Polemik Legalitas Ojek Daring Tak Kunjung Reda
Pro dan kontra terkait legalitas ojek daring masih terjadi karena regulasi yang ada dinilai belum mewadahi. Perdebatan terjadi antara lain terkait aspek keselamatan pengemudi dan penumpang serta pengendara lain.
JAKARTA, KOMPAS — Legalitas keberadaan transportasi daring, seperti ojek dan taksi daring, tidak kunjung usai. Sikap pro dan kontra masih terjadi di tengah masyarakat dan terganjal oleh aturan perundang-undangan. Perdebatan panjang terjadi, terutama terkait aspek keselamatan, baik pengendara maupun penumpangnya, serta pengendara lain.
Di lain sisi, transportasi berbasis daring menjadi alternatif yang menguntungkan bagi masyarakat konsumen. Selain itu, keberadaannya membuka lapangan kerja yang relatif besar di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Sementara problem kemitraan masih dirasakan terutama oleh pengemudi yang dianggap tidak memiliki nilai tawar yang kuat.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan Eddy Gunawan dalam diskusi ”Pro Kontra Legalisasi Transportasi Online di Indonesia” di Jakarta, Rabu (6/7/2022), berpendapat, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan merupakan keputusan legal politis.
Akan tetapi, teknologi yang berkembang sangat cepat membuat perlunya penyesuaian ketentuan-ketentuan UU. Apalagi transportasi dalam jaringan (daring/online)belum diatur dalam UU tersebut secara eksplisit.
Foto terkait: Pengemudi Ojek Daring di Semarang Tuntut Kesejahteraan
Dinamika terkait kemunculan transportasi online terjadi saat start up atau usaha rintisan jasa transportasi umum berkembang pesat. Tanpa disadari, kehadirannya masuk dalam dimensi politik. Presiden Joko Widodo bahkan memberikan ruang kepada generasi muda atas model-model start up. Sementara sepeda motor yang digunakan sebagai transportasi umum tidak ditampung dalam UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Ide dasarnya, model transportasi ini dikembalikan ke kearifan lokal. Pemerintah daerah ditantang mengatur keberadaan sepeda motor sebagai ojek. Dalam perkembangannya memang menjadi perdebatan panjang,” ujar Eddy.
Pemahamannya saat itu, kata Eddy, kalau belum diatur dan tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengikat bagi operator dan tanggung jawabnya kepada pengguna jasa, hal itu dianggap ilegal atau tidak sah. Namun, dinamika di tengah masyarakat tidak bisa dibendung. Isu serupa di beberapa negara pun menjadi perdebatan. Ada yang melarang, tetapi ada juga yang bersikap akomodatif.
Kementerian Perhubungan, menurut dia, justru memilih langkah-langkah persuasif. Lebih memilih dikondisikan demi mereduksi gejolak-gejolak masyarakat. Bukan hal sederhana karena Kementerian Perhubungan harus melalui proses panjang, mulai dari konsultasi hingga diskusi dengan sejumlah pihak.
Eddy mengakui, pemerintah harus menyikapi dan mengondisikan supaya problem itu tidak berlarut-larut. Beberapa peraturan Menteri Perhubungan dikeluarkan untuk ”mengakomodasi”. Secara normatif, sesuai ketentuan-ketentuan tentang angkutan umum, sepeda motor bukanlah angkutan umum.
Ketua Umum Organisasi Gaspool Lampung Miftahul Huda mengatakan, para pengemudi transportasi roda dua berbasis daring sesungguhnya tetap membutuhkan regulasi. Pemerintah tetap harus hadir dalam bisnis transportasi online ini. Kebijakan pemerintah merupakan wujud kehadiran bagi kebaikan semua pihak.
Dalam UU No 22/2009, kata Huda, memang tidak ada frasa tegas bahwa kendaraan roda dua bukan angkutan umum. Di sinilah ikhwal polemiknya. Kalau disebut-sebut ojek online merupakan kendaraan yang tidak aman, menurut dia, hal itu tidak tepat.
Baca juga: Ojek Daring Desak Evaluasi Tarif
”Sebab, bagaimana mungkin pemerintah memberikan izin penjualan kendaraan roda dua kalau sepeda motor dikategorikan moda transportasi yang tidak aman? Ini hanyalah masalah persepsi sehingga kami hanya menuntut adanya regulasi yang mengatur tentang transportasi umum roda dua,” kata Huda.
Menurut Huda, aturan perundang-undangan itu haruslah direvisi. Jangan sampai bisnis transportasi online yang melibatkan jutaan pengemudi dan keluarganya diabaikan pemerintah. Kehadiran pemerintah dibutuhkan. Selama ini, pengemudi ojek daring tidak memiliki kejelasan dalam kedudukannya sebagai pemberi jasa.
Huda menilai, pengaturan transportasi daring diyakini akan memberikan manfaat bagi semua pihak, baik perlindungan pengemudi, konsumen, maupun pemerintah. Tidak semata-mata bisnis bagi perusahaan-perusahaan besar.
UU No 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang salah satu pasalnya mengatur soal kemitraan pun tidak mengatur hubungan kerja antara pengemudi ojek daringdan perusahaan penyelenggara ojek daring. Yang ada, kemitraan yang mengatur antara perusahaan dan UMKM.
