Risiko Kebocoran Data Tak Surutkan Minat Penggunaan Tekfin
Kendati minat masyarakat terhadap penggunaan teknologi finansial tetap terjaga, proteksi data pribadi harus jadi prioritas utama.
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran akan kebocoran data tidak menyurutkan minat masyarakat untuk memanfaatkan teknologi finansial atau tekfin. Hal itu antara lain karena masyarakat juga tetap merasa mendapatkan kemudahan dari tekfin. Kondisi tersebut perlu menjadi dorongan bagi pemerintah dan penyedia tekfin untuk menjamin proteksi data masyarakat.
Minda Kartini (27), misalnya, karyawan swasta yang bekerja di Jakarta, tetap menggunakan tekfin meski ia juga merasa khawatir data pribadinya berpotensi tersebar. Sejauh ini, Minda menggunakan enam tekfin dengan tipe dompet digital (e-wallet), beli dulu bayar kemudian atau buy now pay later (BNPL), dan investasi.
”Saya masih menggunakan tekfin karena merasa mendapat banyak keuntungan. Lewat pay later, misalnya, saya sering mendapatkan diskon. Selain itu, saya merasa pengeluaran lebih terkontrol. Saya juga merasa lebih mudah saat melakukan pembayaran memakai dompet digital. Enggak perlu bawa uang tunai lagi,” kata Minda, di Jakarta, Minggu (9/10/2022).
Untuk mengurangi kekhawatirannya atas kebocoran data pribadi, Minda membedakan nomor ponsel yang digunakan untuk komunikasi dan untuk mendaftar tekfin. Selain itu, ia juga selalu mencatat pengeluarannya lewat tekfin sehingga bisa segera mengetahui jika ada ketidaksesuaian data atau akunnya dipakai orang lain.
Sebanyak 75,4 persen dari 1.212 responden di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mengkhawatirkan terjadinya kebocoran data.
Baca juga: ”Start Up” Teknologi Finansial Akan Selalu Jadi Incaran
Kekhawatiran yang dirasakan Minda ini sejalan dengan hasil riset ISEAS-Yusof Ishak Institute baru-baru ini yang bertajuk ”Financial Technology Adoption in Greater Jakarta: Patterns, Constraints, and Enablers”. Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Astrid Meilasari-Sugiana, mengatakan, kebocoran data merupakan isu yang paling dikhawatirkan oleh 3.157 respondennya.
Sebanyak 75,4 persen dari 1.212 responden di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mengkhawatirkan terjadinya kebocoran data. Kekhawatiran yang sama dirasakan sebanyak 61,7 persen dari 1.197 responden dari Pulau Jawa yang berdomisili di luar wilayah Jabodetabek. Demikian pula halnya dengan 55,4 persen dari 748 responden di luar Pulau Jawa.
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Astrid Meilasari-Sugiana, memaparkan hasil risetnya tentang adopsi teknologi finansial dalam seminar bertajuk ”From Digital Adoption to Financial Inclusion: The Way Forward for Indonesia” di Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Namun, riset ini menunjukkan kekhawatiran tersebut tidak menghentikan para responden untuk menggunakan tekfin. Mereka terus menggunakan layanan tersebut tanpa mengabaikan potensi risiko.
”Ketakutan masyarakat akan kebocoran data tidak menyurutkan semangat bereksperimen dengan tekfin karena mereka mendapatkan kemudahan akses, biaya yang rendah, dan penggunaannya didasarkan atas keakraban dan kepercayaan,” tutur Astrid dalam seminar bertajuk ”From Digital Adoption to Financial Inclusion: The Way Forward for Indonesia” yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Tech For Good Institute (TFGI), dan Indonesia Fintech Society (IFSoc), di Jakarta, pekan lalu.
Astrid menambahkan, kekhawatiran tentang kebocoran data membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam penggunaan tekfin. Dengan kata lain, responden terus menggunakan tekfin dan tidak mengabaikan potensi bahaya yang terlibat.
Secara khusus, Astrid memfokuskan hasil risetnya pada pengalaman masyarakat Indonesia di Jabodetabek. Sebab, kawasan itu didiami lebih dari 30 juta orang atau mewakili sekitar 11 persen dari Indonesia populasi. Selain itu, Jabodetabek memiliki jumlah pengguna tekfin tertinggi di Indonesia.
Baca juga: Tekfin ”Pay Later” Bantu Jaga Daya Beli Masyarakat
Selain merasakan kemudahan dalam mengakses produk atau jasa keuangan (77 persen), masyarakat tetap menggunakan tekfin karena penawaran promosi atau diskon (55,7 persen). Sebanyak 47,3 persen responden juga merasa tekfin bisa menjadi peluang baru untuk menghasilkan pendapatan.
Masyarakat, terutama dengan penghasilan Rp 4 juta hingga Rp 6 juta dan penghasilan Rp 6 juta ke atas, merasa keuangan mereka lebih terkendali ketika menggunakan tekfin. Pengguna tekfin dari kelompok berpenghasilan lebih tinggi umumnya lebih melek digital pada seluruh proses keterlibatan mereka di platform tekfin.
