Gojek dan Grab Sesuaikan Tarif Ojek Daring
Tarif baru siap dilaksanakan. Namun, biaya aplikasi sebagaimana juga diatur oleh Kementerian Perhubungan masih enggan diterapkan oleh aplikator.
JAKARTA, KOMPAS — Dua penyedia aplikasi layanan ojek daring, yakni Gojek dan Grab, menyatakan komitmen mereka menerapkan tarif baru mulai Minggu (11/9/2022). Tarif baru dikenakan kepada konsumen, baik untuk pengantaran penumpang maupun barang, termasuk penyesuaian tarif taksi daring.
Sesuai keputusan Kementerian Perhubungan per 7 September 2022, perusahaan penyedia aplikasi (aplikator) diminta untuk menyesuaikan tarif baru. Selain ketentuan mengenai kenaikan tarif perjalanan, pemerintah juga menetapkan besaran biaya tidak langsung, yakni berupa biaya sewa penggunaan aplikasi, paling tinggi 15 persen atau turun dari sebelumnya sebesar 20 persen.
Ketentuan-ketentuan itu ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Biaya jasa disesuaikan dengan beberapa komponen biaya pengemudi, seperti kenaikan bahan bakar minyak, upah minimum regional, dan komponen perhitungan jasa lain.
Senior Vice President Corporate Affairs Gojek Rubi W Purnomo, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (11/9/2022), menyatakan, Gojek telah memberlakukan perubahan tarif GoRide (ojek sepeda motor) sesuai dengan peraturan yang berlaku efektif pada 11 September 2022. ”Selain itu, kami juga proaktif menyesuaikan tarif bagi layanan GoCar, GoFood, GoSend, dan GoMart untuk mendorong potensi pendapatan maksimal bagi para mitra pengemudi,” ujarnya.
Rubi menambahkan, penyesuaian tarif ini diharapkan dapat mendukung mitra pengemudi memenuhi biaya operasional sehari-hari, sekaligus memastikan Gojek dan para mitra pengemudi dapat selalu memberikan layanan terbaik bagi pelanggan.
Sementara Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi mengatakan, Grab berupaya untuk terus membantu terjaganya pendapatan mitra pengemudi dengan melakukan penyesuaian tarif untuk layanan transportasi mulai 11 September 2022 pukul 00.01 WIB.
Pada saat bersamaan, kata Neneng, Grab juga mendukung agar pengeluaran konsumen lebih hemat dengan memperkenalkan layanan GrabBike Hemat dan Promo Diskon Ngegas GrabCar yang dapat dinikmati pengguna Grab di seluruh Indonesia selama periode yang ditentukan. Kedua inisiatif itu diharapkan membantu meringankan beban ekonomi masyarakat di tengah kondisi yang dinamis saat ini.
Baca juga: Tarif Ojek Daring Naik, Untungkan Siapa?
Menurut Neneng, penyesuaian tarif dijalankan menyusul penetapan aturan baru tarif transportasi daring yang terangkum dalam KP 667 Tahun 2022. Besaran penyesuaian tarif telah dihitung secara saksama sesuai aturan pemerintah, tetapi juga dirancang untuk menjaga kesejahteraan para mitra pengemudi di tengah kenaikan harga bahan bakar minyak dan tetap menjaga kestabilan permintaan pasar terhadap layanan Grab.
Sebagai bagian dari upaya Grab dalam membantu mitra pengemudi dalam menghadapi dampak kenaikan harga BBM, penyesuaian tarif juga akan diberlakukan untuk layanan GrabCar dan layanan pengantaran, yakni GrabExpress dan GrabFood, serta akan ada penyesuaian untuk GrabElectric sesuai dengan layanan masing-masing. Adapun penyesuaian tarif untuk layanan GrabCar sekitar 10 persen, GrabExpress 6 persen, dan GrabFood 7 persen.
Dalam keterangan tertulisnya, pihak Gojek ataupun Grab belum bersedia menjelaskan soal komitmen penurunan biaya aplikasi paling tinggi 15 persen. Sejumlah pengamat transportasi sebelumnya mengangkat masalah yang hanya membebani mitra pengemudi. Semestinya, semakin banyak mitra pengemudi yang bergabung dalam jasa transportasi berbasis aplikasi ini, potongan biaya aplikasi bisa ditekan lebih rendah lagi.
Pakar transportasi publik Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, dalam diskusi Polling Institut yang mengangkat tema ”Kenaikan Tarif Ojek Daring di Mata Pengguna dan Pengemudi” di Jakarta, Minggu (11/9/2022), menyatakan, sanksi yang bisa diberikan kepada aplikator sangat ambigu.
