Penanggulangan Kemiskinan Masih Terhambat Ego Sektoral
Ego sektoral masih menjadi masalah. Salah satu solusi, proses perencanaan dan penganggaran dilakukan lintas kementerian/lembaga.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program penanggulangan kemiskinan yang dikerjakan oleh kementerian dan lembaga belum terintegrasi, bahkan lebih banyak berorientasi pada penyerapan anggaran. Untuk mengatasi problem ini, perencanaan kegiatan akan dilakukan secara terintegrasi lintas kementerian/lembaga.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) menerima Eko Prasojo, Sekretaris Eksekutif KPRBN, di kediaman resmi Wapres, Jakarta, Selasa (13/9/2022). Hadir pula dalam pertemuan tersebut beberapa tenaga ahli KPRBN, yakni Zuliansyah Putra Zulkarnain, Gatot Prio Utomo, Indri Dwi Aprilianti, dan Fadillah Putra. Adapun Wapres Amin didampingi Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika dan juru bicara Masduki Baidlowi.
Eko menjelaskan, dalam laporan rutin kepada Wapres, disampaikan mengenai upaya menyinergikan program reformasi birokrasi dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi arahan Wapres sebelumnya. Sebab, Wapres adalah Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) serta Ketua KPRBN.
”Dalam laporan TNP2K, banyak program kementerian/lembaga yang kegiatan-kegiatannya belum sinergi, lebih banyak berorientasi pada aktivitas dan penyerapan anggaran,” tutur Eko.
Hal ini, menurut Eko, terjadi karena proses perencanaan kegiatan dan penganggaran dilakukan secara sendiri-sendiri. Setiap kementerian/lembaga membuat perencanaan kegiatan dan anggaran hanya bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (trilateral meeting).
Karena itu, program penanggulangan kemiskinan yang diinginkan Presiden direncanakan sesuai urusan kementerian/lembaga masing-masing. Perencanaan tetap dilakukan secara sektoral.
Semestinya, kata Eko, perencanaan dilakukan secara kolaboratif. Semua kementerian/lembaga yang terlibat harus duduk bersama merencanakan kegiatan ataupun anggaran, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas.
”Jadi bukan trilateral meeting, tapi seharusnya multilateral meeting,” ucapnya.
Selain itu, manfaat dan dampak dari kegiatan perlu ditentukan bersama. Untuk itu, lanjut Eko, akan dibuat SAKP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah). SAKP ini bersifat antar-kementerian serta mengukur manfaat dan dampak program secara bersama.
SAKP sedikit berbeda dengan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) yang ditangani Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. SAKIP menilai akuntabilitas kinerja setiap kementerian/lembaga.
Namun, untuk memaksimalkan upaya mengintegrasikan perencanaan kegiatan dan anggaran dalam program penanggulangan kemiskinan, aturan perundangan yang menaungi perlu diperiksa ulang. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga masih mengatur model perencanaan yang sangat sektoral.
Secara terpisah, Masduki mengatakan, model rintisan dalam merencanakan kegiatan dan anggaran program penanggulangan kemiskinan secara terintegrasi ini akan dikoordinasikan KPRBN. Kementerian/lembaga terkait akan diajak untuk rapat bersama.
Wapres Amin juga meminta supaya ada solusi terobosan untuk mengatasi rezim penganggaran yang sektoral tersebut. Dengan demikian, kata Masduki, Wapres Amin mengharapkan kerja pemerintah dalam menjalankan program bisa kolaboratif dan efisien.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Wapres Amin menyebutkan anggaran untuk penanganan kemiskinan pada 2021 mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Dalam portal data APBN Kementerian Keuangan, alokasi belanja perlindungan sosial pemerintah sepanjang 2021 saja mencapai Rp 337,152 triliun. Ini belum termasuk belanja perlindungan sosial melalui transfer daerah Rp 28,8 triliun dan melalui pembiayaan Rp 2 triliun.
Adapun belanja perlindungan sosial sepanjang 2022 dialokasikan Rp 402,712 triliun melalui pemerintah pusat dan Rp 28,8 triliun melalui transfer daerah.
Keluhan ego sektoral juga pernah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam program reforma agraria. Dalam pembukaan pertemuan Gugus Tugas Reforma Agraria di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 9 Juni lalu, Presiden menyebutkan ego sektoral yang menghambat penerbitan sertifikat hak milik untuk suku Bajo di Wakatobi.
Karena itu, Presiden meminta semua kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk menghentikan ego sektoral. Saling terbuka dan bersinergi dinilai mampu menyelesaikan berbagai persoalan.