Hilirisasi tambang meningkatkan daya saing dan kinerja ekspor, tetapi belum maksimal menyerap tenaga kerja. Karena itu, hilirisasi di luar sektor tambang yang lebih padat karya juga perlu menjadi perhatian.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi menjadi strategi andalan pemerintah untuk menggenjot kinerja investasi di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Meski terbukti bisa meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekonomi, investasi yang masuk umumnya bersifat padat modal dan teknologi sehingga belum maksimal menciptakan lapangan kerja yang banyak dan layak.
Dari segi kinerja ekspor, dampak kebijakan hilirisasi tidak diragukan. Nilai ekspor komoditas nikel melonjak dari 3,3 miliar dollar AS tahun 2017 menjadi 20,9 miliar dollar AS pada 2021 setelah dilarangnya ekspor nikel mentah dan didorongnya ekspor hasil olahan nikel.
Meski demikian, dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja belum maksimal. Serapan tenaga kerja terus merosot, tidak sejalan dengan nilai investasi yang masuk dari hilirisasi. Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap 4.954 tenaga kerja. Kini, Rp 1 triliun investasi hanya bisa menyerap 1.340 tenaga kerja.
Kementerian Investasi mencatat, pada triwulan II tahun 2022, investasi menyerap tenaga kerja sebanyak 320.534 orang, naik 2,76 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang 311.922 orang. Kenaikan itu tidak sebanding dengan realisasi investasi pada triwulan II-2022 yang meningkat hingga 35,5 persen dari tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal, Kamis (13/10/2022), mengatakan, karakteristik dari hilirisasi industri tambang minerba umumnya bersifat padat modal dan teknologi. Untuk menjaga prospek penciptaan lapangan kerja, pemerintah harus menyeimbangkan strategi hilirisasi tambang dengan investasi lainnya yang bersifat padat karya.
Menurut dia, hilirisasi di luar sektor tambang perlu lebih diperhatikan, seperti komoditas turunan perkebunan, yang karakteristiknya lebih bersifat padat karya. Sejauh ini, ada kecenderungan pemerintah lebih fokus pada hilirisasi tambang mineral dan batubara.
Setelah resmi melarang ekspor ore nikel pada tahun 2020, pemerintah juga berencana melarang ekspor bijih timah, bauksit, dan tembaga serta mendorong hilirisasi di sektor-sektor tersebut mulai tahun 2023. ”Hilirisasi itu luas. Bukan tidak mungkin hilirisasi ini bisa dibuat lebih padat karya, tergantung sektor dan komoditasnya,” kata Faisal.
Tidak hanya fokus pada hilirisasi, pemerintah juga perlu memperhatikan investasi di hulu yang masih terbatas di beberapa sektor. Ia mencontohkan, industri pengolahan cokelat yang berkembang pesat di hilir, tetapi lemah di industri hulu kakao. Ketimpangan struktur industri itu membuat industri di hilir lebih banyak mengimpor bahan baku cokelat dari negara lain.
Serapan tenaga kerja terus merosot, tidak sejalan dengan nilai investasi yang masuk dari hilirisasi.
”Mendorong investasi di hulu juga tidak kalah penting sebagai strategi. Pada dasarnya, hilirisasi itu lebih padat teknologi dan modal. Namun, investasi di hulu itu lebih padat karya dan memerlukan kapasitas skill yang membumi untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja,” kata Faisal.
Strategi lain yang bisa ditempuh pemerintah adalah bernegosiasi dengan investor untuk menggantikan tenaga kerja asing menjadi tenaga kerja lokal setelah batas waktu tertentu. ”Biasanya, di awal proyek, investor akan meminta kelonggaran untuk membawa tenaga kerja asing (TKA) dari negara asalnya. Pemerintah bisa bargain di sini agar setelah beberapa tahun usai proyek berjalan, porsi TKA-nya dikurangi dan diganti dengan tenaga lokal,” ujarnya.
Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Tony Wenas, merekrut tenaga kerja lokal bukan perkara mudah, tetapi memungkinkan. ”Ini memang pekerjaan rumah kita. Tidak mudah, tetapi bisa. Sekarang yang memimpin tambang emas bawah tanah terbesar di dunia itu anak Papua,” kata Tony, yang juga Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.
Hal itu bisa dilakukan dengan mendorong alih teknologi dari TKA ke tenaga kerja lokal. Di fase awal investasi, ketika belum ada tenaga ahli di dalam negeri, pekerja bisa didatangkan dari luar. ”Ibaratnya, kalau harus belajar dulu dari planet lain pun kita rela. Yang penting kita tidak bergantung kepada mereka. Kasih batas waktu, 1-2 tahun kita diajari, setelah itu kita laksanakan sendiri,” ujarnya.
Di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti, Faisal menegaskan, penciptaan lapangan kerja yang banyak dan layak semakin penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Resiliensi Indonesia terletak pada roda perekonomian domestiknya, yang akan bergerak lancar selama masyarakat tidak menganggur dan memiliki pekerjaan dengan pemasukan (income) yang layak.
Di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti, penciptaan lapangan kerja yang banyak dan layak semakin penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
”Menggerakkan lagi investasi padat karya menjadi semakin penting. Sebelum ancaman pandemi dan resesi saja, tingkat pengangguran kita sudah termasuk yang tertinggi di kawasan. Ditambah sekarang pandemi dan potensi resesi,” kata Faisal.
Kementerian Investasi mengestimasi, diperlukan 15 juta-16 juta lapangan kerja baru untuk menampung masyarakat yang menganggur sebelum pandemi, angkatan kerja baru yang bertumbuh setiap tahunnya, serta korban pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi yang sampai sekarang belum kembali mendapat pekerjaan.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyadari belum maksimalnya potensi penyerapan tenaga kerja lewat strategi investasi hilirisasi sejauh ini. Karena itu, ujarnya, hilirisasi ke depan tidak hanya akan mengandalkan investasi yang berbasis teknologi untuk menciptakan nilai tambah, tetapi juga hilirisasi yang bersifat padat karya.
”Salah satu tujuan utama investasi adalah untuk menciptakan lapangan kerja. Pemerintah lewat rekrutmen TNI, Polri, BUMN, dan ASN hanya bisa menyerap tidak lebih dari 1 juta pekerja. Yang bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak adalah dunia usaha,” katanya.
Bahlil mengatakan, ”anomali” penciptaan lapangan kerja yang minim di tengah realisasi investasi yang pesat itu menjadi pekerjaan rumah yang harus disiasati oleh pemerintah. ”Ini memang anomali. Investasi yang besar-besar itu sifatnya padat modal. Kami sedang coba siasati bagaimana agar bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak,” ujarnya.