Bijih Plastik dari Rumput Laut yang Ramah Lingkungan
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional mengembangkan bijih plastik dari rumput laut. Bijih plastik ini mudah terdegradasi dan pengolahannya tidak meninggalkan mikroplastik sehingga ramah bagi lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Sampai sekarang, plastik masih mudah dijumpai dan banyak menjadi bahan dasar dari berbagai produk industri maupun rumah tangga. Pemakaian plastik kini mulai dikurangi karena sejumlah hasil penelitian telah menunjukkan ancaman plastik beserta senyawa yang terkandung di dalamnya bagi lingkungan hingga kesehatan manusia.
Sampah dari produk plastik yang tidak terkelola dengan baik juga akan membebani lingkungan karena mayoritas membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk dapat terdegradasi atau terurai secara alami. Bahkan, sebagian besar sampah plastik yang tidak terkelola tersebut berakhir atau bermuara ke laut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, volume total sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 persen atau sekitar 11,6 juta tondisumbang oleh sampah plastik. Timbulan sampah plastik ini juga cenderung meningkat dari 11 persen pada tahun 2010 menjadi 17 persen pada 2021.
Berbagai produk plastik yang banyak beredar sekarang dibuat dengan bahan utama bijih plastik dari senyawa kimia styrin monomer. Senyawa ini merupakan hidrokarbon aromatik yang berasal dari produk samping minyak bumi dan gas alam yang tidak ramah lingkungan.
Sejumlah pihak pun terus berinovasi agar dunia dapat beralih ke produk berbahan dasar bijih plastik yang lebih ramah lingkungan. Beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia, juga telah mengembangkan bijih plastik yang diolah dari bahan dasar yang lebih ramah lingkungan atau mudah terurai seperti singkong, tepung jagung, dan berbagai tanaman lainnya.
Terbaru, peneliti dari Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk (PRBB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan bijih plastik dari rumput laut. Pengembangan yang telah dilakukan sejak tahun lalu ini juga melibatkan beberapa kelompok riset lainnya.
Peneliti PRBB BRIN Sukma Surya Kusumah menjelaskan, proses pengembangan biji plastik yang lebih ramah lingkungan mulai banyak dilakukan sejak muncul riset mengenai ancaman sampah plastik beserta senyawa yang terkandung di dalamnya. Pati dari umbi-umbian merupakan salah satu bahan terbarukan untuk pembuatan biji plastik yang pertama kali banyak digunakan dan dikomersialisasikan di Indonesia.
”Namun, sekarang muncul isu bahwa pengembangan dari pati masih menyisakan mikroplastik. Dari sinilah beberapa kelompok riset BRIN mulai berkolaborasi untuk mengembangkan bahan-bahan nabati lain yang bisa dijadikan bahan baku bijih bioplastik,” ujarnya, Minggu (18/9/2022).
Menurut Sukma, dengan kekayaan alam khususnya di bidang kelautan, Indonesia memiliki potensi sangat besar dalam mengembangkan bijih plastik dari rumput laut. Indonesia dapat memanfaatkan berbagai jenis rumput laut yang tidak digunakan untuk konsumsi agar tidak mengganggu program ketahanan pangan. Selama ini, berbagai jenis rumput laut dari perairan Sumatera hingga Papua juga belum diidentifikasi dan dipetakan dengan baik.
Sekarang muncul isu bahwa pengembangan dari pati masih menyisakan mikroplastik. Dari sinilah beberapa kelompok riset BRIN mulai berkolaborasi untuk mengembangkan bahan-bahan nabati lain yang bisa dijadikan bahan baku bijih bioplastik.
”Kami tidak bisa menggunakan beberapa jenis rumput laut yang pemanfaatannya untuk pangan sehingga masih perlu pemetaan lebih lanjut. Selain itu, karakteristik rumput laut juga berbeda dengan produk turunan dari minyak bumi untuk plastik sehingga proses produksinya masih membutuhkan sejumlah modifikasi,” ucapnya.
Proses pembuatan
Sebelum mengembangkan bijih plastik ini, peneliti BRIN terlebih dahulu menganalisis komponen penyusun sejumlah jenis rumput laut dan mengarakterisasinya. Peneliti menyimpulkan terdapat komponen dalam rumput laut berjenis sargassum yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan utama pengembangan bijih plastik.
