Kendati Tarif Naik, Pengojek Keluhkan Pendapatan Turun
Kenaikan tarif ojek daring dinilai tidak berpengaruh positif terhadap pendapatan pengemudinya. Selain biaya operasional yang semakin tinggi, pengemudi menghadapi problem penurunan jumlah penumpang.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengemudi ojek daring merasa penghasilannya justru makin tertekan sejak tarif layanan telah dinaikkan mulai Sabtu (10/9/2022). Pendapatan turun seiring penurunan jumlah penumpang, sementara biaya operasional naik sejalan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak. Terkait hal itu, aplikator didesak membatasi jumlah pengemudi untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran.
Kenaikan tarif ojek daring telah ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Kebijakan itu ditempuh guna menyesuaikan dengan sejumlah komponen biaya jasa, seperti bahan bakar minyak (BBM), upah minimum regional, dan komponen perhitungan jasa lain.
Berdasarkan aturan tersebut, biaya jasa yang terdiri dari biaya batas bawah, batas atas, dan jasa minimal dinaikkan dan diatur sesuai zonasi wilayah. Di zona II yang meliputi Jabodetabek, misalnya, biaya jasa minimal dinaikkan menjadi Rp 10.200-Rp 11.200. Tarif ini merupakan biaya jasa minimal yang harus dibayarkan penumpang untuk jarak tempuh paling jauh 4 kilometer (km).
Adapun batas bawah biaya jasa di zona II dinaikkan dari Rp 2.000 per km (Keputusan Menteri Perhubungan No KP 348/2019) menjadi Rp 2.550 per km, sementara batas atas dinaikkan dari Rp 2.500 per km menjadi Rp 2.800 per km.
Pengemudi ojek daring di Jakarta, Syahrudin (35), merasakan penurunan jumlah penumpang. Menurut dia, kenaikan tarif membuat sebagian pengguna beralih ke angkutan umum atau kendaraan pribadi. Akibatnya, pendapatannya menurun.
”Biasanya saya mengantar 20 sampai 25 orang. Sekarang, paling banyak 15 penumpang. Pendapatan bersih sebesar Rp 60.000 sampai Rp 80.000 selama sekitar 12 jam bekerja. Jumlah itu nyaris sama dengan pengeluaran untuk bensin, makan, dan pulsa,” kata Syahrudin di Jakarta, Senin (10/10/2022).
Pengalaman serupa dirasakan Fadel Balher (43), pengemudi ojek daring di Samarinda, Kalimantan Timur. Pengeluaran Fadel bisa mencapai Rp 80.000 per hari dengan Rp 60.000 di antaranya digunakan untuk membeli BBM. Sementara itu, pendapatan bersihnya per hari sebesar Rp 80.000. Padahal, sebelum kenaikan harga BBM dan tarif ojek daring, Fadel biasa mengantongi pendapatan bersih Rp 150.000 per hari.
Apa yang dialami Syahrudin dan Fadel sejalan dengan hasil survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan tentang persepsi pengguna dan pengemudi ojek daring terhadap penyesuaian biaya jasa (tarif) ojek daring. Dalam survei yang dilakukan secara daring pada 13-20 September 2022, pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya.
Sebanyak 50,1 persen dari 2.016 responden mitra ojek daring di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi memiliki pendapatan rata-rata terbanyak berkisar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per hari.
”Adapun sebanyak 44,1 persen responden, biaya operasionalnya per hari terbanyak juga berada pada rentang yang sama, yakni Rp 50.000 hingga Rp 100.000,” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno soal hasil survei tersebut saat dihubungi via telepon.
Berdasarkan survei tersebut, jumlah pemesanan ojek daring pun mengalami penurunan setelah pemberlakuan tarif baru. Sebagian besar responden (46,88 persen) mendapatkan pesanan sebanyak 5-10 kali sebelum pemberlakuan tarif baru. Sesudah kenaikan tarif, 55,65 responden menyatakan hanya mendapatkan pesanan kurang dari lima kali.
Menurut Djoko, penurunan pendapatan juga dipengaruhi oleh ketiadaan pembatasan jumlah pengemudi ojek daring. Akibatnya, jumlah pengemudi bertambah, sementara jumlah penumpang stagnan dan cenderung berkurang.
”Tanpa pembatasan, permintaan dan penawaran menjadi tidak seimbang. Saat ini, penawaran lebih banyak ketimbang permintaan. Untuk itu, penting bagi aplikator untuk mengatur jumlah pengemudi agar setiap pengemudi bisa meningkat penumpangnya,” ujar Djoko.
Biaya aplikasi tinggi
Isu lain yang menjadi sorotan pengemudi ojek daring pasca-kenaikan tarif adalah tingginya biaya sewa aplikasi. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 menetapkan, biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15 persen atau turun dari sebelumnya 20 persen. Namun, pengemudi kerap dibebani biaya sewa aplikasi yang melebihi ketentuan.
Pada Selasa (11/10/2022), Fadel dibebani biaya sewa aplikasi sebesar 20 persen atau Rp 2.400 untuk transaksi layanan mengantar penumpang dengan tarif Rp 12.000. Sebelumnya, pada Sabtu (17/9/2022) atau sepekan setelah kenaikan tarif, Fadel dibebani biaya sewa aplikasi sebesar 31,03 persen atau Rp 4.500 untuk transaksi senilai Rp 14.500.
Sementara itu, Syahrudin dibebani biaya sewa aplikasi sebesar 30,67 persen untuk jasa layanan mengantar penumpang pada Senin (10/10/2022). Biaya yang dibayarkan penumpang sebesar Rp 15.000, tetapi Syahrudin hanya mendapatkan Rp 10.400.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono mengatakan, pengemudi tidak memiliki pendapatan yang layak pasca-kenaikan tarif. Selain kenaikan harga BBM, pengemudi daring terbebani oleh biaya potongan aplikasi yang tidak sesuai ketentuan.
Menurut Igun, penetapan biaya sewa aplikasi dilakukan secara semena-mana karena tidak sesuai aturan. Setiap pengemudi juga dibebani biaya berbeda.
”Alhasil, kenaikan tarif tidak berpengaruh positif pada pendapatan pengemudi selagi biaya aplikasi melebihi 10 persen. Kami sudah mendesak Kementerian Perhubungan untuk menetapkan potongan aplikasi ini maksimal hanya 10 persen. Apabila dibuat lebih dari 10 persen, pendapatan sama atau bahkan lebih kecil dari biaya operasional,” kata Igun.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Hendro Sugiatno menuturkan, pihaknya berpatokan pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022. Jika aplikator tidak menetapkan biaya sesuai ketentuan, maka Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat akan membantu mengomunikasikannya.
”Kami mendengar keluhan-keluhan soal ketidaksesuaian di lapangan dengan keputusan menteri. Saya hanya memberikan informasi kepada aplikator untuk menaati. Beberapa hari ke depan, kami juga akan kembali berbicara dengan aplikator soal ini,” kata Hendro saat dihubungi via telpon.