Harga Acuan Belum Berdampak, Pengaturan Suplai Dinilai Mendesak
Hari ayam dan telur nasional semestinya jadi momentum memperkuat pengaturan suplai di hulu sekaligus mendongkrak permintaan di tingkat konsumen. Aturan soal harga acuan belum efektif mendongkrak harga di peternak.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga acuan pembelian dinilai belum cukup untuk menstabilkan harga jual ayam pedaging di tingkat peternak. Tak hanya harga jual yang rendah, peternak juga sedang tertekan oleh peningkatan harga bahan bakar minyak atau BBM.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko berpendapat, tekanan harga jual rendah dan modal tinggi menyelimuti Hari Ayam dan Telur Nasional yang diperingati setiap tanggal 15 Oktober. ”Kenaikan harga BBM membuat ongkos angkut pakan peternak naik 30 persen. Di sisi lain, harga jual peternak berkisar Rp 12.000–Rp 15.000 per kilogram,” katanya saat dihubungi pada Jumat (14/10/2022).
Padahal, pemerintah telah menaikkan harga acuan melalui Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Jagung, Telur Ayam Ras, dan Daging Ayam Ras. Aturan itu ditetapkan pada 5 Oktober 2022.
Dalam aturan baru tersebut, harga acuan pembelian ayam pedaging di tingkat produsen ditetapkan Rp 21.000–Rp 23.000 per kg, sedangkan acuan penjualan di tingkat konsumen Rp 36.750 per kg. Pada regulasi sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, harga acuan pembelian ayam pedaging di tingkat peternak Rp 19.000–Rp 21.000 per kg dan penjualan di konsumen Rp 35.000 per kg.
Meski demikian, kata Singgih, regulasi itu belum mampu mengerek harga. Rendahnya harga jual di tingkat peternak disebabkan oleh suplai berlebih. Dia memperkirakan kelebihan suplai yang terjadi berkisar 20 persen dari kebutuhan masyrakat tiap minggu. Upaya menyerap dan menyimpan oleh perusahaan-perusahaan yang telah ditunjuk Badan Pangan Nasional masih terbatas. ”Penyalurannya pun belum optimal. Hal ini mesti disokong program pemerintah yang dorong konsumsi,” ujarnya.
Dia berharap ada pengaturan suplai telur siap tetas yang menjadi ayam siap potong (final stock/FS), terutama di tingkat perusahaan. Telur siap tetas FS sebaiknya berada di rentang 60–64 juta butir per minggu.
Dia berharap ada pengaturan suplai telur siap tetas yang menjadi ayam siap potong ( final stock/FS), terutama di tingkat perusahaan.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) Alvino Antonio mengatakan, saat ini peternak tengah memangkas suplai secara mandiri. Pemangkasan itu berdasarkan surat edaran Kementerian Pertanian karena suplai ayam pedaging berlebih.
Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 07009/PK.230/F/10/2022 menyebutkan, surplus bibit ayam hidup (day-old chicken) FS pada Oktober dan November 2022 mencapai 106,37 juta ekor. Surplus daging ayam pada November dan Desember 2022 diperkirakan masing-masing sebanyak 36.912 ton dan 84.760 ton.
Dari sisi konsumsi, Alvino berharap ada promosi makan daging dan telur ayam sehingga konsumsi masyarakat meningkat minimal dua kali lipat.
Dalam rangka menstabilkan harga di tingkat peternak agar sesuai acuan, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, pemerintah tengah bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta, salah satunya melalui penyerapan ayam hidup dan penyimpanan dalam bentuk karkas beku. Per 12 Oktober 2022, BUMN di bidang pangan dan perusahaan integrator telah menyerap ayam hidup 157.868 ekor atau sekitar 261.222 kg.
Salah satu BUMN pangan yang mendapatkan penugasan ialah PT BGR Logistik Indonesia. Direktur Utama PT BGR Logistik Indonesia Budi Susanto mengatakan, kapasitas penyimpanan dingin yang dikelola perusahaan mencapai 430 ton. Perusahaan berencana menambah kapasitas tersebut.