Tidak mengherankan apabila di Indonesia sekitar 21 persen responden menyatakan bahwa mereka masih memiliki pengalaman negatif dengan situs belanja daring sehingga mereka berhenti menggunakan layanan daring.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas
Hanya dalam hitungan bulan, bisnis e-groceries di Indonesia yang sempat diperkirakan bakal memiliki cerita indah ke depan satu per satu tutup. Hingga semester lalu, belanja kebutuhan pokok secara daring ini diperkirakan masih akan naik. Akan tetapi, beberapa di antara pelaku bisnis ini terpaksa harus mengakhiri layanan ke konsumen.
Layanan e-groceries atau belanja kebutuhan sehari-hari ini mengalami lonjakan saat pandemi. Ada prediksi bahwa perilaku belanja konsumen telah berubah ke layanan platform dibandingkan konsumen datang langsung ke pusat-pusat penjualan. Di Amerika Serikat, belanja kebutuhan sehari-hari melalui platform sejak Maret 2020 sampai Februari 2022 mencapai 1,7 triliun dollar AS. Angka ini bahkan 609 miliar dollar AS lebih besar apabila belanja 2018 dan 2019 digabungkan.
Di negara lain kenaikan itu juga terjadi. Institute of Grocery Distribution (IGD) Asia memprediksi nilai pasar e-groceries akan tumbuh 198 persen dari 99 milliar dollar AS pada 2019 menjadi 295 miliar dollar AS pada 2023. Indonesia diprediksi akan menempati posisi nomor empat di dunia dalam bisnis di platform ini.
Akan tetapi, belakangan, beberapa usaha rintisan mengalami masalah. Pada Maret, lalu Tani Hub mengumumkan menghentikan layanan B2C atau langsung ke konsumen. Mereka hanya fokus ke B2B atau layanan untuk entitas bisnis saja. Traveloka Mart yang mulai buka pada Maret lalu telah mengumumkan menutup layanannya pada Agustus. Dalam tempo enam bulan saja, mereka bertahan.
Kabar lainnya, Food.id menutup laman dan aplikasinya per 31 Agustus 2022. Seluruh layanan dari usaha rintisan yang berdiri sejak tahun 2020 itu kini bergabung ke platform Kulina. Sebelumnya, Food.id menawarkan layanan pengiriman produk segar dan siap saji. Mereka terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sejumlah karyawannya.
SHARON PATRICIA
Aplikasi FreshFood ID tidak hanya membantu mempertemukan antara petani dan konsumen, tetapi juga memberikan pengetahuan bagi petani terkait komoditas yang berpotensi meningkatkan nilai jual.
Beberapa media memberitakan usaha rintisan Happyfresh tengah mengalami kesulitan keuangan. Mereka terpaksa menutup sementara layanan di Indonesia dan Malaysia. Mereka selama ini menyediakan beberapa produk, seperti produk segar, produk kering, dan produk makanan beku. Tidak diketahui secara pasti pembukaan kembali layanan mereka.
Apakah yang sedang terjadi? Sejumlah analisis menyebutkan, orang mulai kembali mendatangi pasar-pasar dan tempat belanja untuk mencari kebutuhan sehari-hari setelah pembatasan karena pandemi mulai berkurang. Kebiasaan atau perilaku lama dalam berbelanja mulai kembali ke pengalaman memilih, merasakan, dan mungkin mencicipi dibandingkan dengan sekadar kemudahan melakukan pembelian di platform.
Menurut survei perilaku belanja daring yang dilakukan oleh Rakuten Insight yang dikutip laman Statista pada Juni 2022, sekitar 60 persen responden di Indonesia menyatakan akan berhenti berbelanja daring. Mereka akan melakukan hal itu karena mereka lebih suka berbelanja di toko fisik dan dapat memeriksa produk sebelum memutuskan membeli. Perubahan ini sangat mengejutkan karena tidak terjadi di beberapa negara. Umumnya di negara lain konsumen mengeluhkan soal cara pembayaran dan layanan.
