Harga Bahan Baku Naik, Pelaku Industri Tekan Margin
Kenaikan harga produk akhir di pasaran akan menjadi pilihan terakhir. Pelaku industri mengantisipasi problem keterbatasan bahan baku dengan mencari pemasok dari negara lain dan mencari substitusi bahan baku.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi rantai pasok dunia yang diperkeruh oleh invasi Rusia ke Ukraina berimbas pada kenaikan harga bahan baku di industri makanan dan minuman serta tekstil. Pelaku industri makanan dan minuman serta tekstil menekan margin keuntungan untuk mencegah harga pangan dan sandang naik terlalu ekstrem dan mengganggu daya beli masyarakat.
Di sektor makanan dan minuman, bahan baku yang terdampak konflik Rusia dan Ukraina adalah gandum. Gandum digunakan untuk bahan baku sejumlah produk makanan olahan yang berasal dari tepung terigu, seperti mi instan, roti, serta aneka kudapan ringan seperti biskuit dan kue.
Kementerian Perindustrian mencatat, impor gandum dari Ukraina sebanyak 26,8 persen dari total impor gandum Indonesia pada tahun 2021 sebesar 11,4 juta ton. Ukraina adalah negara pengekspor gandum kedua terbesar ke Indonesia setelah Australia, yang tahun lalu memasok 4,6 juta ton gandum.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, Minggu (6/3/2022), mengatakan, dua tahun terakhir ini, harga gandum dunia melonjak drastis sebanyak 40 persen dari harga normal akibat dampak pandemi dan berbagai krisis lainnya.
Akibat invasi Rusia ke Ukraina, harga gandum dalam dua minggu terakhir naik lagi sebesar 15 persen dan diperkirakan akan terus menanjak seiring dengan eskalasi konflik. Harga bahan baku yang naik itu otomatis akan meningkatkan biaya produksi. ”Apalagi, ketergantungan gandum kita dari Ukraina itu cukup besar. Kalau mereka terganggu, kita ikut terganggu,” katanya saat dihubungi.
Kendati demikian, Adhi menjamin harga makanan olahan gandum tidak akan langsung naik drastis. Sejauh ini, industri masih memiliki stok gandum yang cukup untuk produksi 1-2 bulan ke depan sehingga ia memastikan sampai saat ini tidak ada kenaikan harga produk akhir di pasaran. Meski konflik berlangsung untuk waktu lama pun, menaikkan harga menjadi pilihan paling terakhir.
”Saya sudah bicara dengan pelaku industri lain, menaikkan harga adalah pilihan terakhir. Industri akan bertahan dulu. Kalaupun kelak kenaikan harga tidak bisa dihindari, mungkin naiknya bertahap sekitar 5 persen, tetapi tidak langsung. Kenaikan harga pangan ini tidak bisa langsung karena naik 1 persen saja pengaruhnya bisa luar biasa,” kata Adhi.
Sebagai konsekuensi dari biaya input yang tinggi dan harga output yang tidak naik itu, margin keuntungan terpaksa harus ditekan. Adhi mengatakan, kinerja industri sedikit banyak akan terganggu. ”Margin akan tergerus cukup banyak, apalagi problem biaya logistik juga saat ini belum teratasi. Biaya masih tinggi dan kita masih sulit mendapat kapal. Kalau situasi ini terus berlangsung, perusahaan harus pintar-pintar mengatur cash flow,” tuturnya.
Margin akan tergerus cukup banyak, apalagi problem biaya logistik juga saat ini belum teratasi. Kalau situasi ini terus berlangsung, perusahaan harus pintar-pintar mengatur cash flow.
Kendala bahan baku juga dirasakan di sektor tekstil. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta mengatakan, pasokan dan harga bahan baku utama tekstil, seperti kapas, poliester, dan rayon, juga terkena dampak tidak langsung dari konflik Rusia-Ukraina dan naiknya harga sejumlah komoditas energi seperti minyak dan gas bumi.
