Bagaimana Mengantisipasi ”Quiet Quitting”?
Istilah ”quiet quitting” mendadak viral. Ini adalah nama baru untuk perilaku yang sejak lama ada di dunia kerja. Kegagalan komunikasi atasan-bawahan biasanya menjadi latar belakangnya. Bagaimana mengantisipasinya?
Istilah quiet quitting atau ”berhenti diam-diam” belakangan viral setelah seorang tiktoker asal Amerika Serikat, @zkchilin (sekarang @zaidleppelin), mengunggah video yang mengatakan ”Quiet quitting, quitting the idea of going above and beyond at work. Work is not your life. Your worth is not defined by your productive output.”
Banyak pengguna Tiktok membagikan pengalaman mereka sendiri sebagai tanggapan atas video yang diunggah pada pertengahan Juli 2022 itu. Tagar #quietquitting memperoleh lebih dari 8 juta views di platform TikTok.
Time melalui artikel ”Employees Say ’Quiet Quitting’ is Just Setting Boundaries. Companies Fear Long-Term Effects”,Selasa(23/8/2022), menyebutkan, berhenti diam-diam merupakan konsep untuk tidak lagi bekerja melampaui batas dan alih-alih hanya melakukan apa yang diminta sesuai deskripsi pekerjaan. Berbagai dugaan penyebab viralnya istilah berhenti diam-diam ikut muncul. Salah satunya adalah Johnny C Taylor Jr, Presiden dan CEO Society for Human Resource Management (komunitas praktisi manajemen sumber daya manusia terbesar di dunia). Dia menduga penyebabnya adalah pekerjaan jarak jauh telah menyebabkan kelelahan parah dan kelelahan Zoom (Zoom fatigue). Situasi ini mempersulit pekerja istirahat di rumah.
Laporan Deloitte terkait Global Gen Z and Millennial Survey 2022 menunjukkan, terdapat perbedaan cara pandang antara pekerja generasi baby boomers, generasi X, dan generasi lebih muda. Generasi lebih muda cenderung memprioritaskan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik dibandingkan generasi terdahulu.
Sementara itu, Harvard Business Review (HBR) dengan tegas mengatakan, berhenti diam-diam bukanlah istilah baru di dunia kerja. Dalam artikel ”Quiet Quitting is about Bad Bosses, Not Bad Employees, Rabu (31/8/2022), HBR menjelaskan bahwa berhenti diam-diam adalah nama baru untuk perilaku lama. Selama beberapa dekade lalu sudah ada penilaian kepemimpinan yang intinya meminta pekerja menilai apakah lingkungan kerja mereka merupakan tempat di mana orang ingin bekerja lebih keras.
Baca juga : Pengangguran Turun, tetapi Upah Merosot
Berdasarkan riset kepemimpinan tahun 2020 kepada 2.801 manajer, yang dinilai oleh 13.048 bawahan langsung dan setiap manajer dinilai oleh lima bawahan langsung, ditemukan sebanyak 3- 4 persen manajer terbaik memiliki laporan langsung siapa karyawan yang melakukan berhenti diam-diam. Alasan berhenti diam-diam biasanya karena kurangnya kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih banyak terkait dengan kemampuan manajer untuk membangun hubungan dengan karyawan mereka.
Dalam artikel yang sama, HBR menuliskan, banyak orang, pada titik tertentu dalam karier mereka, telah bekerja untuk seorang manajer yang mendorong mereka untuk ”berhenti secara diam-diam”. Ini berasal dari perasaan diremehkan dan tidak dihargai, yang mungkin saja para manajer itu bersikap bias, atau mereka terlibat dalam perilaku yang tidak pantas. Reaksi awal atas tindakan manajer yang seperti itu biasanya adalah karyawan menjadi kurang termotivasi.
Alasan berhenti diam-diam biasanya karena kurangnya kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih banyak terkait dengan kemampuan manajer untuk membangun hubungan dengan karyawan mereka.
Sebagian besar karyawan pada level pertengahan karier bekerja untuk seorang pemimpin yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan segala kemungkinan guna mencapai tujuan dan sasaran. Kadang-kadang, mereka mau bekerja lembur atau datang lebih awal tidak masalah bagi mereka karena manajernya menginspirasi mereka.
Masih dalam artikel yang sama, HBR juga menuliskan, berdasarkan riset terhadap lebih dari 113.000 pemimpin ditemukan, membangun kepercayaan dengan bawahan itu penting. Ketika bawahan langsung memercayai pemimpin mereka, mereka berasumsi manajer peduli dengan mereka, termasuk peduli terhadap kesejahteraan mereka.
Dalam konteks Indonesia, Managing Director PT Headhunter Indonesia Haryo Utomo Suryomarto saat dihubungi, Minggu (11/9/2022), di Jakarta, mengatakan, sudah sejak lama istilah berhenti diam-diam muncul. Istilah terdahulu adalah ”karyawan terlepas” atau disengaged employees. Jika merujuk survei konsultan tempat kerja Gallup tahun 2013, disengaged employees di Indonesia mencapai 77 persen. Berdasarkan survei Headhunter Indonesia lima tahun terakhir, Haryo mengatakan, angka disengaged employees mencapai setengah dari total karyawan.
