Proses migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial atau ASO masih tersendat.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini baru terdapat 18 wilayah siaran yang mencakup sekitar 40 kabupaten/kota yang sudah bermigrasi dari siaran televisi analog ke digital terestrial atau analog switch off (ASO). Sementara tenggat ASO sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah 2 November 2022.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ismail, dalam konferensi pers Rabu (5/10/2022), di Jakarta, mengatakan, cakupan wilayah siaran yang akan terkena ASO mencapai 112 wilayah siaran yang terdiri atas 341 daerah administrasi kabupaten/kota. Sesuai data ini, proses menuju ASO yang tinggal sekitar dua bulan butuh upaya maksimal.
Pemerintah bersama lembaga penyiaran berusaha menjawab tantangan itu semaksimal mungkin. Pemerintah berharap masyarakat yang mampu lekas membeli alat bantu penerima siaran digital terestrial. Menurut Ismail, sebanyak 90 dari 112 wilayah siaran telah memiliki infrastruktur pemancar digital. Jadi, masyarakat di sana sebenarnya bisa lekas beralih ke siaran televisi digital terestrial.
Jumlah lembaga penyiaran berizin mencapai 693. Sebanyak 556 di antaranya telah menyelenggarakan siaran analog dan digital secara bersamaan saat ini.
Pemerintah berharap masyarakat yang mampu lekas membeli alat bantu penerima siaran digital terestrial.
Sementara itu, khusus untuk wilayah siaran Jabodetabek yang terdiri atas 14 daerah administrasi kabupaten/kota, Ismail membenarkan adanya pembatalan jadwal ASO yang semula direncanakan pemerintah pada 5 Oktober 2022. Kemkominfo telah menerima surat dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Nomor 021/ATVSI/KS/IST/92022 tanggal 28 September 2022 yang meminta agar tenggat 5 Oktober 2022 itu ditunda atau dibatalkan.
Kemudian, seluruh migrasi di wilayah Jabodetabek diikutkan jadwal tenggat nasional, mengikuti amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Surat itu ditandangani oleh ketua umum, sekretaris jenderal ATVSI, juga ditandatangani oleh direktur utama RCTI, SCTV, MNC TV, ANTV, TV One, Trans TV dan Trans7, serta Global TV.
”Kami tunggu ASO tuntas 2 November, baru kami membahas kelanjutan rencana lelang spektrum 700 megahertz yang sekarang masih ditempati lembaga penyiaran,” ujar Ismail.
Pada saat bersamaan, Direktur Penyiaran Kemkominfo Geryantika Kurnia mengatakan, pembagian bantuan alat bantu penerima siaran digital terestrial bagi rumah tangga miskin di Jabodetabek sebenarnya telah mencapai 96,4 persen. Namun, ATVSI menilai kesiapan masyarakat menghadapi siaran digital terestrial di wilayah itu rendah.
”Sikap kami jelas bahwa tenggat ASO sesuai amanat UU Cipta Kerja harus dipatuhi. Kalau mundur dari tenggat yang diamanatkan, berarti kami, pemerintah, melanggar UU,” katanya.
Sekretaris Jenderal ATVSI Gilang Iskandar membenarkan bahwa ATVSI meminta pemerintah agar menunda tenggat ASO Jabodetabek yang semula ditetapkan 5 Oktober 2022. Sebagai gantinya, ATVSI mengusulkan agar tenggat ASO Jabodetabek ikut tenggat nasional, seperti yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja. Alasan utama ATVSI adalah kesiapan masyarakat.
”Ada kecenderungan sikap masyarakat yang kami tangkap adalah mereka paham siaran televisi digital terestrial, tetapi mereka cenderung memilih mau migrasi setelah siaran televisi analog terestrial mati dulu. Selain itu, kalau dibuat penahapan tanggal, masyarakat malah bingung. Lebih baik ikut tanggal 2 November 2022 sesuai amanat UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Gilang mengatakan, salah satu kekhawatiran ATVSI adalah tingkat kepemirsaan yang turun setelah beralih sepenuhnya ke siaran televisi digital terestrial. Oleh karena itu, sisa waktu sebelum 2 November 2022 akan dipakai maksimal untuk sosialisasi.
Sementara itu, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpendapat, pemerintah seharusnya tetap berpegang pada jadwal yang sebenarnya juga sudah diundur beberapa kali. Sikap tegas pemerintah seperti ini akan membuat masyarakat mengikuti dan pasti mau tidak mau siap migrasi.
”Amanat UU Cipta Kerja pada dasarnya memfasilitasi penyiaran swasta dengan kanal yang lebih banyak setelah digitalisasi. Saat ini butuh ketegasan pemerintah untuk mengikuti ketentuan UU,” katanya.