Akan tetapi, angka di atas tidak berbeda jauh dengan survei konsumen yang dilakukan pada 2020. Sekitar 61 persen rumah tangga Indonesia membeli produk secara fisik setelah mereka mencoba atau memeriksa produk di dalam toko. Pembelian secara daring hanya sebesar 38 persen. Pandemi telah membawa beberapa perubahan pada perilaku konsumen sehingga belanja daring sangat marak. Akan tetapi, kemungkinan sifatnya sementara saja. Orang akan kembali ke perilaku lama.
Di samping perubahan perilaku itu, masalah besar yang sebenarnya sedang terjadi dan ke depan masih akan menjadi masalah adalah penurunan daya beli masyarakat karena inflasi yang naik. Masalah ini tidak hanya menimpa bisnis layanan kebutuhan sehari-hari melalui platform atau e-groceries itu, tetapi pembelian apa pun oleh konsumen akan menghadapi masa yang berat. Penjualan daring akan terdampak.
Tulisan CEO Stor.ai Mendel Gniwisch di dalam laman Forbes pada Agustus lalu menyebutkan, menghadapi masalah inflasi yang sangat tinggi, konsumen di seluruh dunia dipaksa untuk menyesuaikan kebiasaan belanja mereka. Mereka tidak hanya memotong belanja kebutuhan barang-barang mewah saja, tetapi juga untuk belanja barang-barang seperti perlengkapan kebersihan, obat-obatan, bahan makanan, dan kebutuhan pokok lainnya. Konsumen jauh lebih sulit untuk menemukan ruang gerak dalam belanja. Tidak mengherankan jika 90 persen pembeli Amerika sekarang lebih sadar dan sangat sensitif dengan harga makanan.
Meskipun konsumen di negara itu masih menghargai kemanfaatan perdagangan daring, mereka tidak selalu bersedia membayar mahal untuk layanan daring saat memiliki anggaran terbatas. Pedagang di dalam toko daring harus menyesuaikan diri. Kalau tidak, mereka berisiko kehilangan keuntungan yang mereka peroleh selama setahun terakhir.
Seorang CEO sebuah korporasi pangan dalam perbincangan dengan Kompas mengatakan, situasi sekarang seolah menguntungkan produsen pangan. Orang melihat otomatis kenaikan harga pangan akan memberi keuntungan besar bagi mereka. Akan tetapi, daya beli yang melemah mengharuskan mereka untuk pintar-pintar membuat harga agar konsumen tetap terdorong untuk membeli produk mereka. Harga yang sangat tinggi sulit untuk direspons pasar yang memang mengalami tekanan.
Di luar masalah ini semua, belanja daring tidak otomatis memudahkan mereka dan membuat mereka pindah ke platform. Pengalaman dalam pembayaran, pengantaran, dan kepastian kualitas produk juga termasuk yang menjadi perhatian konsumen.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga memilih barang belanjaan di supermarket Superindo Ciater Raya, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (24/4/2022). Konsumen kembali mendatangi toko fisik untuk berbelanja kebutuhan pokok.
Tidak mengherankan apabila di Indonesia sekitar 21 persen responden menyatakan bahwa mereka masih memiliki pengalaman negatif dengan situs belanja daring sehingga mereka berhenti menggunakan layanan daring. Di sisi lain, kompetisi yang tinggi di bidang ini karena Indonesia merupakan pasar yang besar menjadikan beberapa usaha memang tidak bisa bertahan.
Meski demikian, semua ini bukan menjadi tanda-tanda kemunduran dalam belanja daring dan belanja kebutuhan sehari-hari melalui platform. Transportasi yang makin ruwet, kemudahan layanan di dalam platform, ketersediaan waktu untuk berbelanja yang makin berkurang, dan lain-lain masih memberi peluang pada usaha rintisan untuk berbisnis di wilayah ini. Perubahan perilaku ke belanja daring masih akan terjadi karena banyak memudahkan konsumen.
Dengan berbagai penawaran kemudahan pembayaran dan layanan, konsumen Indonesia masih bisa ditarik kembali ke dalam ruang belanja daring. Tren kembalinya konsumen ke pasar fisik mungkin hanya akan membuat keseimbangan baru antara belanja fisik dan daring. Ke depan, perubahan masih bisa terjadi.