”Mengapa hal itu sekarang viral? Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 menyebabkan sebagian karyawan lelah mental dan mengarah ke burnout. Mereka tidak memiliki kesempatan istirahat sehingga berhenti diam-diam menjadi salah satu mekanisme bertahan,” ujar Haryo.
Menurut Haryo, sejak lama berhenti diam-diam atau disengaged employees oleh perusahaan dianggap bisa menghambat pertumbuhan bisnis. Bagi individu karyawan yang melakukannya, sebenarnya hal itu menghambat perkembangan karier mereka.
”Calon karyawan yang baru akan masuk dunia kerja dan melihat fenomena ini dikhawatirkan akan ikut. Bisa saja mereka jadi punya pandangan negatif terhadap dunia kerja, seperti mereka akhirnya berpandangan bekerja seperlunya sesuai gaji,” tutur Haryo.
Antisipasi
Sementara itu, praktisi human resources dan kreator konten karier, keluarga, dan keuangan Samuel Ray berpendapat, karyawan generasi Y dan Z terbiasa hidup di era media sosial dengan segala sesuatu serba terbuka dan cepat. Seseorang ingin mengetahui apa pun bisa mencari di internet.
Baca juga : Tiga Keterampilan Lunak Makin Dibutuhkan di Pasar Kerja
Menyikapi fenomena berhenti diam-diam, dia berpendapat, cara mengantisipasinya bisa dari beberapa sudut pandang. Dari sudut pandang atasan-bawahan, Samuel menyarankan agar pola komunikasi kepada karyawan generasi Y dan Z sebaiknya seterbuka dan seadil mungkin, mulai dari urusan hasil kerja, penilaian, hingga promosi. Sebab, di era informasi yang serba terbuka, karyawan generasi Y dan Z yang memiliki kompetensi bagus cenderung memilih bekerja di tempat lain apabila ada kesempatan lebih baik.
Dari sudut pandang perusahaan, dia berpendapat, perusahaan sebaiknya menciptakan sistem penilaian performa yang adil dan transparan. Sistem perusahaan bisa diciptakan secara terbuka sehingga karyawan tahu kapan dan bagaimana berdiskusi dengan atasan mengenai tujuan-tujuan kerja yang ingin dicapai.
”Latar belakang berhenti diam-diam adalah kegagalan komunikasi karyawan dengan atasan dan perusahaan. Ini (berhenti diam-diam) semacam kondisi karyawan sudah bekerja, tetapi tidak diapresiasi atau hal yang dijanjikan perusahaan tidak terpenuhi sehingga karyawan memilih bekerja sesuai kadar job desk yang diberikan. Apalagi, tidak semua orang punya keberanian membicarakan pencapaian performa atau promosi,” kata Samuel.
Latar belakang berhenti diam-diam adalah kegagalan komunikasi karyawan dengan atasan dan perusahaan. Ini (berhenti diam-diam) semacam kondisi karyawan sudah bekerja, tetapi tidak diapresiasi atau hal yang dijanjikan perusahaan tidak terpenuhi.
Dari sisi karyawan, dia menyarankan agar setiap karyawan harus belajar fair terhadap dirinya sendiri dan perusahaan. Realitas yang kadang terjadi adalah karyawan terlalu memasang ekspektasi tinggi terhadap perusahaan dan tidak melihat situasi. ”Misalnya, situasi kesempatan promosi di perusahaan kecil dan memang ada likes/dislikes, si individu karyawan seharusnya diskusi dengan dirinya sendiri apakah situasi itu fair atau tidak buat dirinya. Sebab, pada akhirnya hanya diri kita sendiri yang tahu kemampuan kita,” ujar Samuel.
Menurut Haryo, berhenti diam-diam atau disengaged employees tidak bisa dihindari. Sebab, selalu akan ada karyawan yang tidak puas dengan kebijakan perusahaan. Meski demikian, upaya mengantisipasi hal itutetap harus dimiliki atasan atau perusahaan. Keduanya perlu mengambil langkah untuk memanusiakan tempat kerja, seperti jam kerja dan kompensasi yang diberikan kepada karyawan. Jika tidak, bukan hanya berhenti diam-diam, karyawan akan benar-benar berhenti dan keluar mencari pekerjaan baru.
Senada dengan Samuel, Haryo juga berpendapat, komunikasi dua arah antara karyawan dan perusahaan/atasan memegang kunci. Selain mampu menyelaraskan tujuan individu karyawan dan perusahaan, komunikasi dua arah mampu meningkatkan retensi kontribusi karyawan dan pertumbuhan perusahaan jangka panjang.
Baca juga : Konflik Generasi