Kenaikan Harga Mi Instan Diyakini dalam Batas Wajar
Perekonomian global yang tak menentu menyebabkan kenaikan harga bahan baku, energi, dan logistik, yang menaikkan biaya produksi. Kenaikan harga produk jadi tinggal menunggu waktu, meski diyakini tetap dalam batas wajar.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga produk mi instan diyakini tetap dalam batas wajar sebagai imbas dari kenaikan harga bahan baku yang selama ini masih ditahan di tingkat produsen. Meski demikian, kenaikan harga produk jadi di berbagai sektor pengolahan hanya tinggal menunggu waktu sehingga perlu diantisipasi dari sekarang.
Kabar kenaikan harga mi instan awalnya disampaikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada webinar, Senin (8/8/2022) lalu. Saat itu, Syahril mengatakan, harga mi instan bakal naik tiga kali lipat dalam waktu dekat lantaran harga gandum dunia sedang naik terimbas dampak perang Rusia-Ukraina.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), harga mi instan kuah di tingkat konsumen telah mengalami kenaikan sebanyak dua kali pada rentang waktu 2019 hingga Mei 2022. Pada tahun 2019, harga mi instan kuah adalah Rp 2.500 per kemasan, meningkat menjadi Rp 2.750 pada tahun 2021, dan menjadi Rp 3.000 per Mei 2022.
Adapun harga produk mi instan kuah dari beragam merek di sejumlah warung dan gerai minimarket di Jakarta per Rabu (10/8/2022) belum banyak berubah, yaitu masih di kisaran Rp 2.800-Rp 3.100 per kemasan.
Menanggapi hal itu, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang menilai, pernyataan Mentan bahwa harga mi instan naik hingga 3 kali lipat berlebihan. Menurut dia, kenaikan harga mi instan merupakan konsekuensi dari harga bahan baku gandum dan tepung terigu yang juga sedang mengalami kenaikan di tingkat internasional.
”Industri tepung terigu tidak mengambil kesempatan apa pun dari kenaikan harga gandum yang terjadi. Mereka hanya mem-pass over (meneruskan) kenaikan harga input yang sudah terjadi sejak tahun 2021 kemarin. Jadi (kenaikannya) tidak berlebihan, normatif saja,” kata Franciscus saat dihubungi, Rabu (10/8/2022).
Menurut dia, pasokan gandum untuk memenuhi kebutuhan industri makanan minuman dan pakan ternak dalam negeri masih aman. ”Industri sudah terdidik menghadapi krisis suplai sejak lama, jadi selama 18 tahun terakhir ini, kita sudah mencoba gandum dari sejumlah negara, tidak bergantung pada satu negara saja,” ujarnya.
Di sisi lain, ujarnya, komposisi harga tepung terigu dalam struktur biaya produksi mi instan sebenarnya tidak terlalu tinggi. Berdasarkan data Kemenperin, tepung terigu hanya mengambil bagian 15 persen dari total biaya produksi. Komponen pembentuk biaya mi instan yang paling besar adalah kemasan, yakni 30 persen.
Direktur Industri Agro Kemenperin Putu Juli Antoni mengatakan, berdasarkan data Bank Dunia, harga rata-rata gandum AS (SRW wheat) adalah 316,7 dollar AS per ton pada Juli 2022, meningkat 20,77 persen persen dibandingkan harga rata-rata gandum pada Juli 2021, yaitu sekitar 250,9 dollar AS per ton.
Potensi kenaikan harga mi instan seharusnya hanya sekitar Rp 93 per kemasan atau meningkat 3,1 persen dari Rp 3.000 per kemasan menjadi Rp 3.093 per kemasan.
Kenaikan harga bahan baku gandum ikut menaikkan harga tepung terigu. Pada akhir Juli 2021, harga rata-rata tepung terigu adalah Rp 10.200 per kilogram, meningkat 18,63 persen pada akhir Juli 2022 menjadi Rp 12.100 per kilogram.
Dengan demikian, simulasi harga oleh Kemenperin menunjukkan, jika hanya mengacu pada kenaikan harga tepung terigu, potensi kenaikan harga mi instan seharusnya hanya sekitar Rp 93 per kemasan atau meningkat 3,1 persen menjadi Rp 3.093 per kemasan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, potensi kenaikan harga produk jadi di sektor pengolahan seperti mi instan sebenarnya wajar, mengingat saat ini inflasi di tingkat produsen sudah jauh lebih tinggi daripada inflasi di konsumen.
Harga barang di pasaran sejauh ini masih bisa terkendali karena produsen masih menahan kenaikan harga produk jadi. Namun, pada titik tertentu, ia meyakini produsen akan mulai mentransmisikan beban kenaikan biaya produksi itu ke harga produk jadi di tingkat konsumen.
”Meski seharusnya kenaikan harga tidak akan terlalu berlebihan, karena produsen juga pastinya melihat daya beli konsumen. Kalau harga melonjak terlalu tinggi, pembelian bisa-bisa turun,” kata Faisal.
Menurut dia, bukan hanya produk mi instan, kenaikan harga produk manufaktur di sektor lainnya tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kondisi ekonomi global yang tidak pasti saat ini tidak hanya mengakibatkan kenaikan harga bahan baku pangan, tetapi juga harga energi dan logistik yang akan ikut berdampak pada biaya produksi di sektor manufaktur.
Bukan hanya produk mi instan, kenaikan harga produk manufaktur di sektor lainnya tinggal menunggu waktu.
Jika terjadi kenaikan harga produk jadi olahan manufaktur dalam waktu bersamaan, dampaknya bisa mendongkrak kenaikan inflasi lebih tinggi di tingkat konsumen. ”Kalau beban produksi semua ditransmisikan dalam bentuk harga barang jadi yang lebih tinggi di konsumen, inflasi di akhir tahun ini bisa lebih tinggi dari 6 persen,” ujar Faisal.
Pemerintah juga sedang mengantisipasi dampak dari kondisi ekonomi global itu pada industri. Untuk mengurangi ketergantungan industri pada impor bahan baku, pemerintah terus mendorong program substitusi impor 35 persen. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, saat ini, sudah ada beberapa subsektor industri yang bisa mencapai target substitusi, tetapi masih banyak juga yang capaiannya masih jauh dari target.
Per Januari-Juni 2022, impor bahan baku/penolong masih mendominasi struktur impor dengan nilai 90,09 juta dollar AS (77,55 persen dari total impor), diikuti impor barang modal yang juga digunakan oleh industri dengan nilai 16,5 juta dollar AS (14,27 persen dari total impor).
”Oleh karena itu, kami mendorong agar investasi yang masuk ke sektor industri dapat meningkatkan pengolahan bahan baku dan mendorong hilirisasi industri, tidak hanya mengolah produk setengah jadi menjadi produk jadi,” kata Agus.