Penggunaan tekfin juga membuat masyarakat merasa pintar, keren, dan kekinian. Persepsi ini terutama dipunyai masyarakat dengan pendapatan dari Rp 2 juta hingga Rp 4 juta.
Kendati risiko kebocoran data tidak menyurutkan penggunaan tekfin, masyarakat tetap membutuhkan perasaan aman dan melek digital saat menggunakan tekfin. ”Oleh karena itu, pemerintah perlu berperan untuk mengarusutamakan dan membimbing kelompok rentan untuk penggunaan tekfin yang aman, adaptif, dan memungkinkan,” ujar Astrid.
Hal serupa disampaikan peneliti TFGI, Melissa Tan, dalam paparan risetnya berjudul ”Digital Financial Services in SE Asia: A Catalyst for Financial Inclusion”. Menurut Melissa, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap tekfin tergolong tinggi. Dari rentang 0 hingga 7, level kepercayaan masyarakat berada pada angka 5,359. Hanya terpaut 0,146 dari kepercayaan terhadap layanan bank.
Ini merupakan fondasi yang bagus bagi pemerintah untuk mempromosikan inovasi dan akhirnya mencapai inklusi keuangan. Bagi penyedia tekfin, kepercayaan yang terjaga akan menarik lebih banyak orang ke ekosistem layanan keuangan digital.
Kepercayaan itu berkaitan dengan komunikasi, kompetensi, integritas, dan reputasi dari penyedia layanan. ”Untuk pemerintah dan penyedia tekfin, penting untuk menjaga kepercayaan yang sudah ada. Ini merupakan fondasi yang bagus bagi pemerintah untuk mempromosikan inovasi dan akhirnya mencapai inklusi keuangan. Bagi penyedia tekfin, kepercayaan yang terjaga akan menarik lebih banyak orang ke ekosistem layanan keuangan digital,” ujar Melissa.
Proteksi data pribadi
Sejumlah kasus kebocoran data pribadi marak terjadi di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Salah satu kasus kebocoran data yang melibatkan tekfin terjadi pada 2020. Menurut laporan Kompas (3/8/2020), data pribadi nasabah perusahaan pembiayaan Kreditplus diduga diretas dan dibocorkan ke situs Raid Forums.
Data yang bocor sangat rinci, dari nama, tanggal lahir, nomor induk kependudukan, alamat rumah, gaji, hingga nama ibu kandung nasabah dan pasangannya. Jumlah data yang bocor diduga dimiliki lebih dari 890.000 orang. Akun yang membagikan basis data tersebut adalah ShinyHunters, peretas yang sebelumnya juga disebut-sebut menjual basis data pengguna Tokopedia.
Peneliti senior CSIS, Dr Raymond Atje, mengatakan, menjaga data dan transaksi nasabah tetap aman merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh penyedia layanan tekfin saat ini. Untuk itu, tekfin perlu menjaga dan terus membangun kepercayaan masyarakat terhadap produknya.
Namun, Raymond menegaskan, upaya itu harus dimulai dari pemerintah, tidak cukup hanya dari sektor swasta. Pemerintah bisa menjaga kepercayaan itu dengan menerapkan regulasi yang tepat. Setelah itu, penerapannya perlu terus dikawal.
Pengembangan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edwin Nurhadi, mengatakan, perlindungan konsumen merupakan satu dari empat tantangan inklusi keuangan. Untuk menghadapinya, OJK berupaya menyeimbangkan inovasi keuangan dan perlindungan konsumen dengan mengutamakan kenyamanan konsumen.
”Kenyamanan tersebut dapat dicapai dengan memastikan layanan digital cepat, mudah, dan terjangkau. Adapun perlindungan konsumen meliputi transparansi, perlindungan data, dan penyediaan layanan pengaduan,” tutur Edwin.
Perlindungan konsumen merupakan satu dari empat tantangan inklusi keuangan. Untuk menghadapinya, OJK mencoba menyeimbangkan inovasi keuangan dan perlindungan konsumen dengan mengutamakan kenyamanan konsumen.
Selain itu, OJK menguatkan beberapa regulasi terkait inovasi digital, antara lain dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dan Digital Finance Innovation Roadmap and Action Plan 2020-2024.
Indonesia juga telah mempunyai regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi. Pada Selasa (20/9/2022), DPR telah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Pribadi menjadi undang-undang (UU). Dalam UU tersebut, terdapat beragam sanksi pidana dan administratif menanti jika kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi terjadi.
Baca juga: RUU Pelindungan Data Pribadi Akhirnya Disahkan
Misalnya, setiap orang yang dengan sengaja memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan bisa mengakibatkan kerugian pada subyek data pribadi dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 5 miliar.
Namun, penerapan aturan yang ada dalam UU PDP masih menunggu pembentukan lembaga penyelenggara pelindungan data pribadi. Kewenangan pembentukan lembaga tersebut ada di tangan presiden.