”Kemitraan yang terjadi dalam bisnis ojek online saat ini sifatnya orang per orang. Ini ibarat Daud dan Goliat, lebih menyerupai penjajahan. Perusahaan besar dengan valuasi ratusan triliun rupiah bermitra dengan tukang-tukang ojek,” ujar Huda.Tak bisa ditolakEddy mengatakan, secara keniscayaan, alat transportasi berbasis daring tidak bisa ditolak. Penerimaan masyarakat juga tidak terbantahkan besarnya. Tak bisa dihindari. Tentu, pemerintah bersama akademisi mencermati perkembangannya untuk menciptakan kepastian hukum. Dinamika sosiologis di masa pandemi tidak terhindarkan. Faktanya, banyak yang mengalami PHK sehingga lapangan kerja ini dipandang menjadi jalan keluar sebagai sumber penghidupan baru.
”Gojek, misalnya, sebenarnya bukanlah perusahaan transportasi umum. Mereka merupakan perusahaan teknologi. Ini pun masih menjadi perdebatan. Sebab, kalau sebagai perusahaan angkutan umum, seharusnya aturan perizinan menyesuaikan aturan undang-undang,” kata Eddy.
Riset Studi Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan, pro dan kontra keberadaan transportasi berbasis daring mengemuka saat menilik pemahaman dari aliansi transportasi konvensional dan aliansi transportasi daring.
Baca juga: New York Tetapkan Upah Minimum Kurir Ojol
Transportasi daring merupakan ancaman eksistensi bisnis transportasi konvensional sehingga mendorong munculnya kebijakan pelarangan transportasi berbasis daring. Mereka melakukan upaya-upaya secara formal dan informal, antara lain aksi protes terhadap pemerintah dan mengajukan gugatan secara hukum dengan menggunakan rujukan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) sebagai dasar pelarangan transportasi daring. Secara informal, mereka melakukan represi dan razia di titik-titik tertentu, seperti terminal, bandara, dan lokasi lainnya.
Akibatnya, muncullah kebijakan pemerintah berupa Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 28/2015 sebagai dasar pelarangan ojek dan taksi daring. Kemudian, Desember 2015 terbit pula surat penertiban Menteri Perhubungan yang meminta Polri menindak pengemudi transportasi daring karena melanggar UU LLAJ.
Proses pro dan kontra tersebut memunculkan lahirnya Permenhub No 32/2016 yang dinilai masih terkesan setengah hati. Sebab, aturannya masih mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan terhadap transportasi konvensional.
Karena terus ditolak, lalu muncul Permenhub No 26 /2017. Namun, peraturan ini pun ditentang oleh aliansi transportasi berbasis daring karena mereka menilai transportasi daringsecara paradigmatik berbeda dengan transportasi konvensional. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan tersebut dikabulkan oleh MA.
Alhasil, Kementerian Perhubungan diminta lebih mengakomodasi secara penuh atas operasional transportasi daring tanpa harus mengikuti aturan transportasi konvensional dengan menerbitkan Permenhub No 118/2018. Ini menjadi dasar legal beroperasinya taksi daring. Kemudian, terbit pula Permenhub No 12/2019 yang menjadi dasar beroperasinya ojek daring.
Peneliti Studio Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Indira Dwi Astari, mengatakan, ”Ini bisa disebut sebagai akomodasi penuh yang akhirnya transportasi online di Indonesia diberi fleksibilitas penuh untuk beroperasi tanpa harus mengikuti UU LLAJ, sebagaimana aturan UU ini menjadi alasan terberat untuk tidak melegalkan transportasi online di Indonesia.”
Pengamat transportasi Darmaningtyas secara tegas menolak legalisasi terhadap transportasi daringsebagai angkutan umum. Dia menilai, problem kemitraan antara pengemudi dan perusahaan ojek daringsesungguhnya lebih pada hubungan industrial yang domainnya di Kementerian Tenaga Kerja. Bukan Kementerian Perhubungan yang menerbitkan regulasi yang mengatur pergerakan lalu lintas di jalan. Dengan adanya legalisasi dalam UU, sesungguhnya semua persoalan ini bisa teratasi.
Sebenarnya, kata Darmaningtyas, dengan adanya Permenhub, tidak ada lagi problem legal versus ilegal pada ojek daring. Sebab, payung hukumnya sudah jelas. Awal kemunculan ojek daring, isu legalisasi memang relevan mengemuka. Namun, hingga saat ini, tidak ada pelarangan ojek daring.
”Proses legalisasi hanya relevan kalau ada pelarangan operasional ojek online, baik di jalan lingkungan, jalan kolektor, maupun protokol. Sampai hari ini, kita tidak pernah mengalami problem operasional,” kata Darmaningtyas.
Soal hubungan kemitraan, hal yang perlu diubah adalah UU terkait kemitraan dan UU Ketenagakerjaan yang dapat mengakomodasi kebutuhan ojek daring. UU LLAJ hanya mengatur angkutan umum, antara lain jam kerja pengemudi. Itu dasarnya adalah menyangkut keselamatan karena domain Kementerian Perhubungan adalah menyelenggarakan angkutan yang berkeselamatan.