14 negara tujuan ekspor timah Indonesia, saat ini sudah ada 26 negara tujuan. Artinya, sudah lebih banyak pembeli untuk datang langsung ke ICDX dibadingkan sebelumnya.
Adapun ICDX menjadi bursa komoditas timah murni batangan sejak 2013. ”Sejak ditransaksikan dari Agustus 2013 hingga September 2022, total royalti atas DHE (devisa hasil ekspor) mencapai lebih dari Rp 4,5 triliun,” kata Nursalam.
Apabila tahun 2014 hanya ada 14 negara tujuan ekspor timah Indonesia, saat ini sudah ada 26 negara tujuan.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko mengatakan, kinerja volume transaksi timah melalui bursa berjangka di Indonesia pada 2022 (hingga Agustus) tercatat 51.190 ton atau meningkat 10,1 persen secara tahunan. Sementara nilai transaksinya 1,8 miliar dollar AS atau meningkat 30,5 persen secara tahunan.
”Saat ini, Indonesia telah melakukan pengaturan terkait ekspor timah murni batangan lewat bursa berjangka. Langkah strategis ekspor timah murni batangan komoditas berjangka diharapkan bisa mengamankan dan memanfaatkan hasil tambang yang terbatas yang mendukung pelestarian lingkungan. Tujuan akhirnya ialah transparansi demi mewujudkan kemandirian dalam menentukan harga acuan,” tuturnya.
Beda dengan nikel
Indra Tukimin, Managing Director TF Exchange PTE Ltd, perusahaan pembeli (buyer) timah pada ICDX, menuturkan, pihaknya mendukung hilirisasi timah yang dicanangkan Pemerintah Indonesia. Namun, melihat peta produksi timah di dunia, negara-negara tujuan ekspor tidak akan kesulitan mencari negara pengganti jika Indonesia memberlakukan larangan ekspor. Sebab, kualitas timah di mana pun umumnya sama.
”Ini berbeda dengan nikel Indonesia yang unik. Oleh karena itu, penyiapan hilirisasi timah ini harus komprehensif. Tidak bisa asal melarang ekspor. Jika hendak produksi masif timah solder, dua tahun lagi bisa jadi (teknologinya) sudah berkembang. Siapa yang mau beli? Jadi, harus benar-benar disiapkan lebih dulu, industri penyerapnya serta pasarnya,” kata Indra.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia Jabin Sufianto mengatakan, sebelum melarang ekspor timah mentah dan melakukan hilirisasi, bursa timah perlu dioptimalkan terlebih dahulu. Terlebih mengingat volume ingot mentah di Indonesia yang besar dan berdaya saing di dunia (Kompas, 26/9/2022).
”Volume ingot yang besar ini dapat menjadi bargaining power untuk Indonesia. Oleh karena itu, dalam mengolah timah, jangan semua diurai ke bawah menjadi produk retail, pasarnya sedikit,” kata Jabin.