Produsen Kecil dan Menengah Butuh Kemudahan Akses Bahan Baku
Komponen biaya bahan baku dan penolong mencapai 57,31 persen dari total biaya produksi di industri kecil dan menengah (IKM). Di tengah gangguan rantai pasok, IKM kesulitan mengakses bahan baku lokal ataupun impor.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah gangguan rantai pasok dunia, industri kecil dan menengah atau IKM menghadapi tantangan lebih berat untuk mendapat bahan baku dibandingkan dengan industri berskala besar dan sedang. Peran Pusat Penyedia Bahan Baku atau PPBB perlu dioptimalkan untuk memberi kemudahan akses bahan baku dan penolong untuk IKM.
Kementerian Perindustrian mencatat, biaya bahan baku dan penolong memainkan peran terbesar, baik untuk IKM maupun industri besar dan sedang (IBS). Di IKM, biaya bahan baku/penolong mencapai 57,31 persen dari total biaya produksi, sementara di IBS, komponen itu mencapai 75 persen dari biaya produksi. Meski demikian, di tengah gangguan rantai pasok dunia, IKM menghadapi tantangan lebih berat dibandingkan IBS.
”Pelaku IKM sering kali kesulitan mendapat bahan baku, yang beberapa tidak tersedia di dalam negeri. Di sisi lain, mereka juga belum mampu melakukan impor (bahan baku) sendiri,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita dalam keterangan pers, Sabtu (10/6/2022).
Oleh karena itu, IKM memerlukan dukungan jaminan pasokan bahan baku dan penolong. ”IKM memerlukan kebijakan afirmasi melalui fasilitasi bahan baku dan bahan penolong,” katanya.
Salah satunya, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian mengatur tentang kehadiran Pusat Penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong (PPBB). Aturan itu mengatur, impor bahan baku/penolong bagi IKM yang tidak dapat melakukan importasi sendiri dapat dipenuhi oleh PPBB.
PPBB harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang berlaku sebagai angka pengenal importir umum dan dibuktikan dengan adanya kontrak pemesanan dari IKM. Impor juga hanya boleh diberikan untuk IKM yang tidak bisa mengimpor bahan baku sendiri. Penyalurannya dilakukan berdasarkan skema kerja sama pemerintah pusat dan daerah.
”Nantinya, PPBB itu berperan menyediakan bahan baku/penolong impor yang dibutuhkan IKM, serta menyalurkan bahan baku/penolong di dalam negeri bagi IKM,” kata Reni.
IKM memerlukan kebijakan afirmasi melalui fasilitasi bahan baku dan bahan penolong.
Selambatnya bulan ini
Menurut Reni, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh badan usaha swasta yang mengajukan diri sebagai PPBB, misalnya memiliki tempat, bangunan, atau area penyimpanan dengan luas minimal 500 meter persegi di satu lokasi. Badan usaha PPBB juga harus melayani paling sedikit lima IKM.
Reni mengatakan, badan usaha yang telah memenuhi syarat sebagai PPBB akan ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. Berikutnya, PPBB bersangkutan harus mengajukan usulan kebutuhan impor bahan baku tahun berikutnya berdasarkan kontrak pemesanan IKM melalui Sistem Nasional Neraca Komoditas (Sinas KK).
Pengajuan itu harus dilakukan paling lambat pada bulan September tahun berjalan. Pemerintah saat ini sedang menunggu pengajuan dari setiap PPBB yang sudah melakukan kontrak pemesanan dengan IKM.
Pengajuan rencana kebutuhan dalam neraca komoditas itu akan menjadi dasar penerbitan Persetujuan Impor yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan. ”PPBB dilarang menyalurkan bahan baku atau penolong impor yang bukan untuk kegiatan produksi IKM. IKM-nya juga tidak boleh menjual barang impor dari PPBB ini ke pihak lain,” ujar Reni.
Kenaikan biaya produksi
Laporan Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur Indonesia per Agustus 2022 yang dirilis Perusahaan Analisis S&P Global awal bulan ini menunjukkan, kinerja industri manufaktur kembali meningkat di level 51,7, setelah sempat menurun di level 50,3 pada Juni 2022 dan 51,3 pada Juli 2022.
Laporan itu mencatat, meski kinerja membaik, ketidakpastian masih membayangi lewat gangguan pasokan dan harga bahan baku. Penguatan dollar AS terhadap rupiah juga ikut menambah biaya bahan baku impor. Naiknya ongkos biaya produksi secara keseluruhan itu membuat perusahaan mulai menaikkan harga jual barang jadi di tingkat konsumen.
Penguatan dollar AS terhadap rupiah juga ikut menambah biaya bahan baku impor.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, selain menaikkan harga produk jadi di pasaran sebagai imbas dari kesulitan mengakses bahan baku, IKM juga umumnya melakukan penyesuaian lewat mengecilkan ukuran produk.
Apalagi, IKM tidak memiliki kemampuan untuk membeli pasokan bahan baku dalam jumlah banyak ketika harga sedang menurun dan menyetoknya untuk kebutuhan berbulan-bulan. Mereka biasanya membeli bahan baku secara harian, sehingga penyesuaian pada harga dan ukuran produk jadi harus langsung dilakukan.
“Ini banyak terjadi di IKM yang mereknya tidak terlalu terkenal, atau tidak punya merek. Selain menaikkan harga, banyak juga yang memperkecil ukuran barang. Perlu diingat, daya tahan IKM itu tidak sebagus perusahaan besar,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia Edy Misero menambahkan, di tengah gangguan rantai pasok, pelaku usaha mau tidak mau harus menaikkan harga barang jadi di pasaran, meski tetap berada di kisaran yang wajar.
Guna mengantisipasi pasar yang melemah di tengah tren inflasi itu, pelaku usaha kecil butuh jaminan pembelian dan penyerapan hasil produksi UMKM dan IKM Lewat belanja pemerintah. “Pemerintah harus bisa memberi contoh untuk memposisikan produk lokal sebagai bagian dari belanja pemerintah. Cintailah produk Indonesia jangan hanya jadi slogan,” katanya.