Krisis Bahan Baku Jadi Momentum Perbaikan Sektor Hulu
Ketika terjadi krisis serupa di masa depan, industri diharapkan sudah lebih menguasai mata rantai pasok dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis rantai pasok yang belakangan ini terjadi menjadi pengingat untuk menguatkan industri hulu dan antara di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Pengembangan diversifikasi bahan baku, khususnya di sektor pangan, membutuhkan keseriusan dari pemerintah dan kesediaan pelaku industri untuk menjadi pembeli offtaker.
Industri pengolahan dalam negeri masih bergantung kuat pada bahan baku hasil impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Januari-Juni 2022, impor bahan baku/penolong masih mendominasi struktur impor dengan nilai 90,09 juta dollar AS. Itu merupakan 77,55 persen dari total impor keseluruhan pada semester I-2022.
Ketergantungan industri pada impor juga tampak dari impor barang modal dengan nilai 16,5 juta dollar AS pada periode yang sama atau mencakup 14,27 persen dari total keseluruhan nilai impor.
Ketergantungan yang tinggi pada bahan baku impor yang harganya kini sedang melejit itu ikut berkontribusi pada kenaikan inflasi di tingkat produsen. Pada triwulan II-2022, inflasi di tingkat produsen 11,77 persen, melampaui inflasi di tingkat konsumen yang pada Juli 2022 sebesar 4,94 persen.
Menurut peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada disrupsi rantai pasok akan terus membayangi ke depan. Oleh karena itu, kondisi saat ini perlu dijadikan momentum untuk berbenah.
”Supaya ketika nanti ada krisis lagi di masa depan, kita sudah menguasai mata rantai yang ada dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor,” kata Heri saat dihubungi, Senin (15/8/2022).
Saat ini imbauan agar pelaku industri dalam negeri memanfaatkan bahan baku lokal mulai gencar disuarakan oleh pemerintah, terutama di sektor pangan. Sebagai contoh, ajakan pemerintah agar industri pengguna tepung terigu yang terbuat dari gandum, seperti pabrikan mi instan, bisa beralih menggunakan tepung dengan kearifan lokal, seperti sorgum, singkong, atau sagu, sebagai pengganti gandum.
Supaya ketika nanti ada krisis lagi di masa depan, kita sudah menguasai mata rantai dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Menurut Heri, hal tersebut perlu diiringi dengan kebijakan yang komprehensif, mulai dari strategi menarik investasi di sektor hulu industri agro sampai mempersiapkan industri untuk menjadi off-taker dan menyerap produk bahan baku lokal itu.
Pasalnya, salah satu faktor yang membuat industri hilir enggan menggunakan bahan baku lokal adalah jaminan kualitas dan kelanjutan dari produksi bahan baku tersebut. Untuk mengajak industri beralih melakukan diversifikasi bahan baku, hal mendasar seperti ini perlu dibenahi dulu.
”Sering kali, spesifikasi bahan baku kita dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan industri atau kendalanya pada fluktuasi harga dan keberlanjutan pasokan. Kadang barangnya ada, kadang tidak. Ketidakpastian ini harus diatasi dengan membangun dulu di hulu,” kata Heri.
Hilirisasi pangan
Dalam konteks industri pangan, solusinya adalah mengembangkan budidaya hasil tanaman dan proses pascapanen untuk menghasilkan kualitas bahan baku yang sesuai dengan spesifikasi kebutuhan industri.
Untuk itu, pemerintah harus gencar mengundang investasi baru di sektor hulu dan antara industri pangan atau mendorong industri hilir pangan yang sudah ada untuk berekspansi di sektor hulu dan bermitra dengan petani lokal.
”Pemerintah harus gencar mendorong hilirisasi, tidak hanya di sektor tambang atau sawit seperti sekarang, tetapi juga di sektor pangan,” tuturnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pelaku industri pada dasarnya siap melakukan diversifikasi bahan baku. Namun, pemerintah dari pusat sampai daerah diharapkan memiliki peta jalan kebijakan yang jelas mengenai penguatan penggunaan bahan baku lokal itu.
Pemerintah diharapkan memiliki peta jalan kebijakan yang jelas mengenai penguatan penggunaan bahan baku lokal.
Menurut dia, petani lokal perlu dibekali dengan benih, pupuk, jaminan asuransi tanam, serta dimitrakan dengan industri untuk menjadi offtaker. Keberlanjutan pasokan bahan baku dan kestabilan harga juga harus dijaga agar tetap bahan baku lokal tetap kompetitif untuk diserap industri.
”Jadi, tidak bisa hanya menginstruksikan petani menanam sorgum, tetapi program besarnya tidak dikawal,” kata Adhi.
Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang mengatakan, pelaku industri mendukung upaya pemerintah mendorong pengembangan alternatif bahan baku lokal, seperti tepung sorgum untuk menggantikan tepung terigu dari gandum impor, untuk mengatasi krisis pangan global.
Pihaknya sebagai produsen pangan berbasis gandum siap membantu proses pengolahan sorgum, sementara pemerintah fokus pada aspek produksi dan budidaya. Namun, hal itu tetap harus digarap dengan serius, mengingat pergantian jenis bahan baku dapat ikut mengubah tekstur dan rasa produk akhir.
”Pemerintah (Kementerian Pertanian) dalam bidang budidaya dan kami (pengusaha) dalam bidang processing-nya. Yang pasti, inisiasinya nanti dari Kementan,” kata Franciscus.