Perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5 persen di tengah ancaman resesi global tahun 2023. Sinergi kebijakan fiskal dan moneter dinilai menjadi kuncinya.
Oleh
MUHAMMAD FAJAR MARTA
·3 menit baca
WASHINGTON DC, KOMPAS — Di tengah ancaman resesi global tahun depan, Indonesia malah diproyeksikan bakal menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen. Sinergi kebijakan fiskal-moneter menjadi kunci yang membentengi ekonomi Indonesia dari rambatan risiko ekonomi global.
”Kita bersyukur begitu kuatnya koordinasi antara kebijakan fiskal pemerintah dan moneter Bank Indonesia dengan tetap menghormati independensi masing-masing. Inilah yang menjadi salah satu pembeda dengan negara lain dan kunci ketahanan ekonomi Indonesia dari risiko ekonomi global,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (12/10/2022) malam waktu AS atau Kamis (13/10/2022) WIB.
Perry berada di AS untuk bersama-sama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memimpin Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 yang keempat presidensi Indonesia pada Kamis sore waktu AS.
Perry mengatakan, sinergi fiskal-moneter salah satunya diimplementasikan saat Indonesia mencoba menahan rambatan inflasi akibat lonjakan harga minyak global. Pemerintah menahan kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri dengan memberikan subsidi.
Langkah ini membuat inflasi tetap terkendali dan tidak melonjak tinggi seperti terjadi di banyak negara. Karena inflasi terkendali, BI selaku otoritas moneter tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan seperti negara-negara lainnya. Suku bunga yang tidak naik akhirnya memberi kesempatan pemulihan ekonomi di dalam negeri terus berlanjut.
Ini berarti, sebelum menaikkan harga BBM pada awal September 2022, pemerintah dan BI terlebih dahulu mengoptimalkan langkah-langkah lain untuk membuat inflasi tetap terkendali dan momentum pemulihan ekonomi terjaga.
”Langkah otoritas memberikan subsidi BBM merupakan dukungan kepada otoritas moneter dalam pengendalian inflasi. Namun, otoritas moneter juga memberikan dukungan dengan menyerap surat utang negara sehingga pemerintah memiliki dana untuk memberikan subsidi BBM. Itulah bentuk sinergi dan berbagi beban antara fiskal dan moneter,” ujar Perry.
Tidak bersinergi
Menurut Perry, banyak negara tidak bersinergi fiskal-moneter seperti Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global. Akibatnya, ketika harga minyak mentah dunia melambung tinggi, lonjakan inflasi langsung menjalar ke banyak negara.
Untuk meredam inflasi tersebut, bank-bank sentral di banyak negara langsung menaikkan suku bunga acuan yang akhirnya menahan perekonomian negara bersangkutan. Ini membuat perlambatan ekonomi di banyak negara datang lebih cepat dari yang seharusnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selain sinergi fiskal-moneter yang erat, pemerintah juga melakukan reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, antara lain, hilirisasi dan perbaikan iklim investasi agar investasi asing langsung semakin banyak yang masuk ke Indonesia.
Berkat sinergi dan reformasi struktural, Indonesia diproyeksikan tetap tumbuh tinggi di tengah ancaman resesi global. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 sebesar 5 persen.
Padahal, perekonomian global terus melambat. Bahkan, sepertiga ekonomi dunia akan mengalami pertumbuhan negatif dan resesi pada tahun ini dan tahun depan.
Kepala Ekonom Departemen Penelitian IMF Pierre-Olivier Gourinchas juga mengingatkan, pengetatan moneter perlu dilakukan dengan perencanaan dan koordinasi yang baik. Tanpa itu, pengetatan moneter bisa berlebihan sehingga justru mendorong ke arah resesi yang tidak perlu.
Ini juga akan merugikan negara lain karena akan memicu pelarian modal.