”Penerapaan bisnis transportasi berbasis aplikasi itu menjadi ranah Kementerian Perhubungan atau Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)? Kalau bukan ranahnya Kementerian Perhubungan, ya, (Kementerian Perhubungan) tidak bisa apa-apa. Itu sebenarnya ranah sistem informasi dan teknologi,” kata Yayat.
Yayat teringat dahulu ada permintaan aplikasi yang ditutup. Namun, Kemenkominfo malah berpegangan ada sikap ”selama aplikatornya tidak melakukan tindakan pidana atau kriminal, terorisme, dan asusila lainnya, aplikator ini tetap diizinkan”. Dalam konteks bisnis transportasi berbasis daring, persoalan penerapan biaya aplikasi yang mengetahui hanyalah aplikator dan mitra pengemudi.
Baca juga: Pengojek Daring Desak Evaluasi Tarif
Sangat ironis, kata Yayat, karena penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mendapatkan Kemenkominfo dan aturannya berada di Kemenkominfo, tetapi permasalahannya berada di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kemenkominfo ibarat mendapatkan mata air, sedangkan Kemenhub mendapatkan air mata. Begitu pula, aplikator yang mendapatkan mata air dari bisnis ini, tetapi mitra pengemudi hanya mendapatkan air mata atas penghasilannya yang terus tergerus.
Komitmen mengikuti aturan dan sanksi-sanksi tegas akan sangat sulit diterapkan karena kemitraan ini bersifat internal. Selain itu, pendekatannya sulit diletakkan sebagai business to business (B to B). ”Kalau B to B, tentu ada semacam perjanjian kerja sama dan kesepakatan. Tinggal dijalankan saja. Sekarang ini, antara mitra pengemudi dan aplikator ada perjanjian kerja atau tidak? Apakah Kemenhub mewakili mitra pengemudi? Tidak! Kemenhub hanya mengatur regulasinya saja. Tetapi, dalam konteks hubungan kerja, ketika ada pengingkaran terkait kesepakatan kerja, itu masuk ranah perdata,” ujar Yayat.
Yayat mengatakan, dibandingkan dengan kenaikan tarif, ojek daring lebih senang banyak order. Posisi mereka berat. Dari sisi pendapatan, rata-rata kurang dari Rp 4 juta per bulan atau lebih kecil dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) di Jabodetabek yang rata-rata Rp 4,2 juta per bulan. Di daerah lain lebih rendah lagi.
”Yang jadi masalah, mereka itu sebenarnya pekerja atau sukarelawan? Kerjanya paruh waktu, suka-suka, tetapi implikasi di luar penghasilan yang tidak dihitung adalah jam kerja lebih dari delapan jam. Bekerja tanpa status, tanpa perlindungan, dan tanpa apa pun. Hubungan kemitraannya itu memang dalam posisi timpang, apalagi aplikasi juga menetapkan tarif tersendiri,” ujar Yayat.
Bagi mitra pengemudi, lanjut Yayat, hal yang terpenting adalah potongan minim, ada bonus kerja, dan penambahan jumlah order. Saat ini, masyarakat sedang kesulitan untuk membiayai transportasi. Di sinilah, suplai dan permintaan terlihat tidak sebanding.
Menurut Yayat, aplikator diharapkan terbuka tentang jumlah suplai dan permintaan di setiap kota. Kalau tidak ada keterbukaan, bisnis ini sesungguhnya tidak menarik lagi sebagai pembuka lapangan kerja. Makin banyak orang yang posisinya sebagai mitra pengemudi, tetapi ordernya makin minim akibat permintaan semakin berkurang. Potensi permintaan dari tiap-tiap kota akibat kenaikan tarif semestinya dibuka secara transparan.
”Ketidakterbukaan data tentang suplai dan permintaan adalah kelemahan terbesar dalam bisnis ini. Ibaratnya, suplai angkutan kota di Bogor sebanyak 3.000 unit. Tetapi, begitu jumlah penumpang diperkirakan sebanyak 3.000 orang, itu sebenarnya kerugian besar,” tegas Yayat.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang menegaskan pentingnya keterbukaan aplikator. Apalagi, Gojek yang sekarang menjadi perusahaan terbuka (Tbk) seharusnya bersikap terbuka. Kalau investor saham mempertanyakan data mitra pengemudi, data tersebut haruslah dibuka.
”Sebenarnya ojek online itu bukan perusahaan transportasi. Kewenangannya berada di Kemenkominfo, termasuk perizinan ojol (ojek daring). Namun, ketika ada masalah penentuan tarif, teman-teman ojek daring malah demonstrasi di Kemenhub. Seharusnya, demonstrasinya di Kemenkominfo karena perizinan dan data-data semestinya juga ada di Kemenkominfo,” kata Deddy.
