Kemenperin Minta Aturan Pelabelan BPA Dikaji Lebih Matang
Kementerian Perindustrian mempertanyakan urgensi revisi Peraturan BPOM untuk membatasi penggunaan air minum dalam kemasan polikarbonat yang berpotensi mengandung Bisphenol-A atau BPA.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Perindustrian meminta agar wacana revisi regulasi untuk mewajibkan pelabelan Bisphenol-A atau BPA dalam kemasan pangan berbahan polikarbonat disikapi dengan hati-hati. Alih-alih mewajibkan pelabelan BPA atau melarang penggunaan kemasan galon yang mengandung BPA, edukasi ke masyarakat dapat ditingkatkan untuk menyimpan kemasan galon secara lebih berhati-hati.
Revisi Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan akhir-akhir ini mengemuka setelah munculnya kekhawatiran mengenai bahaya paparan Bisphenol-A (BPA) dalam kemasan pangan olahan.
Hasil uji migrasi BPA pada galon air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan polikarbonat yang dilakukan BPOM menunjukkan, terdapat enam daerah di Indonesia yang migrasi BPA-nya melebihi ambang batas 0,6 bagian per sejuta (ppm). Keenam daerah itu adalah Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.
Salah satu usulan dalam revisi Peraturan BPOM 31/2018 adalah mewajibkan produsen untuk memasang label “berpotensi mengandung BPA” pada kemasan pangan berjenis polikarbonat, termasuk AMDK galon. Belakangan, muncul pula usulan agar aturan itu dibuat lebih tegas dalam bentuk larangan penggunaan kemasan berbahan polikarbonat yang rentan terkontaminasi BPA.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo mempertanyakan urgensi revisi peraturan tersebut. Pasalnya, sejauh ini, pandangan pakar terkait bahaya paparan BPA terhadap kesehatan masih berbeda-beda. Suara di internal pemerintah pun masih berbeda-beda terkait wacana revisi regulasi itu.
“Urgensinya seperti apa kita belum tahu. Belum ada kasus kesehatan yang menonjol yang dipicu oleh adanya kandungan BPA itu, para ahli juga belum satu bahasa mengenai bahaya BPA,” katanya, Rabu (21/9/2022).
Edy mengatakan, kajian terkait bahaya BPA perlu dilakukan lebih mendalam sebelum mewajibkan produsen untuk melabeli kemasan produknya dengan bahaya kandungan BPA. Apalagi, migrasi BPA dari galon berbahan polikarbonat ke air biasanya terjadi pada kondisi temperatur yang tinggi atau setara 40 derajat celcius, dengan masa pemaparan panas selama 10 hari berturut-turut.
“Potensi kasus seperti itu di Indonesia kecil sekali kemungkinannya. Temperatur, kan, tidak setinggi itu dan masa distribusi dari pabrik ke konsumen juga biasanya tidak memakan waktu sampai selama itu,” kata Edy.
Menurutnya, wacana revisi Peraturan BPOM itu perlu disikapi hati-hati agar tidak membawa kerugian secara ekonomi bagi produsen. Sebab, bagi produsen dan pelaku usaha, rencana pelabelan BPA dalam kemasan berbahan polikarbonat saja dapat mengganggu keberlangsungan usaha.
“Kalau pelabelan diwajibkan, itu akan memberi image seolah-olah produknya tidak sehat. Masyarakat yang tidak tahu persis isunya bisa takut mengonsumsi dan tidak mau membeli produknya,” ujar Edy.
Apalagi, jika pemerintah menerapkan aturan lebih tegas berupa melarang penggunaan kemasan galon isi ulang berbahan polikarbonat, kerugian ekonomi yang dirasakan pelaku usaha akan lebih signifikan. Produsen juga harus menarik sekitar 170 juta galon guna ulang yang saat ini terlanjur beredar dan menggantinya sesuai standar terbaru.
Tidak hanya itu, menurutnya, konsumen juga dapat dirugikan karena harus membayar lebih mahal untuk membeli air beserta kemasan.
“Kalau selama ini, dengan galon isi ulang (berbahan polikarbonat), masyarakat kan cukup membeli airnya saja. Kalau itu dilarang dan harus menggunakan galon sekali pakai dari bahan lain, harus dipikirkan juga dampaknya terhadap daya beli masyarakat,” katanya.
Kajian terkait bahaya BPA perlu dilakukan lebih mendalam sebelum mewajibkan produsen untuk melabeli kemasan produknya dengan kandungan BPA.
Alih-alih mewajibkan pelabelan BPA atau bahkan melarang penggunaan galon berbahan polikarbonat, hal yang menurutnya perlu dilakukan adalah meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menyimpan galon isi ulang berbahan polikarbonat dengan lebih berhati-hati. Misalnya, jauh dari paparan sinar matahari langsung, untuk mencegah migrasi BPA dari kemasan ke air.
Caranya bisa melalui menempel instruksi penanganan atau penempatan galon pada kemasan atau menggunakan berbagai saluran media sosial. “Ada solusi lain yang bisa ditempuh. Kalau masyarakat tahu bagaimana menangani kemasan galon berbahan polikarbonat, seharusnya tidak masalah,” ujar Edy.
Secara terpisah, dalam Workshop “Zat Kimia dalam Pangan dan Kemasan: Menguji Pengawasan dan Perlindungan Pemerintah”, Minggu (18/9/2022), Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Rachmat Hidayat mengatakan, revisi Peraturan BPOM untuk membatasi penggunaan kemasan galon berbahan polikarbonat ibarat “vonis mati” bagi perusahaan air minum dalam kemasan.
Ia mengestimasi, kalau perusahaan harus berpindah dari penggunaan kemasan berbahan polikarbonat ke bahan lain seperti polyethylene terephthalate (PET), kerugian yang harus ditanggung sekitar Rp 6 triliun sampai Rp 10 triliun. “Tidak ada pelaku usaha yang sanggup, apalagi 90 persen lebih pelaku usaha kita adalah usaha kecil,” katanya.
Menurutnya, jika AMDK galon diharuskan menempel label bahaya BPA pada kemasan berbahan polikarbonat, produk pangan olahan lain juga perlu menerapkan hal yang sama. Pasalnya, ujar Rachmat, tidak ada produk pangan olahan yang seratus persen bebas dari zat cemaran.
“Tidak ada yang bebas dari zat cemaran. Kalau diwajibkan melabel seperti itu, itu ibarat membuka kotak pandora. Tidak ada manfaatnya selain menakut-nakuti konsumen dan menghancurkan produsen,” ujar dia.