Indonesia berpotensi menjadi pemain utama rumput laut dunia dengan dukungan kebijakan terintegrasi di hulu-hilir. Hilirisasi rumput laut dalam negeri masih terkendala pendataan produksi dan kebutuhan bahan baku di hilir.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong hilirisasi rumput laut untuk peningkatan nilai tambah ekspor. Ditengarai terjadi persaingan ketat penyerapan bahan baku oleh eksportir rumput laut kering dengan industri pengolahan dalam negeri.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2021, ekspor rumput laut asal Indonesia mencapai 225.000 ton atau 30 persen dari total volume ekspor rumput laut dunia. Jumlah ekspor itu menempatkan Indonesia sebagai pengekspor rumput laut terbesar. Namun, dari sisi nilai ekspor, Indonesia menempati urutan kedua setelah China dengan nilai ekspor 345 juta dollar AS atau setara dengan Rp 5 triliun (kurs Rp 14.500 per dollar AS).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Ishartini mengemukakan, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama rumput laut dunia jika didukung kebijakan hulu-hilir yang terintegrasi. Saat ini, tercatat 196 negara di dunia menjadi pengimpor komoditas rumput laut.
”Ini menunjukkan betapa pentingnya produk rumput laut dalam perdagangan internasional. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan rumput laut bisa diolah menjadi beragam produk bernilai tambah yang memiliki nilai ekonomis tinggi,” katanya dalam keterangan pers akhir pekan lalu.
Ishartini menambahkan, produk turunan rumput laut dikelompokkan menjadi produk pangan, pakan, pupuk, produk kosmetik, dan produk farmasi. Industri pengolahan mulai mengembangkan inovasi rumput laut untuk keperluan berbagai bidang, seperti makanan, kesehatan, farmasi, material berkelanjutan, dan kosmetik. Sementara itu, masyarakat juga mengembangkan produk pangan turunan rumput laut, seperti manisan, agar-agar, dodol, mi, minuman, dan stik.
Produk turunan rumput laut, seperti karaginan, agar, dan alginate, dikembangkan sebagai bahan campuran (hidrokoloid) dalam pembuatan berbagai produk industri pangan, di antaranya untuk pengenyal dan pengemulsi es krim, roti, susu, sosis, dan minuman instan. Selain itu, produk turunan rumput laut dikembangkan juga untuk produk non-pangan, seperti cat, tekstil, farmasi, dan kosmetik.
Persaingan ketat
Menurut Ishartini, upaya integrasi hulu-hilir diperlukan untuk optimalisasi industri rumput laut. Selama ini, hilirisasi rumput laut masih terkendala kualitas pendataan, yakni perbedaan data produksi rumput laut dengan kebutuhan bahan baku di industri hilir. Di samping itu, kualitas bahan baku yang dihasilkan oleh pembudidaya masih banyak yang belum memenuhi standar untuk diolah.
Di sisi lain, terjadi persaingan ketat perolehan bahan baku antara eksportir bahan baku berupa rumput laut kering dan industri pengolahan di dalam negeri. Diperlukan intelijen pemasaran untuk mengetahui jenis rumput laut yang dibutuhkan pasar internasional dan dalam negeri.
”Terjadi persaingan ketat untuk perolehan bahan baku antara eksportir rumput laut kering dan para processor di dalam negeri. Oleh karena itu, data dan informasi market intelligence dapat menjadi referensi kebijakan untuk mengatur pemasaran rumput laut,” kata Ishartini.
Dihubungi secara terpisah, Minggu (9/10/2022), Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis mengemukakan, komoditas rumput laut yang tengah dibudidayakan di Indonesia meliputi Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, dan Gracilaria verrucosa. Keragaman rumput laut di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan ekspedisi Siboga oleh Van Bosse (1899-1900), di Indonesia terdapat 791 spesies rumput laut.
Saat ini, sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia masih berupa rumput laut kering. Secara geografis, jenis rumput laut yang dihasilkan Indonesia tergolong jenis rumput laut tropis sehingga tidak bisa disamakan dengan jenis dan produk rumput laut yang dihasilkan negara-negara subtropis, seperti China, Jepang, dan Eropa. Dicontohkan, Jepang memproduksi nori yang mendunia.
Safari menilai, usaha hulu-hilir rumput laut di Indonesia masih menghadapi tantangan, seperti produktivitas dan kontinuitas produksi rendah, penyediaan bibit unggul yang sulit diperoleh, kesulitan modal kerja, serta teknologi budidaya dan pascapanen belum memadai. Sementara itu, pendapatan petani cenderung rendah, harga jual fluktuatif, dan pemanfaatan hasil olahan dalam negeri oleh industri hilir belum optimal.
Pengembangan hilirisasi dinilai perlu berjalan paralel dengan pembenahan industri hulu dan disesuaikan dengan tren permintaan pasar. Ada kecenderungan pabrik-pabrik pengolahan di dalam negeri tidak sanggup membeli bahan baku dengan harga yang setara dengan harga ekspor. Sementara, pabrik-pabrik penanaman modal asing dengan modal kuat yang mampu menyerap bahan baku dari dalam negeri dengan harga lebih tinggi justru kerap terkendala kontinuitas bahan baku, baik dalam hal kuantitas dan kualitas.
”Serapan bahan baku oleh industri olahan dalam negeri belum bisa dijamin stabil, sedangkan permintaan ekspor rumput laut kering masih besar. Oleh karena itu, hilirisasi perlu berjalan paralel dengan konsistensi hulu-hilir, serta kebutuhan pasar,” katanya.