Deddy menyayangkan, data antara suplai mitra pengemudi dan permintaan ojek daring tidak ada. Sejak tahun 2015, pihaknya selalu menanyakan data tersebut. Sayangnya, hal itu tidak pernah diberikan oleh para aplikator. Bahkan, pada forum diskusi kelompok (FGD) di Kemenhub beberapa waktu lalu, hal itu juga sempat dipertanyakan. Aplikator justru melemparkan jawaban untuk meminta kepada Kemenkominfo.
Sementara Kemenkominfo tidak pernah hadir dalam pembahasan menyangkut bisnis aplikasi ini. Menurut Deddy, mereka selalu melemparkan permasalahan ojek daring ke Kemenhub. Sementara ojek daring memang belum ada regulasinya. Karena itu, ketika Kemenhub akhirnya mengeluarkan regulasi, hal itu lebih bersifat diskresi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, bukan berdasarkan undang-undang.
”Sampai kapan pun kenaikan tarif ojek daring dilakukan, sementara tidak ada pembatasan, itu percuma saja. ’Kue’ yang diperebutkan sama atau mungkin bertambah sedikit, tetapi yang ’makan’ atau mitra pengemudinya banyak. Percuma (tarif) dinaikkan setiap tahun, tanpa pembatasan jumlah armada yang beroperasi,” ujarnya.
Dia menyebutkan, dahulu pemain bisnis aplikasi ini didominasi Gojek dan Grab. Sekarang bertambah lagi, antara lain Maxim, Lala Move, dan Shopee. Kalau nantinya ada aplikasi baru, ”kue” pengguna ojek daring akan semakin diperebutkan dan terbagi semakin mengecil. Mitra pengemudi hanya menunggu berjam-jam, tanpa kenal jam kerja. Ironis, jika tidak diatur kuotanya.
Resisten terhadap kenaikan
Peneliti Polling Institute, Kennedy Muslim, memaparkan hasil survei Polling Institute mengenai ”Kenaikan Tarif Ojek Daring di Mata Pengguna dan Pengemudi” yang dilakukan 16-24 Agustus 2022. Namun, survei ini dilakukan sebelum Kemenhub menetapkan besaran kenaikan tarif ojek daring.
Kalangan pengguna ojek daring tampak cukup resisten dengan rencana kenaikan tarif, yakni sekitar 61 persen menyatakan kurang atau tidak setuju dengan kenaikan tarif. Mayoritas pendapat kurang atau tidak setuju dengan rencana kenaikan tarif berada di tiap kelompok demografi, wilayah, dan berbagai tingkat intensitas penggunaan ojek daring, terutama kelompok yang semakin intens.
Sementara di kalangan mitra pengemudi, rencana kenaikan tarif ojol jauh lebih luas terdengar, yakni sekitar 79 persen mitra pengemudi sudah tahu atau pernah mendengarnya. Dari sisi rencana kenaikan tarif yang kini sudah menjadi kenyataan, mayoritas mitra pengemudi setuju atau sangat setuju dengan rencana kebijakan tersebut, yakni sekitar 82,6 persen.
Baca juga: Polemik Legalitas Ojek Daring Tak Kunjung Reda
Namun, soal dampak kenaikan tarif, lanjut Kennedy, kemungkinan sekitar 50 persen (total dengan berbagai kombinasi opsinya) pengguna yang akan beralih atau lebih sering menggunakan sepeda motor pribadi untuk mobilitas sehari-hari. Kemudian, tingkat penggunaan transportasi umum juga kemungkinan akan mengalami penurunan karena hampir sekitar 30 persen pengguna moda transportasi kombinasi juga menggunakan kendaraan umum dan transportasi daring.
Selain itu, Polling Institute melihat kenaikan tarif ojek daring juga bisa mengancam mitra itu sendiri. Dengan kenaikan tarif sebesar Rp 2.000 per perjalanan, sekitar 25 persen pengguna mundur dan beralih ke moda lain. Bahkan, jika kenaikan tarif mencapai sekitar Rp 4.000 per perjalanan, kemungkinan ada sekitar 72 persen pengguna yang tidak akan menggunakan ojek daring lagi.
Hasil survei juga menunjukkan, sekitar 73 persen mitra pengemudi akan kehilangan harapan tentang masih adanya pengguna yang tetap menggunakan jasa ojek daring. Akibatnya, mereka terpaksa berpikir kembali untuk mencari sumber penghidupan yang baru. Mitra pengemudi tampak sangat menyadari dengan konsekuensi logis dari kenaikan tarif.
Dan, saat ini, kata Kennedy, dalam situasi penghasilan yang sedang merangkak pulih akibat terjadinya pandemi, mitra pengemudi tampak lebih menitikberatkan volume order yang tidak berkurang, meski tiada kenaikan tarif. Bahkan, cukup besar kelompok mitra yang bersedia tarif diturunkan asal volume order menjadi lebih tinggi.