Hilirisasi Jalan Terus, Bali Compendium Jadi Senjata
Setelah resmi melarang ekspor bijih nikel, pemerintah sedang melakukan kajian untuk melarang ekspor komoditas tambang lain, seperti timah dan bauksit. Menurut rencana, pelarangan itu akan diterapkan pada tahun 2023.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tetap gencar mendorong hilirisasi mineral dan batubara meskipun keputusan Indonesia untuk melarang ekspor bijih nikel kini sedang digugat di level global. Investasi di sektor hilir nikel, timah, dan bauksit pun terus digenjot untuk menyiapkan ekosistem industri sebelum larangan ekspor diterapkan sepenuhnya.
Untuk menaikkan posisi tawar dalam menghadapi kecaman global itu, pemerintah memanfaatkan presidensi G20 dan mendorong lahirnya kesepakatan Bali Compendium. Lewat dokumen itu, negara berkembang dibebaskan merumuskan langkah kebijakan investasi masing-masing, termasuk melakukan hilirisasi sumber daya alam agar lebih bernilai tambah.
Konsensus untuk melahirkan dokumen Bali Compendium itu dicapai dalam pertemuan menteri investasi, perdagangan, dan industri G20 (Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting/TIIMM) yang digelar di Nusa Dua, Bali, pekan lalu.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Senin (26/9/2022), mengatakan, kesepakatan itu akan menjadi senjata andalan dalam menghadapi gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan Indonesia melarang ekspor bijih nikel serta potensi gugatan lain di masa mendatang jika Indonesia memutuskan melarang ekspor komoditas minerba lainnya.
”Selama ini, ada kesan seolah negara besar mendikte negara berkembang untuk mengikuti arah kepentingan mereka. Dengan ini, tidak boleh lagi ada yang melarang kita untuk melarang ekspor komoditas kita, karena mereka sudah terikat kesepakatan. Ini jadi secercah harapan untuk tidak mundur sekalipun kita dibawa ke WTO,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.
Ia menuturkan, proses untuk mencapai kesepakatan itu tidak mudah. Ada kesan bahwa sebagian besar negara maju tidak ingin negara berkembang, seperti Indonesia, melakukan hilirisasi. Pasalnya, kebijakan tersebut dapat memengaruhi harga komoditas turunan di pasar global, sebagaimana yang terjadi pada nikel.
”Kita tetap fight, karena tidak ada cara lain untuk menjadi negara maju selain melakukan hilirisasi dan menciptakan nilai tambah. Hampir saja deadlock, tapi setelah pendekatan berbulan-bulan akhirnya berhasil digolkan,” katanya.
Setelah resmi melarang ekspor bijih nikel pada tahun 2020, pemerintah kini sedang menyiapkan kajian untuk melarang ekspor komoditas minerba mentah lainnya, seperti timah batangan dan bauksit. Sejauh ini, pemerintah belum memutuskan secara resmi kapan kebijakan itu akan diterapkan. Namun, menurut Bahlil, pelarangan itu akan dilakukan dalam waktu dekat.
Dengan ini, tidak boleh lagi ada yang melarang kita untuk melarang ekspor komoditas kita, karena mereka sudah terikat kesepakatan.
Seperti diketahui, pengembangan industri hulu dan hilir di sektor tambang, seperti timah, sejauh ini masih timpang. Selama bertahun-tahun, Indonesia terbiasa mengekspor timah batangan dan bauksit. Hanya sedikit yang terserap secara domestik.
Pada tahun 2020, Indonesia mengekspor logam timah hingga 65.000 ton. Jumlah tersebut meningkat menjadi 74.000 ton pada tahun 2021. Sementara itu, penyerapan untuk kebutuhan dalam negeri baru 5 persen dari produksi logam timah nasional.
Pemerintah kini sedang menyusun pohon industri dari hulu ke hilir untuk komoditas timah dan bauksit. ”Tidak tertutup kemungkinan, di akhir tahun 2022 kajian untuk timah dan bauksit itu sudah bisa selesai dan di tahun 2023 nanti kita mulai dorong (pelarangan ekspor),” ujarnya.
Bangun ekosistem
Wacana pemerintah untuk mendorong hilirisasi timah dan melarang ekspor timah batangan akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia usaha. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan agar larangan ekspor dan hilirisasi dilakukan bertahap. Pasalnya, industri butuh waktu setidaknya 10 tahun untuk membangun ekosistem industri di hilir (Kompas, 26/9/2022).
Jika ekosistem tidak terbangun, dikhawatirkan produksi timah tetap tidak akan terserap dengan optimal di dalam negeri. Terkait hal ini, Bahlil mengatakan, pemerintah akan menata ekspor dengan memberi insentif pada perusahaan yang mendukung hilirisasi.
”Kemungkinan besar nanti yang bisa melakukan ekspor adalah pengusaha yang sudah punya smelter atau sudah membangun smelter hingga 80 persen. Tidak bisa lagi mengatakan akan bangun smelter, tapi itu hanya taktik untuk mendapat kuota ekspor,” katanya.
Jika ekosistem tidak terbangun, dikhawatirkan produksi timah tetap tidak akan terserap dengan optimal di dalam negeri.
Deputi Bidang Perencanaan Modal Kementerian Investasi Indra Darmawan mengatakan, untuk mengatasi ketimpangan antara industri hulu dan hilir, investasi hilirisasi sedang digenjot pemerintah. Skemanya akan menyerupai proyek hilirisasi nikel yang saat ini sedang gencar dilakukan pemerintah untuk baterai listrik dan kendaraan listrik.
”Kita paralel mendorong investasi dari di hulu, smelter, sampai hilirnya. Kalau investasi di hilir sudah masuk, itu akan mempercepat investasi di hulu dan antara,” katanya.
Indra mengatakan, pemerintah tidak mungkin melarang ekspor timah dan bauksit tanpa membenahi ekosistem industri dari hulu ke hilir. ”Kalau kita larang, tapi ekosistem di dalam tidak kita benahi, kan, repot juga. Jadi, strategi kita paralel saja,” ujarnya.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute of Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, berharap pemerintah memiliki peta jalan pengembangan hilirisasi timah dan bauksit yang komprehensif sebagaimana pengembangan hilirisasi nikel saat ini.
Kebijakan lintas kementerian harus selaras, khususnya antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Investasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Pasalnya, tantangan melakukan hilirisasi tidak hanya berhenti sampai pemetaan pohon industri, penarikan investasi, dan pendirian pabrik.
”Kebijakan antar-kementerian harus lebih harmonis, karena ini bukan hanya sekadar melarang ekspor saja, tapi juga bicara penguatan ekosistem di hilir, bagaimana industri di hilir nantinya mau menyerap produksi dalam negeri sebagai bahan baku, dan itu butuh dukungan kebijakan lintas sektor,” kata Heri.