Komponen tersebut kemudian diambil dan diformulasikan dengan beberapa bahan lainnya, seperti gelatin dan gliserol. Sejumlah komponen tersebut diformulasikan dengan perbandingan 50 persen bahan rumput laut, 25 persen gelatin, dan 25 persen gliserol.
Setelah ditemukan formulasi yang optimal, sejumlah komponen tersebut dicampur ke dalam mesin ekstruder. Dari proses ini akan keluar filamen atau serabut bioplastik yang kemudian masuk ke mesin pemotong hingga menjadi pelet plastik.
”Pelet plastik inilah yang disebut juga sebagai bijih plastik. Bijih plastik adalah bahan yang bisa di-molding (proses pencetakan) menjadi produk apa pun sesuai kebutuhan seperti piring, cangkir, sedotan, kantong kresek, dan sebagainya,” tutur Sukma.
Hasil sejumlah pengujian menunjukkan, kualitas berbagai produk dari bijih plastik rumput laut ini hampir setara dengan produk plastik konvensional yang tidak ramah lingkungan. Kualitas ini mencakup ketahanan terhadap beban dan air serta kekuatan tarik.
Menurut Sukma, kualitas produk dari bijih plastik rumput laut ini hanya sedikit kalah dengan produk plastik konvensional dari aspek kekuatan tarik. Sebagai contoh, nilai kekuatan tarik produk plastik konvensional mencapai 10 megapaskal (MPa). Sementara nilai kekuatan tarik produk dari bijih plastik rumput laut sedikit di bawahnya yakni 9,5 MPa.
”Mengingat sifatnya yang mudah terdegradasi, daya tahan pemakaian produk dari bijih plastik rumput laut ini juga lebih cepat dibandingkan produk plastik konvensional. Contohnya untuk produk kantong kresek diperkirakan selama satu bulan pemakaian sudah rusak dan terdegradarasi,” katanya.
Meski demikian, sifat yang mudah terdegradasi membuat produk ini lebih ramah lingkungan karena akan hilang dengan sendirinya saat menjadi sampah. Dari hasil pengujian, produk dari bijih plastik rumput laut akan terdegrasi sebanyak 90 persen oleh mikroorganisme tanah dalam waktu dua minggu dan hilang seluruhnya setelah satu bulan.
Selain itu, hasil pengujian lainnya juga menunjukkan bijih plastik ini tidak meninggalkan senyawa mikroplastik saat diolah menjadi sejumlah produk dan terlepas ke lingkungan. Ini merupakan salah satu keunggulan mengingat banyak laporan yang menyebut bahwa produk bijih plastik dari bahan alternatif lainnya masih meninggalkan mikroplastik.
Kerja sama industri
Pengembangan bijih plastik dari rumput laut ini juga telah didukung melalui program kerja sama (PKS) antara BRIN dan pihak industri, yakni PT Evogaia Karya Indonesia. Perjanjian PKS yang ditandatangani pekan lalu ini berfokus pada upaya optimasi komposisi dan determinasi kemampuan terdegradasi dari bioplastik pellet berbasis rumput laut serta produk kemasannya.
Kepala PRBB BRIN Akbar Hanif Dawam menyatakan, kemitraan ini sangat penting agar hasil riset dapat memenuhi kebutuhan dan permintaan industri. Pengembangan bijih plastik dari rumput laut ini juga diyakini memiliki nilai strategis karena sekarang dunia tengah mengedepankan isu dan produk yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.
”Seharusnya kita bisa lebih maju dari negara tetangga karena kekayaan alam yang lebih banyak, baik hutan maupun laut. Ke depan perlu penguatan peran BRIN di masyarakat sebagai kolaborator industri sehingga dapat memicu tumbuhnya industri-industri baru yang berbasis teknologi dan pemanfaatan biodiversitas,” ucapnya.
Direktur Utama PT Evogaia Karya Indonesia David Christian menambahkan, kerja sama dengan BRIN ini diharapkan tidak hanya menghasilkan bijih plastik yang konvensional, tetapi juga dapat menjadi peluang untuk menembus pasar internasional.