Upaya memenuhi kebutuhan pangan semestinya ditempuh dengan kebijakan yang tidak justru mematikan pelaku usaha di dalam negeri. Ada tuntutan seragam dari petani, peternak, dan pembudidaya akan kebijakan yang lebih adil.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Ada pesan senada yang disampaikan para petani dari sejumlah daerah saat bertemu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Puan Maharani sebulan terakhir. Mereka mengeluhkan pupuk subsidi yang sulit didapat serta harga pupuk nonsubsidi yang melambung tinggi.
Keluhan itu menandai problem global terkait keamanan pangan yang dipicu oleh akumulasi faktor pandemi, perang, dan perubahan iklim. Konflik geopolitik telah mendorong naik harga pangan dan energi. Suplai bahan baku pupuk pun terganggu dan imbasnya tertransmisi hingga kebun, ladang, dan sawah petani.
Menurut Ronal Tambunan (53), Ketua Kelompok Tani Bersatu dari Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, krisis pupuk sangat memukul petani. Menurut dia, jangankan untuk tanam dua kali, untuk tanam sekali setahun pun pupuknya kurang. Sementara harga pupuk nonsubsidi telah melambung tinggi.
Di Grobogan, Jawa Tengah, menurut Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Grobogan, Hardiono, harga pupuk urea subsidi setara Rp 2.250 per kilogram. Sementara urea nonsubsidi dijual Rp 9.000 per kg hingga Rp 10.000 per kg. Adapun NPK subsidi setara Rp 2.300 per kg dan NPK nonsubsidi Rp 12.000 per kg.
Pupuk nonsubsidi yang harganya telah mencapai 3-5 kali lipat dari harga pupuk subsidi makin sulit dijangkau petani. Sementara pupuk subsidi sulit diperoleh petani karena alokasinya yang terbatas. Dalam situasi normal, pupuk subsidi sejatinya kurang, apalagi di tengah lonjakan harga saat ini.
Keluhan para petani senada dengan pesan yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada acara Global Food Security Summit di New York, Amerika Serikat, Selasa (20/9/2022). Beragam aspek terkait keamanan pangan telah membebani semua negara. Di beberapa negara, dampaknya lebih buruk. Sekitar 200 juta orang di 53 negara kini mengalami kelaparan akut.
Jika negara-negara tidak dapat menangani isu pupuk, situasi pangan dunia akan memburuk. Jika sampai berdampak pada produksi beras, yang menurun atau gagal akibat pupuk, paling tidak 2 miliar orang turut merasakan akibatnya. (Kompas, 22 September 2022)
Keseimbangan
Selain problem pupuk, ada benang merah dari sederet aspirasi yang disampaikan para produsen pangan di Tanah Air beberapa bulan terakhir. Mereka umumnya menuntut kebijakan pangan yang lebih adil, khususnya untuk petani, peternak, dan pembudidaya sebagai produsen. Sebab, langkah pemerintah kerap terkesan berat sebelah, yakni mengutamakan konsumen dengan alasan mengendalikan harga atau meredam inflasi. Impor menjadi pilihan, sementara hasil panen petani kian tersudut dan tak berkembang.
Situasi itu tecermin pada terus turunnya porsi produksi dalam negeri dalam struktur pemenuhan kebutuhan, seperti terjadi pada komoditas bawang putih, susu sapi, gula, dan kedelai. Oleh karena itu, tuntutan yang disampaikan para petani Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) agar pemerintah menaikkan harga pembelian (HPP) gabah dan beras relevan dengan situasi itu. Harapannya, petani mendapatkan keuntungan atas hasil usahanya dan termotivasi untuk memacu produksi.
Aspirasi serupa disampaikan para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) terkait kebijakan gula. Mereka berharap kebijakan di hilir, khususnya pengendalian harga di tingkat konsumen, serta tata kelola industri gula tidak justru menekan petani.
Demikian pula aspirasi para peternak sapi perah, petani bawang putih, petani kedelai, serta petambak garam rakyat. Intinya, upaya memenuhi kebutuhan pangan semestinya ditempuh dengan kebijakan yang tidak justru mematikan pelaku usaha di dalam negeri, khususnya petani, peternak, dan pembudidaya skala kecil yang masih berkubang dengan segenap keterbatasan.
Kiranya, pesan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (19/9/2022), terkait upaya Indonesia melepas ketergantungan pada kedelai impor, relevan diterapkan pada semua komoditas pertanian dalam negeri. Salah satu pesan Presiden kepada para menteri adalah membuat harga yang tidak merugikan petani.
Pesan itu relevan di tengah tuntutan menggenjot produksi, mendorong kemandirian, sekaligus mengantisipasi ancaman krisis pangan. Kini, perhatian perlu lebih diseimbangkan, bukan hanya ke konsumen, tetapi juga ke sisi produsen.