Perlindungan Sosial Bisa Lebih Inklusif dengan Basis Data Tunggal
Basis data Registrasi Sosial Ekonomi dipandang sebagai pintu masuk untuk mendorong sistem perlindungan sosial yang inklusif. Namun, terobosan ini harus diikuti komitmen politik yang kuat oleh semua pemangku kepentingan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan basis data kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sedang disiapkan pemerintah diharapkan bisa memperluas cakupan perlindungan sosial. Data hasil Registrasi Sosial Ekonomi dapat dipakai untuk melindungi masyarakat yang jarang tersentuh bantuan, seperti sektor informal dan kelompok masyarakat menuju kelas menengah.
Perlindungan terhadap kelompok tertentu selama ini kurang tergarap karena pendataan yang belum mutakhir dan akurat, bahkan nihil. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berharap, kehadiran basis data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang targetnya rampung pada 2023 bisa mengatasi persoalan tersebut dan mewujudkan sistem perlindungan sosial yang lebih inklusif.
Menurut rencana, proses pengumpulan data Regsosek untuk memetakan kondisi sosial-ekonomi masyarakat itu akan dilakukan pada 15 Oktober sampai 14 November 2022 dengan pendekatan akar rumput (bottom-up) dari tingkat desa. Pendataan ini menyasar seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali, termasuk presiden dan para pejabat negara (Kompas, 15/9/2022).
Tauhid mengatakan, lewat basis data tunggal itu, pemerintah tinggal menyesuaikan bentuk atau jenis perlindungan sosial yang diperlukan oleh kelompok rentan tertentu yang selama ini tidak tersentuh bantuan, tetapi jumlahnya banyak, seperti kelompok masyarakat menuju kelas menengah (aspiring middle class) dan masyarakat yang bergerak di sektor informal.
Kelompok masyarakat menuju kelas menengah, misalnya, tidak termasuk kategori miskin yang boleh mendapat bantuan sosial meski mereka belum aman secara finansial dan rentan jatuh miskin jika terjadi disrupsi ekonomi.
Kelompok masyarakat menuju kelas menengah, misalnya, tidak termasuk kategori miskin yang boleh mendapat bantuan sosial meski mereka belum aman secara finansial dan rentan jatuh miskin jika terjadi disrupsi ekonomi. Ada pula warga yang bekerja di sektor informal yang selama ini sulit tersentuh bantuan karena tidak teridentifikasi di basis data pemerintah.
”Aspiring middle class itu punya kemampuan ekonomi yang lebih baik dari masyarakat miskin, tetapi mereka masih rentan jika terjadi disrupsi ekonomi. Mungkin pendekatannya bisa berbeda, bukan bantuan sosial (bansos) tunai seperti masyarakat miskin dan rentan miskin, melainkan peningkatan kapasitas diri dan akses bekerja,” tutur Tauhid, Kamis (15/9/2022).
Dalam laporan Bank Dunia ”Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada September 2019, 45 persen dari total populasi di Indonesia pada 2016, atau sebanyak 115 juta orang, diestimasi sudah lepas dari jurang kemiskinan. Meski demikian, mereka belum mencapai level keamanan finansial seperti masyarakat kelas menengah (middle class).
Mereka yang belum terhitung aman secara ekonomi, tetapi tidak lagi terhitung miskin ini disebut sebagai masyarakat menuju kelas menengah (aspiring middle class). Pengeluaran mereka berkisar di Rp 532.000 per bulan-Rp 1,2 juta per bulan per orang.
Sebagai perbandingan, masyarakat kelas menengah di Indonesia adalah mereka yang pengeluaran bulanannya berkisar Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per orang. Kelompok yang sudah aman secara ekonomi ini diperkirakan sebanyak 53,6 juta orang atau 20,5 persen dari total populasi Indonesia pada 2016.
Perlindungan terhadap kelompok tertentu selama ini kurang tergarap karena pendataan yang belum mutakhir dan akurat, bahkan nihil.
Kelompok lain yang juga rentan dan jarang tersentuh sistem perlindungan sosial adalah pekerja informal. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional, pada Februari 2022 jumlah pekerja informal bertambah pesat akibat pandemi Covid-19. Jumlahnya mencapai 81,33 juta orang atau nyaris 60 persen dari total 135,61 juta pekerja di Indonesia.
Konsensus politik
Komisioner Ombudsman RI, Robert Endy Jaweng, mengatakan, kehadiran basis data Regsosek seharusnya bisa mengurangi keraguan pemerintah untuk mengadakan perlindungan sosial yang lebih inklusif ke berbagai kelompok masyarakat akibat pendataan yang selama ini buruk.
”Memang, melihat pengalaman selama ini, seperti pada Bantuan Subsidi Upah (BSU), pemerintah lebih suka memakai data BP Jamsostek karena sudah clean and clear meski jadinya tidak inklusif. Dengan Regsosek ini, seharusnya hal seperti itu tidak terulang,” katanya.
Meski demikian, ia menegaskan, sejak awal harus ada konsensus politik di antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah bahwa basis data Regsosek benar-benar akan digunakan untuk mendorong perlindungan sosial yang lebih inklusif.
”Sebab, memiliki basis data tunggal itu satu hal, tetapi keputusan politik mengenai kelompok mana yang menerima bantuan itu hal lain. Harus jelas sejak awal bahwa ada political willuntuk menjadikan basis data ini acuan untuk kebijakan perlindungan sosial yang lebih inklusif. Kalau tidak, mau selengkap dan sevalid apa pun basis data itu, tidak ada gunanya,” kata Robert.
Harus jelas sejak awal bahwa ada political will untuk menjadikan basis data ini acuan untuk kebijakan perlindungan sosial yang lebih inklusif. Kalau tidak, mau selengkap dan sevalid apa pun basis data itu, tidak ada gunanya.
Selain itu, setiap kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah juga harus sepakat untuk bersandar pada basis data tunggal itu sebagai acuan pelaksanaan program. Tidak perlu ada lagi ego sektoral lintas instansi pemerintahan. ”Jadi, memang tidak ada varian data lain, ini harus jadi konsensus di antara semua stakeholder sejak awal,” ujarnya.
Staf Ahli Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi Kementerian Keuangan Sudarto mengatakan, sistem pendataan pemerintah ke depan memang akan diintegrasikan secara tunggal agar tidak lagi tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Selain lebih efisien dari segi operasional, penggunaan basis data tunggal itu juga bisa meningkatkan aspek keamanan data.
Menurut dia, pemerintah dapat menginvestasikan dana secara lebih efisien untuk memperkuat sistem keamanan data di satu tempat dibandingkan mengalokasikan anggaran di berbagai instansi untuk keamanan data, tetapi dengan kualitas yang kurang baik.
”Sumber data hanya satu, setiap instansi tinggal membuat program yang sesuai berdasarkan data itu. Jadi, tidak lagi tersebar di semua tempat. Sekarang ini, karena data dipegang berbagai pihak, ketika ada data yang bocor, kita kadang tidak tahu dari mana bocornya,” ujar Sudarto.
Keberadaan basis data Regsosek ini juga dapat mendorong perlindungan sosial yang lebih inklusif, termasuk membuka kemungkinan pemutakhiran data secara on-demand atau terbuka. ”Karena bisa saja seseorang hari ini hidupnya cukup, tetapi setelah krisis dia jatuh miskin. Kembali lagi, harapannya basis data ini bisa meningkatkan inklusivitas dan keadilan untuk seluruh masyarakat,” katanya.