Banyak UMKM Belum Dapat Izin Berusaha, Sistem OSS Dinilai Belum Efektif
Dari total 65 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia, baru 1,9 juta pelaku UMKM yang sudah memiliki nomor induk berusaha. Pemerintah berupaya untuk mendorong percepatan pengurusan NIB bagi pelaku UMKM.
Oleh
AGNES THEDOORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi sistem perizinan usaha berbasis risiko atau OSS-RBA yang sudah berjalan selama setahun terakhir dinilai belum efektif. Ada sejumlah kendala yang mempersulit urusan perizinan, khususnya bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Kementerian Investasi diminta untuk membenahi implementasi sistem OSS di berbagai daerah.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sampai 15 September 2022 pukul 11.00 WIB, sebanyak 1.959.530 nomor induk berusaha (NIB) telah terbit di seluruh Indonesia melalui sistem OSS-RBA (online single submission risk-based approach), dengan dominasi 98 persen pelaku usaha mikro kecil (UMK) dan 2 persen pelaku usaha menengah dan besar.
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Darmadi Durianto, mengatakan, jumlah tersebut masih jauh dari estimasi total 65,47 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ada di Indonesia. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo meminta agar target jumlah penerbitan NIB bagi pelaku UMKM itu dapat ditingkatkan menjadi 100.000 per hari.
”Ada gapatau selisih yang besar antara jumlah pelaku UMKM yang ada dan yang sudah terdaftar mendapatkan NIB,” katanya dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Kementerian Investasi/BKPM dan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/9/2022).
Ia mencontohkan, di daerah pemilihannya di DKI Jakarta, masih banyak pelaku usaha berskala mikro yang kesulitan mendaftarkan diri ke sistem berbasis daring karena belum terbiasa. Apalagi, untuk mengurus perizinan, pelaku usaha juga perlu mengetahui status kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) atau jenis aktivitas usaha yang dijalankan.
”Itu baru di Jakarta, apalagi di daerah lain. Saat ini sudah terdaftar nyaris 2 juta UMK, itu pun kemungkinan sebagian besar bukan usaha mikro, tetapi kecil dan menengah,” ujarnya.
Senada, Wakil Ketua Komisi VI DPR Sarmuji mengatakan, kualitas pelayanan perizinan usaha dengan sistem OSS belum berlaku setara di semua daerah. Pertama, tidak semua pemerintah daerah siap mengimplementasikan sistem OSS yang baru, dengan adanya perubahan regulasi, persyaratan, dan nomenklatur perizinan usaha pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kedua, masih ada indikasi perbedaan perlakuan layanan terhadap pelaku usaha mikro dan kecil dengan menengah dan besar. “Tidak semua direspons dengan baik. Seolah-olah, kalau tidak punya kedekatan dan tidak kenal dengan petugas di daerah, urusannya lebih sulit,” kata dia.
Ada gap atau selisih yang besar antara jumlah pelaku UMKM yang ada dan yang sudah terdaftar mendapatkan NIB.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menilai, salah satu faktor yang menghambat pengurusan izin usaha di skala mikro dan kecil adalah belum jelasnya manfaat yang didapat pelaku UMK bersangkutan setelah mengurus NIB. Ada anggapan yang beredar bahwa NIB tidak banyak membantu para pengusaha kecil untuk mengakses fasilitas berusaha yang dibutuhkan.
“Setelah sudah mendapat NIB, berikutnya apa? Harapan pelaku UMK itu, jika sudah punya NIB, ada fasilitas tertentu yang bisa memudahkan urusan usaha. Misalnya, komitmen atau jaminan untuk akses pasar dan permodalan. Itu yang menurut saya harus diperjelas,” tutur Edy.
Lantaran nilai guna atau utilitas yang dirasa tidak signifikan itu, belum banyak pelaku UMK yang mau mengurus perizinan berusaha. “Akhirnya cenderung ada anggapan, untuk apa urus NIB kalau tidak ada untungnya? Apa insentifnya? Ini wajar diharapkan oleh pelaku usaha kecil, apalagi di tengah situasi ekonomi yang lagi tidak pasti seperti sekarang,” ujarnya.
Terkait aspek administrasi pengurusan NIB, ia menilai tidak banyak kendala yang dihadapi pelaku UMK karena asosiasi di daerah siap untuk melakukan pendampingan. “Masalah mudah atau tidak, sebenarnya sudah lebih mudah dan cepat. Kalau ada pengusaha mikro dan kecil yang belum paham caranya, asosiasi siap mendampingi,” katan Edy.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim dan Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah mendorong akselerasi pengurusan NIB bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Salah satu kemudahan yang diberikan adalah kelonggaran terkait peraturan zonasi tempat lokasi usaha bersangkutan beroperasi.
Salah satu kemudahan yang diberikan adalah kelonggaran terkait peraturan zonasi tempat lokasi usaha bersangkutan beroperasi.
“Sepanjang ada pernyataan dari pelaku usaha bahwa mereka sudah memiliki lokasi usaha, entah statusnya dimiliki sendiri atau disewa, tidak perlu lagi ada persetujuan pemanfaatan kegiatan ruang. Ini bisa mempercepat penerbitan perizinan usaha bagi pelaku UMK,” kata Yuliot.
Demikian pula, terkait pemberian izin usaha berbasis risiko, bagi UMK yang tingkat risiko berusahanya mayoritas termasuk kategori rendah dan menengah-rendah, tidak dibutuhkan verifikasi berlapis sebagaimana yang berlaku untuk usaha berskala menengah dan besar. Kalau risikonya rendah, pemberian izin berusaha otomatis diterbitkan.
Di sisi lain, proses pendampingan atau asistensi terhadap para pelaku UMK juga dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Pemerintah melakukan kolaborasi dengan berbagai asosiasi UMKM, platform dagang, serta perbankan. “Untuk yang punya nasabah UMKM, ketika nasabahnya mengajukan pinjaman, mereka harus difasilitasi untuk mengurus NIB,” kata Yuliot.