Pengembangan energi terbarukan memiliki berbagai tantangan, salah satunya letak geografis Indonesia yang membuat sumber energi terpencar, sedangkan kebutuhan banyak di Jawa. Juga komersialisasi dan teknologi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Kendaraan listrik terparkir di depan charging station Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Green Energy Station di Kota Denpasar, Bali, Selasa (30/8/2022). Juga terdapat panel surya pada genteng bangunan SPBU itu. Sebagai rangkaian Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia di Bali, pekan ini, SPBU Green Energy Station itu Pertamina itu diresmikan.
JAKARTA, KOMPAS — Pencanangan sejumlah target Indonesia dalam transisi menuju era energi yang lebih bersih telah ditetapkan, termasuk mengenai pengurangan emisi karbon. Dalam pelaksanaannya, kepastian regulasi dan kebijakan akan sangat diperlukan, termasuk untuk pengembangan badan usaha dalam mengembangkan bisnis baru.
Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia, Subholding Power and New Renewable Energy, Dannif Danusaputro mengatakan, Pertamina akan menyesuaikan dengan target Indonesia pada 2025 (bauran energi terbarukan sebesar 23 persen). Energi fosil masih tetap dominan, tetapi pengembangan energi terbarukan akan dilakukan secara masif.
Menurut Dannif, Pertamina pun telah dan akan terus menyiapkan sejumlah proyek energi terbarukan dalam transisi energi. Di antaranya panas bumi, hidrogen, baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi, gasifikasi, green refinery, serta bioenergi.
”Yang dibutuhkan dalam pengembangan ini adalah partisipasi semua pihak, juga dukungan regulasi dan kebijakan. Saat ini sudah ada draf Undang-Undang Energi Baru Terbarukan yang bakal penting dalam adopsi energi terbarukan,” kata Dannif dalam bincang strategi perusahaan dalam transisi energi, pada acara Pameran dan Konvensi Indonesia Petroleum Association (IPA) di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Di Pertamina sendiri, pada 2030 ditargetkan ada peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 17 persen. Misalnya, produk minyak pemurnian (refined products) termasuk elpiji, porsinya menurun dari 81 persen pada 2021 menjadi 61 persen pada 2030. Sementara energi yang lebih bersih meningkat, seperti gas dari 3 persen menjadi 19 persen serta energi terbarukan dari 1 persen menjadi 17 persen.
Akan tetapi, pengembangan energi terbarukan pun memiliki berbagai tantangan, salah satunya ialah letak geografis Indonesia yang membuat sumber energi terpencar, sedangkan kebutuhan akan lebih banyak di Pulau Jawa. Di samping itu, perihal komersialisasi, teknologi, dan juga kepastian regulasi.
Executive Vice President & CEO Downstream Petronas Datuk Sazali Hamzah menuturkan, dalam transisi energi, setiap pihak, termasuk badan usaha, pemerintah, mesti berkomitmen dan disiplin. Itu agar target jangka pendek hingga panjang yang telah disusun tercapai.
Subsidi pun dibutuhkan di tahap awal pengembangan proyek energi terbarukan. ”Dan yang sangat menentukan ialah seberapa serius kita menyadari adanya perubahan iklim. Pada akhirnya, harus ada pemahaman bahwa kita harus meninggali (bumi) dengan tingkat emisi karbon yang rendah. Di bisnis baru ini, kita akan membutuhkan elektrifikasi,” ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pada Rabu (21/9/2022), menyebutkan, pemerintah mendorong optimalisasi migas, dalam transisi energi, dengan mengarah pada energi lebih bersih. Itu, antara lain, teknologi penangkapan dan utilisasi karbon yang terus dikembangkan.
Iklim investasi
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman menilai, kurang menariknya Indonesia di mata investor disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pergeseran investasi pemain-pemain besar industri migas ke sektor energi terbarukan. Kedua, rumitnya persyaratan dan birokrasi.
”Kurang lebih ada 140 perizinan yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan migas yang hendak berinvestasi dalam negeri,” kata Maman dalam diskusi di IPA Convex 2022, Rabu.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Selang isi ulang terpasang pada mobil listrik di charging station Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Green Energy Station, di Kota Denpasar, Bali, Selasa (30/8/2022). Sebagai rangkaian Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia di Bali, pekan ini, SPBU Green Energy Station itu Pertamina itu diresmikan.
Maman menambahkan, di tengah peranan migas dalam transisi energi, penyederhanaan perizinan serta percepatan pengesahan revisi Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi bakal memperbaiki iklim investasi di sektor itu. ”Draf RUU migas sudah final. Sekarang berada di Komisi VII dan kami dorong ke Badan Legislasi,” katanya.
Ia menambahkan, Komisi VII dan Badan Keahlian DPR RI telah menyusun naskah akademik yang akan segera dipresentasikan. Nantinya, naskah itu akan masuk ke tahap pembahasan bersama semua fraksi untuk dilanjutkan ke proses harmonisasi.
Adapun pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Terdapat sejumlah insentif bagi badan usaha atau pengembang energi terbarukan dalam perpres tersebut.
Guru Besar pada Jurusan Teknik Elektro, yang juga Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, Hadi Suyono, menuturkan, implementasi menjadi hal yang utama, selain peraturan turunan. Komitmen pada pengembangan energi terbarukan mesti diwujudkan.
Terlebih, dalam Perpres No 112/2022 tersebut juga memuat tentang penghentian dini pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. ”PLN yang disebut kelebihan pasokan (oversupply) karena program 35.000 megawatt pemerintah. Itu dihentikan saja. PLTU-PLTU berbasis bahan fosil (batubara maupun diesel) segera dihentikan. Jadwalnya harus jelas,” ucapnya.