Kita mungkin perlu mencermati ekspresi anak-anak muda di media sosial. Tekanan ekonomi dirasakan dan diekspresikan melalui media sosial. Apa yang bisa dilakukan pebisnis?
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Seorang remaja Amerika Serikat bernama Pasha Grosdov membuat percakapan yang kemudian menjadi serangkaian konten di Tiktok. Ia merinci bagaimana perasaan generasi Z tentang tekanan berat akibat ekonomi dan kemungkinan hidup menjalani resesi. Konten bikinannya kemudian menjadi viral dan menjadi perbincangan.
Video-video itu dengan jelas bergema ke mana-mana dan menghampiri banyak kalangan. Konten itu berhasil meraih 6 juta impresi, 600.000 tanda suka, 3.400 komentar, dan 37.000 orang membagikan konten itu pada pertengahan September. ”Depresi hebat lainnya? Coba lihat saya, saya sudah depresi,” canda Grosdov di salah satu videonya yang paling populer seperti dikutip laman Bankrate.
Kita mungkin perlu mencermati ekspresi anak-anak muda di Indonesia di media sosial. Informasi tentang mereka mungkin terselip di sejumlah kalimat yang keluar atau tertulis di berbagai platform. Keadaan mereka bisa diketahui dari foto, gambar, atau gerakan yang mereka bagikan. Tekanan ekonomi yang berat dirasakan dan diekspresikan melalui media sosial. Apa yang bisa dilakukan pebisnis?
Pengamatan fenomena ini sudah dilakukan di Amerika Serikat ketika mereka tengah menjalani lebih dari dua tahun ketidakpastian ekonomi dan kemungkinan resesi atau pertumbuhan ekonomi minus tiga triwulan berturut-turut tahun depan. Para ahli menyebut keadaan itu sebagai ”kelelahan resesi” dan karena hal itu hampir sepertiga orang AS mengatakan mereka tidak siap untuk resesi (31 persen) dan tidak mengambil langkah apa pun untuk menyiapkan keuangan seperti hasil jajak pendapat Bankrate.
Lebih buruk lagi, angka itu melonjak menjadi 42 persen bagi orang AS yang mengatakan mereka sama sekali tidak siap menghadapi resesi. Mereka terutama generasi muda. Dua dari lima generasi Z mengatakan bahwa mereka tidak siap menghadapi resesi dan tidak mengambil langkah apa pun untuk mengatur keuangan. Angka itu lebih tinggi dibandingkan 31 persen generasi milenial yang tak siap, 30 persen generasi X, dan 27 persen generasi tua atau baby boomer.
Kelelahan akibat turbulensi ekonomi dan kecemasan menghadapi resesi itu kini menjadi perbincangan para ahli. Generasi Z bukan kali ini saja terkena tekanan. Mereka telah terdampak berat selama pandemi dan masalah politik dalam negeri yang kacau. Penderitaan menumpuk dan seolah tak hilang dari mereka. Apalagi dengan umur yang tergolong masih muda, mayoritas mengaku sulit mengetahui dan meramalkan apa yang akan terjadi ketika resesi. Hal ini menjelaskan mengapa generasi sebelumnya lebih siap mengantisipasi.
Sarah Foster yang menulis mengenai masalah ini di Bankrate mengatakan, generasi Z juga merupakan kelompok yang cenderung mengatakan bahwa pandemi mengganggu tahun-tahun pembentukan mereka. Sekolah dan komunikasi dengan sesama terganggu. Kelelahan resesi menambah beban karena pengeluaran menjadi membengkak. Orang Amerika menjadi kehilangan begitu banyak kegiatan yang sebenarnya bisa membuat mereka gembira. Kegembiraan menjadi barang mahal.
Generasi Z bukan kali ini saja terkena tekanan. Mereka telah terdampak berat selama pandemi dan masalah politik dalam negeri yang kacau.
Ketika menghadapi masalah seperti ini, apa yang kemudian dilakukan korporasi? Secara umum, perusahaan akan melakukan pengetatan. Pemutusan hubungan kerja tak bisa dihindari. Semua berpangkal pada masalah utama, yaitu pendapatan turun karena permintaan langsung turun ketika tekanan ekonomi makin berat. Langkah ini sebenarnya terburu-buru tanpa melihat masalah sebenarnya.
Sebuah riset yang ditulis oleh Dominique Hanssens dan dipublikasikan di jurnal IESE Insight menyarankan agar para pelaku bisnis membuat diagnosis awal. Berikut beberapa langkah yang perlu dilakukan, kita perlu mencari data untuk mengidentifikasi periode kinerja yang buruk dalam sejarah merek, terutama ketika awal dan akhir penurunan. Selanjutnya, dari data itu kita akan mengisolasi penyebab yang terkait dengan penurunan dan juga kenaikan kinerja perusahaan. Dari langkah ini, kita bisa mendapat gambaran awal tentang penyebab dan juga faktor yang membuat kinerja perusahaan kembali naik.
Dengan metode itu, seorang eksekutif Daimler-Chrysler pernah dikutip di Financial Times mengatakan, ”Memang, kami telah mengalami kemunduran pada tahun ketiga. Namun, jika Anda melihat tren, kami bergerak ke arah yang benar”. Pilihan membuat diagnosis memang kadang melelahkan dan tidak memperlihatkan kemajuan saat itu, tetapi memberi kepuasan kepada semua pihak karena langkah yang diambil merupakan jalan yang benar. Mendapatkan jalan yang benar menjadikan eksekutif dan staf nyaman bekerja.
Oleh karena itu, keputusan perusahaan sangat memengaruhi publik yang tengah kelelahan. Perusahaan yang mampu inovatif bisa mengurangi beban masyarakat karena mereka tidak mengurangi bisnis mereka atau menutup usaha. Pebisnis harus selalu kreatif di tengah tekanan ekonomi yang berat. Di mata publik, perusahaan yang membuat keputusan untuk tetap hadir akan diapresiasi.
Di Los Angeles, ada restoran yang mengiklankan ”stimulus” bagi mereka yang datang untuk makan malam dengan harga yang dikurangi. Langkah ini jelas bukan strategi jangka panjang, melainkan mereka mengambil tindakan untuk menjaga agar bisnis tetap berjalan melalui kesulitan. Karyawan tidak dikurangi. Masyarakat bisa menikmati makan malam. Mereka menggunakan humor untuk mengimpresi masyarakat, ”Anda tidak harus lari dari restoran kami untuk mendapatkan harga yang bagus”. Inovasi di tengah lelah ancaman resesi.