Meski demikian, pelaku industri akan berusaha menjaga agar kenaikan harga bahan baku itu tidak berdampak terlalu banyak pada harga produk jadi di pasaran. Apalagi, di saat bersamaan, inflasi juga terjadi di produk pangan, yang juga merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
”Pasar lokal saat ini masih jadi andalan sehingga sekuat mungkin kami akan menjaga pasar lokal. Sebisa mungkin perusahaan tidak akan cari margin profit yang tinggi. Yang penting, produksi jalan dan barangnya laku dulu,” kata Redma.
Apabila konflik berlangsung panjang dan harga bahan baku terus meroket, kenaikan harga pakaian jadi ditaksir 3-5 persen. ”Yang penting, selama impor bisa dikontrol dan pasar dalam negeri kita aman, supply-demand akan tetap baik-baik saja. Margin keuntungan urusan belakangan,” ujarnya.
Adhi mengatakan, industri makanan dan minuman sedang mencari alternatif bahan baku dari negara lain di luar Ukraina. ”Kemungkinan besar larinya ke Australia sebagai yang paling dekat. Meski ini juga perlu hati-hati karena kemungkinan negara lain juga akan switch mencari pemasok yang sama,” ujarnya.
Beberapa negara pemasok gandum ke Indonesia di luar Ukraina per tahun 2021 adalah Kanada (1,9 juta ton), Argentina (606.844 ton), Amerika Serikat (447.862 ton), dan India (318.467 ton). Ada pula Australia sebagai pemasok gandum terbesar ke Indonesia.
Alternatif lainnya adalah industri mencari bahan baku lain yang bisa menyubstitusi gandum. Namun, opsi ini juga tidak bisa dipukul rata karena beberapa produk makanan tidak bisa digantikan oleh jenis tepung di luar terigu. ”Perusahaan mi instan ada yang mulai mengganti tepung, tetapi itu kecil sekali. Karena kalau jenis tepung diganti, kualitas ikut berubah,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Loppies meyakini pasokan gandum akan tetap terjaga di tengah konflik Rusia-Ukraina. Menurut dia, dari total 11 juta ton gandum yang diimpor Indonesia, 8 juta ton dipakai untuk kebutuhan industri terigu dan sebagian besar bukan diimpor dari Ukraina.
”Saya cek ke anggota saya, yang mengambil tepung dari Ukraina tidak banyak. Oleh karena itu, saya rasa kita tidak perlu terlalu khawatir. Masih banyak source dari negara lain,” katanya.
Kita tidak perlu terlalu khawatir. Masih banyak source dari negara lain.
Untuk menjaga pasokan bahan baku, industri tekstil juga akan mencari substitusi bahan baku dari industri lokal. Saat ini, ujar Redma, Indonesia sudah mampu memproduksi poliester dan rayon sendiri yang bisa menggantikan impor poliester dan rayon.
Sementara, penggunaan kapas, yang masih bergantung pada impor, akan dibatasi dan diganti dengan komponen poliester dan rayon. ”Jalan tengahnya mungkin mengurangi komponen kapas dalam produk jadi dan diganti dengan memperbanyak poliester dan rayon,” kata Redma.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development on Economics and Finance Andry Satrio Nugroho mengatakan, disrupsi rantai pasok yang semakin buruk akibat konflik Rusia dan Ukraina akan berdampak pada kinerja industri manufaktur secara keseluruhan ke depan.
Apalagi, jika terjadi kenaikan biaya input yang tinggi akibat kenaikan harga bahan baku dan biaya logistik, perlu ada langkah intervensi dari pemerintah dalam bentuk pemberian insentif kepada industri yang terimbas.
”Mau tidak mau, untuk menjaga kinerja industri tetap baik, industri perlu bantalan. Meskipun mungkin pemerintah tidak akan memberikan insentif sebanyak tahun 2020 dan 2021 karena kali ini ada beban konsolidasi fiskal. Oleh karena itu, sasarannya tetap harus spesifik, seberapa besar pengenaan insentif itu bisa menggerakkan industri,” kata Andry.