Tim multigenerasi akan menggabungkan berbagai pengalaman. Mereka menggabungkan jaringan klien luas dari anggota yang lebih tua dengan perspektif baru, serta jaringan pemasok terbaru dari yang lebih muda.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Di sebuah akun media sosial yang membahas teknologi kerap muncul olok-olok terhadap generasi lama. Mereka yang merasa lahir belakangan dengan sebutan milenial dan generasi Z merasa pemikiran dan keputusan generasi sebelumnya sebagai terlalu zadul (zaman dulu). Krisis dan konflik kerap muncul di perusahaan, hanya karena perbedaan ini. Padahal, perbedaan umur bisa menjadi sumber pengetahuan hingga muncul inovasi.
Konflik generasi atau usia ini semakin menambah panjang fenomena keterbelahan di berbagai sisi kehidupan di banyak negara. Di Indonesia sudah ada keterbelahan karena masalah SARA, pilihan calon presiden, hingga pilihan partai politik. Hampir semua negara sedang berurusan dengan keterbelahan ini. Mereka membuat berbagai cara agar pemisahan itu tidak makin parah sehingga membuat sebuah bangsa bisa hancur lebur.
Artikel dari tiga penulis di Harvard Business Review tahun lalu berjudul “Harnessing the Power of Age Diversity” menyebutkan, konflik antargenerasi adalah fenomena kuno. Akan tetapi, di penghujung tahun 2019, ketika sebuah balasan dalam perbincangan yang kemudian terkesan kasar yaitu “OK, Boomer” menjadi viral, konflik antargenerasi pun mulai mengeras. Mereka saling olok. Kata-kata pedas bermunculan baik dari anak muda yang mengatakannya maupun orang lebih tua yang menentangnya.
Situasi ini mendorong kembali mereka yang lebih tua untuk melawan yang muda, karena mereka menganggap lontaran anak muda itu sebagai pernyataan meremehkan dan merendahkan. Ejekan-ejekan itu menjadi populer dari Korea hingga Selandia Baru. Meskipun istilah “boomer” semula hampir tidak digunakan di luar Amerika Serikat, tetapi sekarang marak.
Balasan “OK, Boomer” tersebut menangkap kesenjangan yang menganga antara generasi atas setiap masalah yang tampak, seperti aktivisme politik, perubahan iklim, media sosial, teknologi, privasi, dan identitas gender. Hingga saat ini konflik kian mengeras.
Krisis di perusahaan kerap terjadi, karena perkara ejek-mengejek antar generasi. Dampaknya mereka suilit melakukan kolaborasi. Kinerja tim jadi menurun dan saling curiga, sehingga kehancuran tim muncul. Awalnya dari rasa tidak nyaman, kemudian di antara mereka memilih untuk keluar dari pekerjaan. Diskriminasi bisa juga muncul sehingga penilaian kinerja bakal bias antar generasi. Stigma pun terjadi karena tak saling paham antar generasi.
Riset tentang konflik dalam perusahaan karena perbedaan generasi yang tengah terjadi belum banyak dilakukan. Isu ini masih tergolong minor, meski sudah banyak dikeluhkan oleh berbagai kalangan. Salah satu riset awal tentang masalah ini dilakukan oleh Michael J Urick dari St Vincent College. Dalam riset berjudul Exploring Generational Identity: A Multiparadigm Approach, Urick berkesimpulan, para pebisnis akan sangat diuntungkan bila memiliki pemahaman yang lebih baik tentang identitas generasi di dalam perusahaan.
Seorang manajer dapat memahami bagaimana perbedaan generasi mungkin termanifestasi pada karyawan melalui perebutan kekuasaan dalam karir atau jabatan. Selain itu juga dalam pencarian makna hidup karyawan, bahasa yang digunakan, dan bagaimana perbedaan generasi tersebut mungkin berpengaruh pada hasil organisasi lainnya.
Kemampuan untuk menangkap dampak dari perbedaan generasi tersebut akan menentukan langkah berikutnya. Kebijakan atau tindakan selanjutnya bisa berawal dari sesuatu yang tampak akibat konflik antargenerasi.
Di dalam publikasi populer, banyak tulisan telah berbicara tentang generasi selama bertahun-tahun. Lebih banyak lagi pendekatan akademis yang mungkin mendukung atau menunjukkan perbedaan dalam literatur berorientasi praktisi bagi para manajer di perusahaan. Materi tersebut akan sangat membantu para manajer menerapkan strategi dan program yang lebih efektif untuk mengelola interaksi beberapa generasi di dalam satu perusahaan.
Riset lainnya yang dilakukan oleh SHRM Foundation menyebutkan, saat perusahaan dan tempat kerja melakukan langkah luar biasa, yaitu transformasi karena kehadiran teknologi baru, fenomena tenaga kerja juga berubah karena kehadiran lima generasi yang bekerja di tempat yang sama. Tenaga kerja saat ini benar-benar multigenerasi.
Keadaan ini menciptakan tantangan karena gaya komunikasi yang berbeda, praktik kerja berbeda, dan harapan dari pemberi kerja juga berbeda, tetapi pada saat yang sama juga menciptakan peluang signifikan. Tiap generasi yang berbeda itu membawa pengalaman dan keterampilan yang berbeda pula.
Oleh karena itu kembali pada hasil riset yang muncul di Harvard Business Review, tim yang beragam usia sangat berharga, karena mereka menyatukan orang-orang dengan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, dan jaringan yang saling melengkapi. Jika dikelola secara efektif, mereka dapat menawarkan pengambilan keputusan yang lebih baik, kolaborasi yang lebih produktif, dan peningkatan kinerja secara keseluruhan. Temuan mesin pencetak 3D yang murah misalnya, berasal dari tim lintas generasi.
Semua ini terjadi hanya jika anggota bersedia untuk berbagi dan belajar dari perbedaan mereka. Kita bisa memulai dengan memikirkan tim pengembang produk multigenerasi.
Tim multigenerasi ini menggabungkan berbagai pengalaman. Mereka menggabungkan jaringan klien luas dari anggota yang lebih tua dengan perspektif baru, serta jaringan pemasok terbaru dari yang lebih muda. Kelompok seperti itu dapat menggunakan keragaman usianya untuk membangun sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh satu generasi sendiri.